Jabatan Rais Am NU tetap kosong. Pengurus harian yang dicalonkan OPP sebagai anggota lembaga legislatif harus melepaskan jabatan di NU. SEMULA ada yang menduga Abdurrahman Wahid alias Gus Dur akan diadili. Namun, ternyata, tidak. Sidang Pleno kedua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), 18 dan 19 Mei, di Hotel Wisata Remaja, Ancol, sama sekali tidak menyinggung hubungan Ketua Umum NU itu dengan Forum Demokrasi. Gus Dur tampak santai saja. Bahkan, ketika sidang hari pertama berlangsung, diam-diam dia pamit untuk menonton pertandingan sepak bola di layar RCTI. Meskipun Ketua Pengurus Wilayah NU (PW NU), Muhammad Tohir, mengusulkan agar kasus Gus Dur dimasukkan dalam agenda sidang, forum menolak. "Kalau Forum Demokrasi dibicarakan, bisa saja keterlihatan pengurus NU di ICMI atau MUI utak-atik," begitu bisik-bisik di antara sekitar 80 peserta sidang. Forum menjadi ramai ketika membahas rancangan Surat Keputusan PB NU tertanggal 1 Mei 1991 tentang petunjuk menghadapi Pemilu 1992. Terutama yang menyangkut keterlibatan warga NU dalam Organisasi Peserta Pemilu (OPP). Sebab, sejak kembali ke khittah dalam Muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan bukan sebagai organisasi politik dan tidak berafiliasi ke salah satu partai politik. Namun, itu bukan berarti OPP tak melihat celahnya. " Berdasarkan pengalaman pemilu yang lalu, tokoh-tokoh NU menjadi 'durian' semerbak yang diincar oleh OPP, entah sebagai vote getter -- pengumpul suara -- atau calon tetap di lembaga legislatif," kata Ketua Tanfidziyah PB NU, Hafid Usman. Menjelang Pemilu 1992, bayang-bayang itu kembali muncul. "Sudah ada tawaran dari Golkar, PDI, dan PPP," ujar Rais Syuriah, H. Hasjim Latief. Maka, dibuatlah SK yang memuat sejumlah aturan. Antara lain, warga NU -- - termasuk pengurus harian -- boleh dicalonkan oleh organisasi sosial politik sebagai anggota MPR/DPR, DPRD I, dan DPRD II. Namun, begitu namanya tercantum sebagai calon tetap, ia harus menanggalkan jabatannya di NU. Begitu pemungutan suara selesai dan masuk ke lembaga legislatif, ia kembali memegang jabatannya di NU. Pasal ini membuat utusan Jawa Timur angkat bicara. "Begitu terpilih sebagai anggota badan legislatif, kenapa tak langsung saja dibebastugaskan dari jabatannya di NU," usul Muhammad Tohir. Akhirnya forum mengambil jalan tengah. Mereka yang menjabat pengurus harian misalnya, yang terpilih dalam pemilu, dialihtugaskan ke jabatan yang tak penting. Ketentuan ini juga berlaku bagi pengurus badan otonom di lingkungan NU. Misalnya terhadap Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor Slamet Effendy Yusuf, yang kabarnya dicalonkan Golkar. Kalau mau dicalonkan, Slamet harus melepaskan jabatannya sebagai ketua umum di Ansor. Yang juga ramai diperdebatkan adalah hasil rapat gabungan Pengurus Besar Harian Syuriah dan Tanfidziyah tanggal 2 Februari 1991 tentang pengisian jabatan rais am. Jabatan itu lowong sejak meninggalnya K.H. Ahmad Siddiq beberapa bulan lalu. Rapat gabungan tersebut memutuskan tak menunjuk rais am yang baru, tapi hanya melimpahkan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenangnya kepada Wakil Rais Am K.H. Ali Yafie. Itu berlaku hingga Muktamar ke-29 NU pada 1993 mendatang. Memang ada yang menghendaki agar Ali Yafie ditetapkan saja sebagai rais am yang baru. Namun, menurut ketentuan, jabatan rais am hanya bisa ditetapkan lewat muktamar. "Jadi, NU tidak punya rais am sampai muktamar nanti," kata Ali Yafie. Priyono B. Sumbogo dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini