Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah surat elektronik yang masuk pada akhir 2018 membuat Qomarul Lailiah atau yang akrab disapa Lia kaget. Surat dari Badminton World Federation itu menyatakan Lia terpilih sebagai wasit bulu tangkis Olimpiade Tokyo, Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru bahasa Inggris di SDN Sawunggaling I/382 Surabaya ini masih tidak percaya ketika membaca isi suratnya. Pasalnya, belum lama ia memperoleh BWF Certificated Umpires.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perolehan itu juga yang menjadikan Lia satu-satunya wasit perempuan dari Indonesia yang memiliki lisensi tertinggi untuk bulu tangkis internasional. “Alhamdulillah they trust me,” kata Lia kepada Tempo, Ahad, 8 Agustus 2021.
Selain Lia, ada juga perempuan dari Malaysia, Filipina, dan Cina yang terpilih menjadi wasit bulu tangkis Olimpiade 2020. Mereka terpilih karena adanya kuota 30 persen wasit perempuan sebagai bentuk kesetaraan gender. “Kalau laki-laki, saya harus waiting list karena baru lulus,” ujarnya.
Meski sudah terpilih, wanita 43 tahun itu tak bisa begitu saja terbang ke Tokyo. Kasus Covid-19 yang sedang melonjak di Indonesia pada Juli 2021, membuat Lia harus menjalani tes usap hidung dan tenggorokan setiap hari selama sepekan. Untungnya, kata Lia, hasil tes PCR-nya selalu negatif. Ia juga banyak dibantu PBSI dan KONI Kota Surabaya dalam mengurus berbagai perizinan yang dibutuhkan.
Di Olimpiade, Lia menjadi wasit untuk pertandingan bulu tangkis ganda putra Jepang lawan Denmark. Kemudian ganda putri Korea melawan Belanda, semi final ganda putri Cina lawan Korea, dan perempat final ganda campuran Thailand lawan Denmark.
Meski terbiasa berada di turnamen internasional, Lia menilai pertandingan bulu tangkis di Olimpiade memiliki atmosfir berbeda. Sejak awal, para wasit diminta memperlakukan setiap babak laksana final. “Karena mereka membawa nama negara,” katanya.
Tampil di Olimpiade 2020 merupakan prestasi tertinggi selama 21 tahun perjalanan karier Lia sebagai wasit. Perkenalannya dengan dunia perwasitan ini terjadi ketika ia baru mulai berkarier sebagai guru bahasa Inggris.
Pada 1998, Lia yang masih kuliah hendak coba-coba mengajar murid SD untuk mengasah kemampuan bahasa Inggrisnya. Padahal, menjadi guru bukan lah cita-citanya. “Karena saya suka ngomong saya pikir, ah pengen jadi kayak humas. Dulu niatnya gitu, tapi enggak tahu bisa tersesat jadi guru,” ujar Lia.
Lia mengaku tak menyesal dengan keputusannya saat itu, karena menikmati profesi seorang pengajar dengan segala kondisi dan tantangan yang ada. Di tahun yang sama, Lia juga berkenalan dengan dunia bulu tangkis. Seorang guru olahraga di tempatnya mengajar mengajak Lia menjadi hakim garis.
Dua tahun kemudian, Lia mengikuti penataran dan resmi menjadi wasit bulu tangkis. Setelah mengikuti ujian wasit nasional A pada 2005, Lia bisa memimpin turnamen berbahasa Inggris. Turnamen pertamanya di luar negeri adalah Macau Open pada 2006. “Pertama kali excited banget, benar-benar senang,” kata dia.
Banyak pelajaran dari dunia olahraga yang bisa diimplementasikan Lia dalam mengajarkan murid-muridnya. Salah satunya adalah kedisiplinan.
Lia selalu mengajarkan murid-muridnya agar tepat waktu memulai belajar. Kemudian rasa percaya diri, Lia mengingatkan murid-muridnya supaya menjadi bonek sejati. “Filsafat bonek itu wani (berani) tok. Berani saja deh,” tutur wasit bulu tangkis Olimpiade Tokyo ini. Pelajaran ketiga adalah pantang menyerah. Lia selalu meminta murid-muridnya untuk selalu mencoba dan tidak cepat menyerah, terutama dalam kondisi pandemi.