Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengatrol Nilai, Mengangkat Mutu?

Ditarik dan diulur, soal mutu SMA jatuh juga pada banyaknya murid dan sulitnya mencari guru yang baik. sementara bimbingan tes mirip pelatnas dalam olah raga. bisakah SMA dipersingkat.

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIMBINGAN tes bukan saingan sekolah. Belum terdengar kabar ada SMA ditutup karena bimbingan tes. Tapi berkembangnya BT atau bimbingan tes itu -- tidak hanya dalam soal jumlah peserta, namun juga menyangkut metode belajar-mengajar -- yang memberikan isyarat seperti ada yang salah dengan sekolah. Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja, menunjuk masalah jumlah lulusan SMA yang tak sebanding dengan daya tampung perguruan tinggi. Maka muncullah yang oleh Prof. Dr. Santoso Sastrohamidjojo, bekas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang dulu ikut terlibat dalam penyusunan Kurikulum 1975, disebut "kekhawatiran terhadap persaingan." Dan BT yang menjanjikan jalan pintas dengan "belajar secara siap pakai," kata Santoso, wajar bila kebanjiran peminat. Tapi memang ada unsur lain -- tak hanya soal besarnya jumlah lulusan SMA. BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dah Kebudayaan) Dep. P & K pernah mengadakan penelitian kualitas lulusan SMA. Hasilnya memang memprihatinkan. Kurikulum 1975 rata-rata hanya diserap oleh siswa SMA sekitar 60%. Rendahnya mutu lulusan SMA ini diperkuat fakta lain pula. Tes proyek PP I menyediakan nilai tertinggi, kalau betul semua, 200. Tapi nilai tertinggi yang dicapai calon mahasiswa selama ini berkisar antara 170-180, dan yang mencapai nilai itu tiap tahunnya bisa dihitung dengan jari. Sementara yang mendapat nilai di atas 100, tiap tahunnya hanya sekitar 10%. Prof. Dr. Setijadi, dekan Fak. Pasca Sarjana IKIP Jakarta, bekas ketua BP3K, mengakui Kurikulum 1975 yang diterapkan sejak 1976 memang berat. "Yang terang, materi pelajaran terlalu banyak," kata Setijadi, yang dulu memang anggota tim penyusun kurikulum tersebut. Ini memang diakui banyak guru SMA. "Kalau toh ada sekolah yang berhasil menyelesaikan Kurikulum 1975," kata Iwa Ruchijat, guru matematika SMA BPI, sekolah swasta favorit di Bandung, "itu mungkin pelajaran dilakukan dengan maraton." Dengan cara begitu, menurut Iwa, pihak guru tak sempat lagi melakukan tes, apakah muridnya telah benar-benar memahami pelajaran yang diberikan. Tapi Tohidi, guru SMAN III, Bandung melihat cara "maraton" untuk menyelesaikan Kurikulum 1975 keliru. "Yang penting ialah menumbuhkan minat belajar dalam diri siswa," kata guru kimia itu. Hingga tak semua bab perlu diberikan guru dalam kelas, tapi diminta dipelajari siswa sendiri. "Guru kemudian tinggal mengecek apakah murid memahami pelajaran," tambahnya. Sebenarnya, seperti kata Tohidi dengan cara itulah seharusnya Kurikulum 1975 diselesaikan. Ini pernah dikatakan Dr. Soedijarto, bekas kepala Pusat Pengembangan Kurikulul BP3K. Tapi keharusan ini tersandung pada, bukan rahasia lagi, rendahnya kualitas guru-guru SMA. Pada faktor guru inilah agaknya sejumlah masalah terkumpul. Misalnya, dengan dilaksanakannya ujian sekolah, nilai rapor atau hasil ujian -- yang hingga kini merupakan satu-satunya indikator apakah belajar-mengajar di sebuah kelas berlangsung dengan baik -- bisa dimanipulasi. Bila di sebuah kelas nilai tertinggi yang dicapai misalnya 4, maka guru bisa saja menaikkan nilai itu menjadi 8. Berarti semua nilai harus ditambah 4 pula. "Ini disebut mengatrol nilai," kata Dr. Munandir, dosen Fak. Pasca Sarjana IKIP Malang. "Berarti lulus tidaknya seorang siswa pun bisa dibuat." Tapi, lanjut dosen yang dulu ikut merumuskan Kurikulum 1975 ini, "memang tak ada guru yang mau disebut tak berhasil mendidik. Bahkan mereka tak mau terima protes dari orangtua murid." Tentu saja gambaran seperti itu bukan gambaran menyeluruh. Ada pula sekolah yang baik, guru yang baik. Tapi berapa jumlahnya? Maka pertanyaannya kini, ialah sementara menunggu guru bermutu yang mungkin baru datang bertahun-tahun kemudian, apa yang kini hendak dilakukan? Pendalaman materi yang direncanakan Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, banyak dikritik. "Mengapa dilakukan sesudah EBTA?" tanya Munandir. "Seharusnya itu diberikan sebelum EBTA, agar membantu terlaksananya kurikulum." Yang lain menyangsikan hasilnya, bila gurunya itu-itu juga. Alternatif yang lain, bila para guru cukup rendah hati, adalah mencoba menerapkan proses belajar-mengajar seperti di BT yang memudahkan siswa memahami pelajaran. Tapi pasti ini akan mendapat jawaban klise: honorarium tenaga pengajar di BT jauh lebih tinggi daripada gaji seorang guru. Dan, beban pengajar di BT relatif lebih ringan karena tidak mulai dari awal. BT sebenarnya mirip "pelatnas dalam olah raga," kata Setijadi pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus