Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Cerita Diana menjadi Guru Penggerak untuk Berantas Buta Huruf di Pedalaman Papua Selatan

Diana Christina Da Costa Ati membagikan kisahnya menjadi guru penggerak untuk memberantas buta huruf di Kampung Atti, Mappi, Papua Selatan.

15 Juli 2024 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Empat kali dalam sepekan, anak-anak Sekolah Dasar Negeri Atti, Distrik Minyamur, Mappi, bergilir menggunakan komputer tablet. Siswa-siswi di pedalaman Papua Selatan itu belajar mengetik dan mengeksplorasi fungsi-fungsi lain dari komputer jinjing itu secara bergantian karena hanya tersedia tiga unit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan kondisi terbatas tersebut, salah satu guru SDN Atti, Diana Christiana Da Costa Ati, sudah sangat bersyukur karena akhirnya anak-anak didiknya mulai mengenal perkembangan teknologi sejak duduk di bangku sekolah dasar. “Kami dapat bantuan tab. Listrik dan jaringan juga mulai tersedia dari tenaga surya,” ujar Diana, menceritakan perkembangan peserta didiknya, Minggu, 7 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diana merupakan Guru Penggerak Daerah Terpencil di Kabupaten Mappi sejak 2018. Program ini merupakan inisiasi dari Bupati Mappi periode 2017-2022 Kristosimus Yohanes Agawemu bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM). Terdapat sekitar 500-an guru yang dikontrak oleh Bupati Kristosimus ketika untuk bekerja menjadi guru di Kabupaten Mappi selama dua tahun. Kontrak bisa diperpanjang atas keinginan dari guru yang bersangkutan dan verifikasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi.

Kondisi ruang kelas SDN Atti Papua Selatan setelah renovasi. Dokumentasi Diana Christiana Da Costa Ati

Diana saat awal bertugas di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, selama dua tahun. Ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, kegiatan belajar mengajar sempat terhenti dan para guru penggerak banyak yang pulang ke kampung halaman. Pun kontrak dua tahun sudah berakhir. Namun Diana memutuskan Kembali ke Kabupaten Mappi setelah libur lama di kampung halamannya, Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Diana kembali meneken kontrak sebagai guru penggerak pada 2021 itu. Dia kemudian ditugaskan oleh Bupati Kristosimus ke Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi. Ketika itu, kegiatan belajar-mengajar di Kampung Atti terhenti lama lantaran guru maupun kepala sekolah tak pernah berkunjung. Karena itu, para siswa meskipun sebelumnya sudah kelas 6 pun tak bisa membaca. Apalagi anak-anak di bawahnya.

Selanjutnya di Kampung Atti terdapat sekitar 20 kepala keluarga...

Di Kampung Atti hanya ada sekitar 20-an kepala keluarga. Namun dalam satu kepala keluarga memiliki banyak istri dan anak. Alhasil banyak anak-anak yang perlu mengenyam pendidikan. Per 2024 sesuai data Dapodik SDN Atti, jumlah siswa mencapai 60-an. Namun yang aktif sekitar 58-an siswa. Banyak dari mereka yang ikut keluarganya ke hutan untuk mencari makan dan tinggal beberapa hari di bifak sana.

Diana berfokus memberantas buta huruf di kampung itu. Ia juga mengajari cara berhitung dasar kepada anak-anak pedalaman di Papua tersebut. Pendidikan nasionalisme sesekali ia sisipkan. Ia dan dua kolega sesama guru penggerak di kampung itu, Fransiska Erlyansi Bere (Icha) dan Oktofianus Halla (Vian), mesti berhati-hati lantaran di daerah tersebut banyak simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka juga tak mengibarkan bendera merah putih di sekolahan.

Diana mengajar bersama dua koleganya di tiga ruang kelas yang serba terbatas. Para siswa duduk di lantai karena keterbatasan meja dan tulis. Tak cuma itu, sejak Kristosimus habis masa jabatannya sebagai Bupati Mappi pada Maret 2022 lalu, Diana dan kawan-kawan tak lagi mendapat pasokan buku, alat tulis, maupun sarana-prasarana untuk kegiatan belajar-mengajar.

Siswa dan orang tuanya tak bisa diandalkan untuk menyediakan alat tulis sendiri lantaran untuk belanja kebutuhan tersebut mereka harus ke Kota Kepi yang bisa ditempuh sekitar enam jam melalui rute jalan kaki, naik ketinting, disambung perjalanan menggunakan mobil. Selain itu, para siswa dan orang tua tak punya uang kecuali saat Bantuan Langsung Tunai (BLT) cair dan Dana Desa juga cair. Kebanyakan penduduk Kampung Atti tak punya penghasilan.

Agar kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan, Diana berinisiatif membuka donasi di media sosialnya, Instagram dan Facebook. Dalam membuka donasi, Diana tak pernah mau menerima uang, selalu dalam bentuk barang seperti buku, alat tulis, dan pakaian layak untuk anak-anak. Barang-barang itu dikirim ke kosan Diana di Kota Kepi, Ibu Kota Kabupaten Mappi. Ia menyewa Rp 500 ribu per bulan untuk menampung donasi.

Diana dan dua koleganya, Fransiska Erlyansi Bere dan Oktofianus Halla, biasanya lima bulan sekali ke kota untuk mengambil barang-barang donasi yang sudah tiba di kosan dan belanja kebutuhan makanan serta lainnya. Mereka tak bisa bolak-balik ke kota lantaran mahalnya biaya transportasi, meski sudah ada harga khusus untuk guru. Gaji Diana sebagai guru penggerak Rp 4 juta per bulan. Untuk kebutuhan sekolah, semestinya ada Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, dana BOS yang ratusan juta itu tak pernah mengalir ke sekolah/siswa karena Kepala Sekolah yang menerima pencairan. Bahkan ketika Diana dan kawan-kawan saat ke kota berusaha menemui kepala sekolah dan menjelaskan kebutuhan para siswa, kepala sekolah memarahi mereka. Bahkan menuding Diana dan dua guru lainnya sebagai orang luar yang suka meminta-minta.

Diana dan kawan-kawannya merasa bersyukur karena ada BTS per Februari 2023. Setidaknya, ia bisa melepas rindu bersama keluarga. Sebelumnya, ia selalu berkomunikasi menggunakan surat yang dititipkan ke warga/siswa yang akan ke kampung sebelah tiap Diana ingin pesan ketinting guna keperluan ke kota. Adapun komunikasi dengan keluarga sebelumnya hanya bisa terjadi saat Diana berkunjung ke kota yang notabene lima bulan sekali.

Kata Warga Atti mengenai kehadiran Diana, Icha, dan Vian...

Badan Musyawarah Kampung Atti, Willem Pasim, mewakili warga Atti, merasa bersyukur atas kehadiran Diana cs. Menurut Willem, anak-anak di kampung, bahkan yang paling kecil pun jadi bisa membaca. Sebagai rasa syukur kehadiran Diana cs, warga di Kampung Atti kerap mengirim bahan makanan seperti singkong, daun singkong, ulat sagu, daging ular maupun buaya.  Para warga juga menyuruh anak-anaknya tiap pagi menimbakan air di sumber terdekat dengan mess guru.

Ketulusan warga itu yang membuat Diana betah tinggal di pedalaman. Bagi Diana, hidup tak semata-mata soal uang dan karier yang mentereng di kota besar, namun soal pengabdian bagi sesama. Bahkan saat sekali pulang ke kampung halaman di Atambua, Diana sangat merindungan siswa-siswanya di Papua. Diana pun lebih memilih menjadi WNI ketimbang Timor Leste sehingga harus berpisah dengan sang ayah. Dulu anak-anak Atti untuk menulis huruf saja masih terbalik-balik. Dan ketika diajak berbicara, terkadang tidak nyambung karena mereka kurang memahami Bahasa Indonesia dan buta huruf.

Warga Kampung Atti juga terbuka dengan Diana dan para guru. Bahkan mereka lebih percaya dengan Diana cs. Saat warga sakit, warga akan meminta obat ke Diana. Mereka tidak mau menggunakan obat dari tenaga Kesehatan yang berkunjung ke kampung sekitar satu bulan sekali lantaran cara pelayanan yang seperti jijik. Padahal obat-obatnya sama dengan yang dimiliki Diana.

Saat tahun 2022 atau setahun kehadiran Diana cs di Kampung Atti, sekitar 24 siswa dapat melanjutkan pendidikan ke SMP setelah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, mereka dengan mudah menghafal perkalian dan memiliki pengetahuan umum yang baik seperti wawasan kebangsaan.

Tak hanya itu, anak-anak yang sekarang sudah duduk di SMP juga bisa meraih peringkat delapan dan sembilan dari 34 siswa di kelasnya. Dan mereka dengan bangga menceritakan kepada Diana bahwa mereka sekarang menjadi juara kelas. Selain belajar membaca-menulis-berhitung, Diana juga mengajari merekasopan santun.

Saat Diana pertama kali mengajar di SDN Atti, jumlah peserta didik mencapai 65 siswa. Sejak 2022 sudah 24 anak yang berhasil melanjutkan studinya ke jenjang SMP di Kota Kepi. Mereka sekarang duduk di kelas VIII SMP. Pada Juli 2022, jumlah siswa di SDN Atti meningkat 20 orang. Pada Juni 2023, terdapat 14 anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Sedangkan per September 2023 ini, siswa kelas VI sekitar 12 anak.

Anak-anak SDN Atti, Papua Selatan, belajar bercocok tanam. Dokumentasi Diana Christiasa Da Costa Ati

Berbagai kendala yang Diana dkk alami seperti ruang kelas yang tidak memadai dan alat-alat tulis yang terbatas kini, kini tak ada lagi. Diana mengakui banyak kemajuan pesat di SDN Atti setelah ia mengikuti program Satu Indonesia Awards yang diadakan Astra dan menjadi salah satu pemenang penghargaan di bidang pendidikan.

Setelah Diana memenangkan penghargaan itu, kini kondisi kelas lebih layak. Para peserta didik juga duduk di bangku serta mendapatkan meja. Jembatan yang menjadi akses utama ke Kampung Atti saat ini juga sudah diperbaiki, yang tadinya banyak kayu yang keropos dan anak-anak maupun orang dewasa rawan terjerembab ketika melewatinya. Sumbangan berupa alat tulis dan pakaian layak untuk anak-anak juga terus berdatangan. “Pak guru Vian sering live di TikTok untuk menggambarkan kondisi di sekolah kami juga, jadi banyak bantuan yang datang,” ujarnya.

Selain mengajarkan cara membaca dan menulis, Diana, Vian, dan Icha juga membekali para murid mengenai bercocok tanam. Tiap pukul 15.00, anak-anak itu diajak untuk bercocok tanam sayur-sayuran dan merawatnya hingga panen tiba. Mereka biasanya menanam kangkung, tomat, kancang panjang, dan lainnya. “Tiap habis panen, kami masak untuk mereka. Kami makan bersama-sama di kelas, biasanya dua kali dalam sebulan,” ujar Diana.**

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus