Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Cuaca Berawan Ekonomi Jawa Timur

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Erani Yustika*

Beberapa data ekonomi Jawa Timur tampak berkilau mirip sinar terang mentari. Pada 2007 dan 2010, pertumbuhannya masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, tapi pada 2008, 2009, dan 2011 lebih tinggi. Bahkan, pada 2012, hampir pasti pertumbuhan ekonomi Jawa Timur di atas nasional. Demikian pula tingkat pengangguran terbuka (TPT) Jawa Timur selalu lebih rendah ketimbang nasional. Pada 2007, TPT nasional 8,46 persen, sedangkan Jawa Timur 6,24 persen. Lima tahun kemudian (2012), TPT nasional turun menjadi 6,32 persen dan Jawa Timur membaik menjadi 4,14 persen.

Dalam banyak hal, struktur ekonomi Jawa Timur merupakan fotokopi dari struktur ekonomi nasional. Penggerak utama perekonomian Jawa Timur adalah sektor perdagangan, industri, dan pertanian. Sektor perdagangan menyumbang sekitar 30 persen produk domestik regional bruto (PDRB), diikuti industri (27 persen) dan pertanian (15 persen). Pada perekonomian nasional, sektor perdagangan berkontribusi lebih kecil (14 persen), industri 24 persen, dan pertanian 14 persen terhadap produk domestik bruto.

Sektor perdagangan dan industri Jawa Timur terkonsentrasi di kawasan Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Sedangkan pertanian menjadi tumpuan hidup di kawasan "Mataraman" (Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Magetan, Trenggalek, dan lain-lain) serta "Tapal Kuda" (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi).

Sektor pertanian Jawa Timur merupakan kisah hebat yang berperan sebagai penyangga pangan nasional. Gula, beras, jagung, kedelai, dan daging adalah sebagian produk pertanian Jawa Timur yang menjadi penyumbang terbesar pertanian nasional. Sampai 2012, padi Jawa Timur menyumbang 17,5 persen produksi nasional, sedangkan jagung 31,6 persen, kedelai 40,4 persen, kacang tanah 29,8 persen, dan ubi kayu 14,7 persen (Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2012). Karena itu, tidak salah bila Jawa Timur hingga kini masih disebut sebagai lumbung pertanian nasional, seperti Jawa Barat.

Di luar itu, komoditas kopi, teh, hortikultura, dan buah-buahan juga memiliki kontributor besar. Pada titik ini, tak aneh bila subsektor industri makanan dan minuman berkembang baik dan menjadi salah satu penggerak utama industri Jawa Timur.

Namun, di balik gemerlap ekonomi Jawa Timur, masih tersimpan ragam masalah ekonomi yang mencemaskan. Tidak seperti data pertumbuhan ekonomi dan pengangguran, angka kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Timur lebih buruk ketimbang level nasional. Pada 2012, kemiskinannya masih 13,4 persen, jauh lebih tinggi daripada nasional (11,96 persen). Demikian juga IPM Jawa Timur 2011 masih 72,18, sedangkan IPM nasional 72,77 (BPS, 2012). Korelasi antara data IPM dan kemiskinan itu cukup kuat. Pada kabupaten yang tingkat IPM-nya rendah biasanya kemiskinannya tinggi. Pada daerah yang IPM-nya rendah, kebetulan pula sebagian besar perekonomiannya bertumpu pada pertanian (bahan mentah), seperti Madura, Tapal Kuda, dan Mataraman.

Pada 1984, perekonomian Surabaya hanya menyumbang 13 persen PDRB Jawa Timur, tapi pada 2010 donasi Surabaya terhadap PDRB melonjak menjadi 26 persen. Jika diperluas ke empat kota/kabupaten, yaitu Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Kota Kediri, pada 1984 wilayah itu hanya menyumbang 22 persen terhadap PDRB, tapi pada 2010 sudah melesat menjadi 47 persen (BPS, diolah), padahal Jawa Timur memiliki 38 kota/kabupaten. Dalam soal pemerataan pembangunan ini, Jawa Timur lebih buruk daripada Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada level nasional, sebetulnya Jawa Timur sangat diharapkan menjadi kawasan yang berperan penting mendukung percepatan pembangunan ekonomi, lebih-lebih saat pemerintah sedang bersiap memasuki ASEAN Economic Community (2015). Sektor industri dan pertanian Jawa Timur sangat diharapkan kontribusinya dalam memenangi persaingan di level ASEAN tersebut. Tapi, dengan melihat aneka persoalan itu, tampaknya banyak hal yang harus diperbaiki agar harapan tersebut bisa terwujud.

*) Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus