BIMBINGAN tes bukan saingan sekolah. Belum terdengar kabar ada
SMA ditutup karena bimbingan tes. Tapi berkembangnya BT atau
bimbingan tes itu -- tidak hanya dalam soal jumlah peserta,
namun juga menyangkut metode belajar-mengajar -- yang memberikan
isyarat seperti ada yang salah dengan sekolah.
Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja,
menunjuk masalah jumlah lulusan SMA yang tak sebanding dengan
daya tampung perguruan tinggi. Maka muncullah yang oleh Prof.
Dr. Santoso Sastrohamidjojo, bekas Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah yang dulu ikut terlibat dalam penyusunan Kurikulum
1975, disebut "kekhawatiran terhadap persaingan." Dan BT yang
menjanjikan jalan pintas dengan "belajar secara siap pakai,"
kata Santoso, wajar bila kebanjiran peminat.
Tapi memang ada unsur lain -- tak hanya soal besarnya jumlah
lulusan SMA. BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
dah Kebudayaan) Dep. P & K pernah mengadakan penelitian kualitas
lulusan SMA. Hasilnya memang memprihatinkan. Kurikulum 1975
rata-rata hanya diserap oleh siswa SMA sekitar 60%. Rendahnya
mutu lulusan SMA ini diperkuat fakta lain pula. Tes proyek PP I
menyediakan nilai tertinggi, kalau betul semua, 200. Tapi nilai
tertinggi yang dicapai calon mahasiswa selama ini berkisar
antara 170-180, dan yang mencapai nilai itu tiap tahunnya bisa
dihitung dengan jari. Sementara yang mendapat nilai di atas 100,
tiap tahunnya hanya sekitar 10%.
Prof. Dr. Setijadi, dekan Fak. Pasca Sarjana IKIP Jakarta, bekas
ketua BP3K, mengakui Kurikulum 1975 yang diterapkan sejak 1976
memang berat. "Yang terang, materi pelajaran terlalu banyak,"
kata Setijadi, yang dulu memang anggota tim penyusun kurikulum
tersebut. Ini memang diakui banyak guru SMA. "Kalau toh ada
sekolah yang berhasil menyelesaikan Kurikulum 1975," kata Iwa
Ruchijat, guru matematika SMA BPI, sekolah swasta favorit di
Bandung, "itu mungkin pelajaran dilakukan dengan maraton."
Dengan cara begitu, menurut Iwa, pihak guru tak sempat lagi
melakukan tes, apakah muridnya telah benar-benar memahami
pelajaran yang diberikan.
Tapi Tohidi, guru SMAN III, Bandung melihat cara "maraton" untuk
menyelesaikan Kurikulum 1975 keliru. "Yang penting ialah
menumbuhkan minat belajar dalam diri siswa," kata guru kimia
itu. Hingga tak semua bab perlu diberikan guru dalam kelas, tapi
diminta dipelajari siswa sendiri. "Guru kemudian tinggal
mengecek apakah murid memahami pelajaran," tambahnya.
Sebenarnya, seperti kata Tohidi dengan cara itulah seharusnya
Kurikulum 1975 diselesaikan. Ini pernah dikatakan Dr.
Soedijarto, bekas kepala Pusat Pengembangan Kurikulul BP3K. Tapi
keharusan ini tersandung pada, bukan rahasia lagi, rendahnya
kualitas guru-guru SMA.
Pada faktor guru inilah agaknya sejumlah masalah terkumpul.
Misalnya, dengan dilaksanakannya ujian sekolah, nilai rapor atau
hasil ujian -- yang hingga kini merupakan satu-satunya indikator
apakah belajar-mengajar di sebuah kelas berlangsung dengan baik
-- bisa dimanipulasi.
Bila di sebuah kelas nilai tertinggi yang dicapai misalnya 4,
maka guru bisa saja menaikkan nilai itu menjadi 8. Berarti semua
nilai harus ditambah 4 pula. "Ini disebut mengatrol nilai," kata
Dr. Munandir, dosen Fak. Pasca Sarjana IKIP Malang. "Berarti
lulus tidaknya seorang siswa pun bisa dibuat." Tapi, lanjut
dosen yang dulu ikut merumuskan Kurikulum 1975 ini, "memang tak
ada guru yang mau disebut tak berhasil mendidik. Bahkan mereka
tak mau terima protes dari orangtua murid."
Tentu saja gambaran seperti itu bukan gambaran menyeluruh. Ada
pula sekolah yang baik, guru yang baik. Tapi berapa jumlahnya?
Maka pertanyaannya kini, ialah sementara menunggu guru bermutu
yang mungkin baru datang bertahun-tahun kemudian, apa yang kini
hendak dilakukan?
Pendalaman materi yang direncanakan Darji Darmodiharjo, Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah, banyak dikritik. "Mengapa
dilakukan sesudah EBTA?" tanya Munandir. "Seharusnya itu
diberikan sebelum EBTA, agar membantu terlaksananya kurikulum."
Yang lain menyangsikan hasilnya, bila gurunya itu-itu juga.
Alternatif yang lain, bila para guru cukup rendah hati, adalah
mencoba menerapkan proses belajar-mengajar seperti di BT yang
memudahkan siswa memahami pelajaran. Tapi pasti ini akan
mendapat jawaban klise: honorarium tenaga pengajar di BT jauh
lebih tinggi daripada gaji seorang guru. Dan, beban pengajar di
BT relatif lebih ringan karena tidak mulai dari awal. BT
sebenarnya mirip "pelatnas dalam olah raga," kata Setijadi pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini