Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Calon dari kalipasir

Raden ajeng berar fathia,37, mencalonkan diri untuk menjadi presiden republik indonesia periode 1993-1998. di medan, prof.asma affan, dekan fisip usu mencalonkan diri menjadi wakil presiden.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG Umum MPR 1993 masih setahun lagi. Tapi sudah banyak pihak yang menginginkan Pak Harto kembali menjadi presiden. Tiga tahun silam, 21 ulama terkemuka Indonesia meminta Pak Harto agar bersedia dicalonkan kembali menjadi presiden. Pernyataan ini kemudian didukung ratusan ulama Jawa Timur. Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke21, tahun lalu, juga berharap serupa. Lalu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah mengumumkan Pak Harto sebagai calon presiden mereka dalam Sidang Umum MPR 1993. Maka, cukup mengegetkan juga ketika tiba-tiba seorang wanita berani tampil mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden. Namanya Raden Ajeng Berar Fathia, baru berusia 37 tahun, dan wajahnya manis. Jumat pekan lalu Fathia begitu panggilan akrab wanita asal Jakarta ini mengundang sejumlah wartawan untuk mendengarkan pernyataannya. "Saya salah seorang ibu Indonesia, menyatakan siap dicalonkan menjadi presiden Republik Indonesia periode 19931998," kata istri pegawai negeri yang mengaku masih kerabat pura Mangkunegaran itu. Pernyataan itu dilontarkan di kantor Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) yang dipimpin H.J.C. Princen, di bilangan Kalipasir, Jakarta Pusat. Dengan wajah serius ia tersinggung kalau dianggap tindakannya cuma mainmain Fathia membeberkan sejumlah isu yang menurut dia perlu diperbaiki. Misalnya tentang pencemaran lingkungan hidup, program KB, keadaan hak asasi manusia di Indonesia, sistem pemilu yang bergantung pada peran birokrat, sampai ke soal organisasi ibuibu pegawai negeri, Dharma Wanita. Bila terpilih menjadi presiden, wanita yang cuma tamat SMA ini akan merealisasi ambisinya ini, "Saya ingin mempancasilakan dunia," katanya. Meski sekarang menjadi Wakil Ketua Litbang PDI, Fathia menegaskan bahwa rencana pencalonannya tak punya kaitan dengan partai banteng itu. Praktis ia sendirian. Pada 15 Januari silam ia memang pernah mengirim surat pada Ketua Umum DPP PDI Soerjadi, meminta supaya dicalonkan sebagai presiden. Cuma, katanya, sampai sekarang belum ada tanggapan. Tanpa dukungan parpol, entah bagaimana Fathia akan meluncur ke Sidang Umum MPR kelak. Sebab, seperti dikatakan Mayjen. R.K. Sembiring Meliala, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi ABRI yang membidangi politik dalam negeri, dalam kehidupan politik praktis di Indonesia, seorang calon presiden maupun wakil presiden baru memiliki kans menang bila didukung oleh kekuatan politik. Sebab, pencalonan seseorang menjadi presiden atau wakil presiden di Sidang Umum MPR harus dilakukan oleh fraksi yang ada. Begitu peraturannya. Di luar sistem ini, kata Sembiring, hampir tak mungkin. "Tapi sekadar ikut ramerame sih boleh," Meliala berseloroh. Tokoh hak asasi manusia Haji Princen, yang tampak mendampingi Fathia saat mengumumkan pencalonan tadi, agak kesal mendengar tata cara untuk menjadi calon presiden itu. "Omong kosong. Itu kan aturan yang mengurangi hak-hak warga negara yang sebetulnya dijamin dalam UUD 1945. Mengapa harus lewat fraksi?" katanya. Boleh jadi, kisah Fathia akan serupa dengan pendahulupedahulunya, seperti Rusmania, penduduk Bandung yang mengaku dibisiki arwah Pangeran Diponegoro untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto. Itu menjelang Sidang Umum 1983. Yang lain, Darius Marpaung, bekas pimpinan Kesatuan Pegawai Kristen Republik Indonesia (Kespekri) dan Judil Hery Justam, kini dosen UI. Ada yang bilang mereka semua cuma bisa disebut calon presiden dari jalur nonfraksi. Dari jalur ini sekarang tercatat pula seorang calon wakil presiden. Dia adalah Prof. Asma Affan, dekan FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan. Sama seperti Fathia, Asma, yang masuk dalam daftar calon legislatif dari Golongan Karya mewakili daerah Sumatera Utara, sudah mengumumkan keinginannya mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Tapi belakangan ia mengendur. Motivasinya waktu itu, seperti dikatakannya pada TEMPO, "Hanya untuk mengatakan bahwa kaum wanita pun mampu memimpin negara." Priyono B. Sumbogo, Sandra Hamid, dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus