Much Ado About Pronk MARI PANGESTU BEBERAPA kesan yang tidak tepat telah timbul dengan kunjungan Jan Pronk, Ketua IGGI. Publisitas yang menyangkut dirinya memang gencar. Kalau kita hanya membaca pemberitaan mengenai Pronk tanpa mengetahui permasalahan dan latar belakangnya, kita bisa dapat kesan yang keliru. Kesan pertama: Pronk seolah-olah mempertanyakan kualitas penggunaan bantuan luar negeri oleh negara sedang berkembang. Yang disorot adalah tak tercapainya pengurangan kemiskinan, kelestarian lingkungan, dan hak wanita. Kesan yang timbul, kalau negara penerima bantuan tak memenuhi tujuan tersebut, bantuan luar negeri yang diberikan akan dikurangi. Pengertian tied aid -- bantuan luar negeri dikaitkan dengan kriteria atau kehendak donor -- bukan konsep baru. Di samping tujuan "humanitarian" dan pelestarian lingkungan, ada beragam motivasi yang mendasari utang luar negeri, dan setiap donor punya prioritas motivasi tersendiri. Motivasi donor antara lain: hubungan sejarah atau persamaan kultur pertimbangan politik dan strategis memberi pasaran untuk barang dan jasa oleh pemasok dari negara mereka dan seperti Jepang, untuk menunjang pengaliran modal swasta dari negara mereka dengan pembangunan prasarana. Banyak sudah studi untuk menunjukkan bobot tied dari bantuan luar negeri, terutama dari Jepang. Perlu diingat, sebagian besar bantuan yang kita terima berbentuk pinjaman bersyarat lunak. Bukan hibah yang tak usah dikembalikan. Maka, negara donor pun berkepentingan agar utang itu kelak bisa dibayar kembali. Tentunya kepentingan motivasi berbeda antarnegara. Kalau dinilai secara menyeluruh, sulit diketahui motivasi mana yang harus diperhatikan oleh negara penerima. Kalau dinilai secara pragmatis, akan sangat masuk akal bila kepentingan pemasok dan investor negara donor yang lebih menonjol. Juga pertimbangan agar bantuan luar negeri digunakan untuk meningkatkan daya pembayaran negara penerima (misalnya peningkatan output dan ekspor). Jadi, bukan motivasi lain. Juga perlu dicatat: motivasi kelestarian lingkungan, pemerataan, pengurangan kemiskinan, dan pencapaian demokrasi (apa pun artinya) sering hanya untuk konsumsi politik domestik negara donor. Kita harus sadar, ada motivasi lain, dan belum tentu kehendak negara donor sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan negara penerima. Nilai-nilai yang dianut di negara donor berbeda dengan negara penerima utang. Walau negara pengutang menyanggupi melakukan semua kehendak negara donor, belum tentu bantuan luar negeri akan tidak dikurangi atau ditingkatkan. Sebaliknya, kalau misalnya negara peminjam tak melakukan kehendak donor, belum tentu pula bantuan luar negeri akan dikurangi. Bantuan luar negeri yang terkait adalah contoh penggunaan senjata ekonomi untuk mencapai tujuan negara donor. Bentuknya bisa ekonomi, bisa juga nonekonomi. Banyak contoh betapa senjata seperti itu ternyata tumpul. Contohnya, sanksi ekonomi terhadap sejumlah negara Afrika Selatan. Sebab, umumnya perubahan dalam negeri terjadi karena tekanan-tekanan dari dalam negerinya sendiri, dan hasrat politik dalam negeri yang mendukung. Masalahnya di sini bukan karena kehendak donor, seperti kelestarian lingkungan dan pengurangan kemiskinan, tak penting untuk negara berkembang dibanding tujuan pertumbuhan. Tapi menggunakan senjata bantuan luar negeri tidak tepat, bahkan tumpul, mengingat motivasi yang beragam. Keinginan untuk pertumbuhan yang berkesinambungan (equitable growth) sudah seharusnya jadi tujuan tersendiri, dan tak perlu dikaitkan dengan pemberian bantuan luar negeri. Yang jadi masalah utama untuk Indonesia dan negara berkembang lain adalah mencari kebijakan yang tepat dan operasional. Misalnya Pronk juga menyebut model bottom up yang harus menggantikan model top down. Model ini merupakan pemikiran dalam ekonomi pembangunan yang sudah lama berkembang. Yang selalu jadi soal adalah mengoperasionalkan kebijakan tersebut. Pronk tak memberi masukan baru dalam hal ini. Kesan kedua, demokrasi akan menunjang pembangunan yang tepat, yaitu pola pertumbuhan yang akan menguntungkan semua pihak, sepertinya jadi prasyarat. Padahal, belum dibuktikan bahwa sistem yang lebih demokratis menyebabkan good governance atau pemerintah yang efisien dan equitable dalam melaksanakan tugas menuju pertumbuhan yang berkesinambungan. Konsep demokrasi yang dimaksud juga tak jelas. Menurut saya, tujuan demokrasi perlu dijalankan. Tapi demi mencapai nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan sistem di negara bersangkutan, yang memang diperlukan pada suatu tahap agar ada accountability dari pemerintah. Jadi, jangan dilihat sebagai prasyarat untuk tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kesan ketiga adalah, pertumbuhan sektor swasta harus dibatasi untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan. Ini pemikiran yang bertentangan dengan kesimpulan IGGI: keberhasilan Indonesia dalam mengatasi gejolak eksternal, dan berhasil menggairahkan iklim investasi, adalah karena peningkatan peran sektor swasta. Memang setelah ditanya lebih lanjut, Pronk bukan bermaksud membatasi peran sektor swasta dibanding pemerintah. Tapi untuk adanya peraturan dan kebijakan yang dapat menimbulkan suasana kompetisi yang fair. Ini pun bukan hal baru, dan belakangan kembali jadi topik hangat. Sudah banyak debat mengenai, misalnya, perlunya peraturan anti-trust. Masyarakat Indonesia tentu ingin agar semua hal yang dikemukakan Pronk bisa terwujud. Kita tentu angkat topi bahwa ada orang yang memikirkan hal-hal itu. Kalau kita lihat pembahasan dan ulasan mengenai bentuk pembangunan ekonomi Indonesia belakangan ini, semua hal tadi sudah dipikirkan. Tapi yang masih belum muncul adalah pemikiran kongkret yang didasari fakta dan penelitian mengenai permasalahan sekitar tercapainya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Apa yang harus menjadi prioritas? Bagaimana formulasi kebijakan yang tepat dan dapat dilaksanakan dalam situasi Indonesia? Ini PR kita sendiri. Akhirnya kita harus bisa membedakan posisi Jan Pronk sebagai politikus dari Partij van der Arbeid dengan daerah pemilihan di negerinya dan Jan Pronk sebagai Ketua IGGI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini