Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA politisi di parlemen tidak berhenti membuat sensasi. Setelah beberapa waktu silam masyarakat terbelalak menatap daftar kekayaan mereka, yang rata-rata amat besar, belakangan ini muncul kabar anyar dari Gedung DPR, Senayan. Para wakil rakyat itu telah mengusulkan agar gaji pokok mereka dinaikkan dari Rp 4,2 juta menjadi Rp 6 juta. Naik hampir 42 persen!
Usulan itu sudah dibahas oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR sejak September tahun lalu. Dan, menurut Ketua BURT Asep Ruchimat Sudjana, hal ini telah dibicarakan pula dengan Panitia Anggaran DPR, akhir tahun silam. ?Kami memang hanya bisa mengusulkan. Yang menentukan adalah pemerintah,? kata politisi dari Partai Golkar ini.
Keruan saja, rencana tersebut segera mengundang reaksi masyarakat. Dalam dialog interaktif anggota DPR yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia, Jumat pekan lalu, hampir semua penelepon mencerca para wakil rakyat. Mereka meminta agar rencana itu ditunda. Marzuki Achmad, yang menjadi salah satu pembicara dalam acara ini, tak berkutik. Ketua Fraksi Partai Golkar itu lalu menyatakan bahwa keinginan masyarakat tersebut akan menjadi bahan pertimbangan. ?Ya, kami juga tidak mau eksklusiflah,? ujarnya.
Setelah dihujani kritik, Asep Ruchimat pun segera meluruskan. Yang diusulkan oleh BURT?beranggotakan 60 anggota DPR dari berbagai fraksi?katanya bukan kenaikan gaji, melainkan perubahan komposisi. Total gaji anggota parlemen tetap, yakni Rp 12,7 juta. Hanya komposisinya yang diubah. Dulu, jumlah tunjangan lebih besar dari gaji pokok. Sekarang, dalam usulan BURT, tunjangan jabatan anggota DPR dipangkas, tapi gaji pokoknya diperbesar (lihat tabel). ?Jadi, kalau dilaksanakan, ini tidak mempengaruhi pos gaji pegawai negeri pada APBN,? kata Asep.
Ditegaskan pula oleh Sekretaris Jenderal DPR, Sitti Nurhajati Daud, perubahan komposisi gaji tersebut dilakukan agar struktur gaji tak jomplang. Baginya, tunjangan yang jauh lebih besar dari gaji pokok menunjukkan struktur gaji yang tak sehat. ?Ini harus diperbaiki,? ujarnya. Menurut Sitti, usulan ini sudah disampaikan kepada pemerintah, tapi sampai sekarang belum mendapat jawaban.
Kalau usulan itu diterima, akibatnya uang pensiun anggota DPR akan membengkak. Soalnya, persentase uang pensiun dihitung dari gaji pokok. Seusai dengan peraturan pemerintah, anggota DPR yang bertugas selama 75 bulan (lebih dari satu periode) akan mendapat uang pensiun maksimal, yakni 75 persen dari gaji pokok.
Jika seorang politisi cuma bertugas selama satu periode (60 bulan), menurut sumber TEMPO di DPR, ia akan mendapat uang pensiun sebesar 60 persen dari gaji pokok. Dengan struktur gaji yang lama, ia hanya mendapat uang pensiun sebesar Rp 2,5 juta tiap bulan. Tapi, dengan gaji pokok yang baru, uang pensiunnya akan lebih besar, yakni Rp 3,6 juta.
Perubahan ini menguntungkan para anggota DPR, tapi akan membebani pemerintah karena harus menyediakan anggaran pensiun yang lebih besar. Apalagi, bukan cuma anggota DPR periode sekarang yang menikmati perubahan itu, tapi juga anggota parlemen periode sebelumnya. Aturannya, uang pensiun untuk pejabat negara, termasuk anggota DPR, memang dihitung dari gaji yang berlaku saat ini.
Bagi Daryatmo Mardiyanto, Sekretaris Fraksi Partai Golkar, komposisi gaji baru tersebut sebetulnya cukup masuk akal bila dikaitkan dengan tugas anggota DPR yang berat. Selain menjalankan fungsi legislasi, anggota DPR juga bertugas mengawasi pemerintah. Bahkan, kata orang Semarang ini, dibandingkan dengan anggaran negara yang mencapai Rp 300 triliun, seluruh gaji anggota DPR sekarang kurang dari 0,1 persennya.
Kendati begitu, tak semua anggota DPR menyambut hangat usulan itu. Panda Nababan, anggota Fraksi PDIP, misalnya, menyarankan agar rencana itu diendapkan dulu. ?Yang paling penting sekarang justru peningkatan kinerja DPR,? ujarnya.
Sejauh ini para politisi memang belum bekerja maksimal. Tingkat kehadiran wakil rakyat di rapat-rapat sangat rendah. Bahkan ada anggota DPR yang sama sekali tak pernah hadir dalam sidang. Rapat-rapat komisi dan paripurna pun sering telat karena tak memenuhi kuorum.
Kalau begitu, pantaskah mereka mendapat uang pensiun lebih besar?
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo