PUKUL empat sore, suatu hari, di SMA YUB (Yayasan Pendidikan Universitas Buruh), Yogyakarta, para siswa mulai berdatangan. Ada yang langsung memarkir sepeda atau motornya, ada yang langsung menuju teras karena jalan kaki. Sebuah Colt cokelat masuk, dan berhenti di pinggir halaman. "Pulang dari kantor cuma untuk mandi, lalu saya berangkat sekolah," kata Bachtiar Affendi, pegawai Inspeksi Pajak Yogyakarta, pembawa Colt itu, murid berusia 45 tahun. Benar, inilah jenis sekoLah yang berdiri di aman revolusi, yang tujuannya menampung mereka yang tak biasa diterima sekolah biasa karena usia. Lihat saja yang duduk-duduk di teras atau jalan-jalan di halaman sekolah, rata-rata sepantaran Bachtiar. Hampir 40 tahun sudah SMA malam demikian umum disebut karena dibuka dari sore hingga malam -- berjalan. Tapi sebentar lagi siswa sekolah ini tak lagi bisa berbangga seperti Bachtiar, yang masih bisa bilang: "... Ialu saya berangkat sekolah." Bulan lalu keluar Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang mengingatkan bahwa sekolah malam mulai awal tahun ajaran kini terkena peraturan batas usia. Yaitu calon siswa SMP (malam) tak boleh berusia lebih dari 18 tahun, dan calon siswa SMA 21 tahun. Edaran yang ditujukan kepada Kanwil P & K seluruh Indonesia itu meminta agar sekolah (malam) yang menyalahi aturan ditertibkan. Tak berarti sekolah harus ditutup, bila tak bisa mematuhi peraturan. Boleh terus berlangsung, asal tak memakai nama "sekolah". Silakan dinamakan kursus, atau yang sejenisnya. Sebenarnya ketentuan itu sudah diturunkan Januari lalu. Pada kenyataannya, banyak sekolah malam yang masih belum menaatinya. Padahal, diturunkannya peraturan itu karena, "sekolah sifatnya formal, punya berbagai aturan, ada pakaian seragam, ada kegiatan ektrakurikuler ada batas umur," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Hasan Walinono, pekan lalu. Artinya, pada tahun ajaran 1989-1990, batas waktu bagi sekolah malam menertibkan diri, sekolah yang kini berpredikat malam itu akan diperlakukan sebagai sekolah biasa: ada seragam sekolah, misalnya. Selama ini, karena siswanya kebanyakan bapak dan ibu, yang siang harinya bekerja mancari nafkah, tak ada ketentuan seragam itu. Dengan kata lain, SMP dan SMA malam segera digeser dari sejarah kelahirannya. Sekolah ini tak lagi berfungsi menampung mereka yang karena usia tak lagi bisa duduk di sekolah biasa. Maka, sekolah malam jadi resah. "Sekolah dengan murid usia lanjut mestinya dipertahankan kehadirannya," kata Yusuf, 79 tahun, Kepala SMA IPPU (Ikatan Penambah Pengetahuan Umum), Semarang. "Di negara maju saja tak ada pembatasan usia." SMA IPPU Semarang punya 370 murid dan sebagian besar berusia di atas 30-an tahun. Umumnya mereka pegawai negeri dan swasta yang ingin mendapatkan ijazah untuk kenaikan pangkat. Di seluruh Jawa Tengah ada 12 sekolah jenis begini. Lalu di SMA YUB, sekolah Bachtiar Affendi itu, yang berdiri pada 1950. Sekolah yang didirikan oleh para pendiri Universitas Gadjah Mada ini sudah mencoba menyesuaikan diri dengan ketentuan baru. Tahun ajaran lalu misalnya, SMA YUB menerima empat kelas satu. Satu kelas sudah memenuhi ketentuan dengan murid usia maksimum 21 tahun. Tiga kelas lagi muridnya "normal", artinya semuanya di atas 21 tahun. Dan kata Muryono, Kepala SMA YUB, kelas "normal" itu akan dijadikan sekolah nonformal. Entah namanya kursus atau apa, belum diputuskannya. Tapi Muryono rupanya masih waswas akan reaksi para siswa, katanya, "Perkara nanti mereka kecewa itu bukan kesalahan kami." Sebenarnya, kebijaksanaan Departemen P & K itu tak merugikan siapa-siapa. Sekolah malam yang terpaksa menjadi semacam kursus, siswanya tetap mendapat kesempatan memperoleh ijazah, lewat ujian persamaan. Sistem ujian persamaan pun sejak 1983 tak lagi diberikan sekali pukul, tapi dalam tiga tahap. Ada ujian semester kedua (Ini mirip tes kenaikan kelas I), ujian semester keempat (kenaikan kelas II), dan ujian akhir. Dan Walinono menegaskan, "Nilai ijazah ujian persamaan itu sama persis dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) yang diselenggarakan sekolah biasa, dari segi efek akademis dan efek sosialnya." Maksudnya, pemegang ijazah tersebut dianggap sepintar pemegang ijazah biasa, dan berhak memperoleh apa saja yang diperoleh pemegang ijazah biasa. Jadi, kenapa harus resah ? Memang ada kasus. Sukirman, 46 tahun, pegawai Kantor Agraria Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, punya ijazah persamaan, tapi ia tak juga naik golongan. "Ijazah persamaan itu tak laku," kata ayah lima anak itu. Nasib sama dialami Gatot Utomo, 38 tahun, pegawai Asuransi Jasa Raharja, Semarang. Juga Prijono, pegawai BKKBN Semarang, oleh kantornya tetap dianggap hanya punya ijazah SMP. Bahkan di Kantor Bea Cukai Semarang, menurut sumber TEMPO, "Ada 20 pegawai yang mengajukan penyesuaian ijazah, tetapi ditolak karena ijazah hasil ujian persamaan." Tak diperoleh keterangan mengapa sejumlah instansi menolak ijazah persamaan. Sementara itu, instansi di bawah Departemen P & K sudah lama mengakui ijazah ujian persamaan sebagaimana ijazah biasa, umpamanya di IKIP dan UGM itu. Dilihat dari sudut ini, sumber keresahan agaknya pada sejumlah instansi pemerintah yang memandang ijazah persamaan kurang berbobot. Dengan kata lain, dilihat dari masalah yang lebih luas, masyarakat memang masih berorientasi pada selembar kertas, bukannya prestasi. Maka, Institut Bisnis Indonesia yang tak peduli pendidikan ini diakui sebagai perguruan tinggi atau sekadar kursus, boleh dipuji (TEMPO 17 Oktober). Tapi tetap jadi pertanyaan, pandangan "resmi" bahwa sekolah tidak sama dan serupa dengan pendidikan, hingga perlu ada batas usia bagi sekolah malam. Sementara itu, selalu didengung-dengungkan pentingnya belajar seumur hidup. Bandelan Amarudin (Semarang), Nanik Ismaini (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini