MEREKA telanjur akrab dengan teman-teman sekelas, maka mereka pun protes. Senin dua pekan lalu, di SMAN III Temanggung, Jawa Tengah, seperti biasa dilangsungkan upacara bendera. Yang tidak biasa, Andreas Wirjo Dimedjo, Kepala Sekolah, dalam upacara itu mengumumkan pembauran siwa kelas I. Langsung, begitu upacara selesai, 225 siswa kelas I pulang. Pembauran? Peristiwa bermula di awal tahun ajaran baru, Juli lalu. Kepala sekolah punya ide, demi kelancaran pelajaran agama murid kelas I dikelompokkan menurut agama masing-masing. (Di kelas II dan III pengelompokan 'kan berdasar jurusan). Maka, diperolehlah susunan sebagai berikut. Dari lima lokal kelas I, empat kelas terdiri dari para siswa beragama Islam, sedangkan satu kelas disi 45 murid yang non-Islam. Ini bukan keputusan Andreas pribadi, karena gagasan itu dirapatkan pula dengan para guru. Hal itu, kata Andreas, untuk mengefektifkan pelajaran agama. Yang biasanya berlangsung, pada jam pelajaran agama Islam di sebuah kelas, siswa beragama nonIslam lalu keluar, menghabiskan waktu dengan bermain-main. Pelajaran agama untuk yang keluar ini dilangsungkan sehabis jam sekolah, dan merupakan kelas gabungan, karena siswa beragama non-Islam jumlahnya tidak banyak. Bila gagasan Andreas bisa dilaksanakan, kebetulan jumlah siswa kelas I yang non-Islam memenuhi syarat dikelompokkan dalam satu kelas. Dan kenyataannya dari pihak siswa sendiri tak terdengar keberatan. Cara pengelompokan ini memang tidak lazim, meski bukan yang pertama. SMPN III Yogyakarta juga melakukan cara serupa, tapi tetap saja di kelas Kristen Katolik misalnya, ada siswa Islamnya. Meski di kelas Islam, ada yang sepenuhnya Islam, ada yang campur. Sementara itu, di Temanggung, pembagian benar-benar mutlak: di kelas Kristen Katolik tak ada siswa Islamnya. Yang biasa berlaku, siswa dikelompokkan berdasar patokan bahwa tiap kelas mesti terdiri dari siswa yang kurang pandai sampai juara kelas. Ini untuk menghindarkan di satu kelas siswanya pandai-pandai semua, atau sebaliknya. Bila di Yogya tak ada masalah, pihak Kanwil Departemen P & K Jawa Tengah kurang setuju dengan cara SMAN III Temanggung itu. Seorang pejabat Kanwil, yang kebetulan berkunjung ke sekolah itu seminggu sebelumnya, langsung memberi instruksi kepada Andreas agar siswa kelas I dibaurkan. Dan Kepala Sekolah bergerak cepat. Dan anak-anak kelas I pun bereaksi cepat, mereka mogok sekolah. "Kami sudah telanjur akrab, kok disuruh pindah-pindah," kata seorang siswa. Kebetulan, saat itu sedang ada lomba rias kelas. Maka, dengan jengkelnya mereka menyobek apa saja yang bisa dirobek di kelas mereka, termasuk jadwal pelajaran. Bila siswa jengkel, lima guru wali kelas dari kelas I itu bingung. Sebab, pembauran kembali tentunya bukan sekadar menyuruh sebagian siswa pindah kelas. Itu menyangkut administrasi. Misalnya saja pengisian rapor. "Alangkah baiknya bila perubahan dilaksanakan di tahun ajaran baru mendatang," kata seorang wali kelas. Reaksi siswa kelas I sampai pula terdengar ke luar dinding sekolah. Sebab, kemudian tak cuma siswa kelas I yang tak setuju kebijaksanaan Kepala Sekolah, tapi juga siswa kelas II dan III. Maka, Jumatnya, sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga di SMAN III itu. Segawat itukah persoalan? Sebenarnya tidak. Mereka cuma mogok sehari. Sejumlah siswa yang dihubungi TEMPO, mengatakan, soal kerukunan agama di sekolah itu tidak ada masalah. Meski kelas terpisah, "Kami sudah berbaur," ucap seorang siswa. Pak Andreas, 50 tahun kini, untunglah memahami peri laku siswa-siswanya. Dengan kalem, katanya kepada Aries Margono dari TEMPO, "Mereka itu 'kan merasa terusik kesetiakawanannya." Sikap kepala sekolah itu membantu tim pendamai -- antara lain beranggotakan staf Pemda Temanggung -- yang memberikan ceramah agar siswa mau berbaur lagi. Anggota tim dari Kantor Departemen Agama Temanggung lalu memberikan ceramah tentang kerukunan beragama. Akhirnya, pembauran berlangsung damai. Sri Indrayati (Jakarta), Slamet Subagyo dan Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini