PARA purnawirawan ABRI sebenarnya makhluk yang tidak luar biasa. Mereka orang-orang yang, karena usia atau faktor lain, berhenti dari dinas -- tapi umumnya belum mau berhenti mencari nafkah, berpikir, berpendapat, mempunyai ambisi, dan menyimpan cita-cita. Seperti Anda juga. Namun, karena posisi ABRI dalam kehidupan politik Indonesia sekarang, para pensiunan itu pun -- meskipun jumlahnya sekitar 300 ribu, atau hanya 0,17 persen dari penduduk Indonesia -- menjadi buah pembicaraan. Khususnya tentang sikap dan pilihan politik mereka, ketika mendadak terdengar bahwa ada sejumlah purnawirawan ABRI yang bergabung bukan dengan Golkar. Patutkah mereka tidak bergabung dengan Golkar, melainkan dengan partai politik yang lain? Atau bahkan lebih jauh dari itu: menjadi disiden, yang menyatakan kritik yang dikemukakan secara terbuka terhadap pemerintah? Di dalam pemilihan umum tahun 1955 -- yang secara umum diakui dilakukan dengan cukup bebas dan rahasia itu -- anggota ABRI boleh ikut memilih, seperti warga negara biasa. Mereka waktu itu (termasuk banyak tentara yang kemudian, pada masa Orde Baru, pegang peran) mencoblos tanda gambar partai kesukaan masing-masing -- tak selamanya partai pemerintah. Namun, itu berasal dari masa yang disebut, dengan nada kecaman, sebagai masa "demokrasi liberal". Dalam sejarah Indonesia, ABRI memang kemudian mengalami pelbagai keretakan di dalam tubuhnya. Bahkan, sejumlah perwira terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah, seperti menjelang akhir tahun 1950-an, sewaktu terjadi Peristiwa PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Indonesia Timur, ketika beberapa pimpinan tentara di daerah menyatakan tidak patuh kepada pemerintah pusat di Jakarta. Pada tahun 1965, terbukti lagi sejumlah perwira ikut aktif dalam peristiwa Gerakan 30 September -- yang membunuh sejumlah besar teras pimpinan Angkatan Darat. Sejarah tampaknya mengajarkan bahwa sebuah ABRI yang terlibat dalam perpecahan politik akan sangat membahayakan negara dan masyarakat. Sebab itulah pemerintahan Orde Baru melakukan koreksi. Anggota tentara tidak ikut memilih dalam pemilihan umum. Di lembaga legislatif, mereka diwakili oleh anggota-anggota parlemen yang ditunjuk dari kalangan mereka sendiri. Bersamaan dengan itu, ikatan mereka dengan pemerintah diperkukuh dengan semacam ketentuan bahwa keluarga mereka wajib memberi suara untuk Golkar dalam pemilu. Dan, akhirnya, bila mereka pensiun pun punya semacam "kewajiban moral" untuk mendukung "partai" pemerintah itu. Sejak awal Orde Baru hal itu tak menjadi soal. Namun, kemudian akhirnya ada juga, diam-diam, sejumlah purnawirawan ABRI yang mendukung partai politik yang selama ini berada di luar pemerintah. Maklumlah: mereka toh, secara teknis, sudah terlepas dari ikatan kedinasan. Mereka sudah mendapatkan nafkah sebagai orang yang hidup sebagai swasta. Mereka tak usah lagi memakai seragam datang ke markas, dan mendapat pengawasan langsung dari atasan. Tetapi mengapa tahun ini hal itu menjadi persoalan? Laporan kali ini mencoba menengok ke latar belakangnya. Dalam dunia politik Indonesia yang tak sepenuhnya terbuka, agak tidak mudah melakukan hal itu, meskipun, belakangan ini mungkin berkat kesepakatan untuk "keterbukaan", ada lebih banyak yang terungkap. Misalnya duduk soal "Petisi 50", kelompok yang dianggap paling "membangkang", yang tokohnya banyak berasal dari pensiunan ABRI. Tetapi tentu saja soal sikap politik purnawirawan ABRI tak hanya diwarnai oleh kritik dan pembangkangan. Juga perkembangan yang terjadi -- kian tampaknya pilihan pensiunan tidak hanya ke Golkar -- merupakan hasil perubahan sejak lebih dari lima tahun terakhir. Misalnya adanya kesepakatan ber-"asas tunggal" di pelbagai organisasi sosial, yang menyebabkan persoalan mana organisasi yang "Pancasilais" dan mana yang "belum" jadi tak relevan lagi. Suatu sorotan khusus tentang hubungan ABRI dan Golkar tentu saja perlu. Juga, tak kalah menariknya, menengok: Bagaimana hidup dan pandangan para purnawirawan sendiri, sebenarnya? Silakan mengikuti. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini