PERJALANAN seorang kepala negara adalah sebuah kerja besar dan
rumit. Mungkin karena itulah Pak Harto tak kerap melakukannya.
Dalam terbang pulang dari kunjungan ke negeri-negeri Teluk di
Timur Tengah beberapa tahun yang lalu, seorang wartawan bertanya
bilakah Presiden akan berkunjung juga ke Irak. Jawab Pak Harto
waktu itu: "Saudara tahu, bahwa perjalanan seperti ini
memerlukan persiapan yang tidak sedikit . . . ,"
Betapa pun, perjalanan seperti itu sering tak bisa dielakkan.
Banyak undangan harus diterima. Hampir tiap kunjungan pertama
dari kepala negara lain ke Indonesia harus dibalas. Kepergian ke
Amerika Serikat kali ini dilakukan setelah undangan Presiden
Reagan, sekitar 1 « tahun yang lalu.
Pak Harto, menurut sebuah sumber, sebenarnya baru bersedia
memenuhinya setelah Sidang Umum MPR nanti. Ia tak hendak memberi
kesan mendahului keputusan sidang penting di tahun 1983 itu.
Tapi keadaan hubungan Indonesia-AS, seperti dikatakan seorang
pejabat tinggi, sedang tak hangat--tatkala Indonesia tak lagi
berbicara tentang bantuan, tapi tentang perdagangan (baca TEMPO
23 Oktober).
Karena itu disetujui untuk tak menundanya lebih lama dari akhir
tahun ini. Apalagi pihak Indonesia, setelah menganalisa keadaan
di AS, menyimpulkan: di tahun depan Presiden Reagan akan kian
sibuk menghadapi persoalan dalam negeri. Keadaan ekonomi AS
begitu rupa, hingga dalam pemilihan para wakil rakyat November
nanti diperkirakan posisi Partai Republik--partai sang presiden
-- akan merosot. Maka bulan Oktober pun dipilih sebagai saat
terbaik.
Tapi satu hal selalu jadi pegangan. "Kepala Negara RI tak pernah
akan hanya pergi ke AS, lalu kembali," kata seorang pejabat
tinggi. Kunjungan Presiden Soeharto ke AS di tahun 1970 (di masa
Nixon) dan di uhun 1975 (di masa Ford) selalu digabung dengan
kunjungan ke negara-negara lain. Oktober 1982 ini pun perjalanan
dikaitkan dengan bertamu ke Spanyol, Korea dan Jepang. Ini untuk
menegaskan lagi: bagi Indonesia AS penting sekali, tapi bukan
ibarat Mekah.
Keputusan seperti ini dengan segera membebani para pejabat
protokol negara dengan tugas yang pelik. Tiap negara punya
jadwal tersendiri. Tiap kepala negara punya kesibukan
tersendiri. Semuanya harus dicocokkan. Bagaikan pengasah otak
jig-saw, tiap-tiap bagian harus disusun begitu rupa hingga jadi
pas. Kepala Protokol Negara, kini A. Djumiril, beserta
Sekreuris Militer Presiden, kini Kardono, beberapa bulan
sebelumnya harus berangkat berunding dengan pihak calon tuan
rumah.
Acara upacara dan keamanan didiskusikan sampai tuntas--tak
jarang dengan tawar-menawar yang gigih. Seorang kepala protokol
negara harus tahu rencana acara, tata letak gedung, lapangan,
atau tempat duduk, juga proses upacara adat istiadat lain sampai
terperinci. Para petugas keamanan harus tahu situasi sosial
politik keadaan medan, bahkan soal ada atau tidaknya wabah di
suatu tempat. Mereka harus pulang dengan catatan yang lengkap.
Dalam kata-kata seorang pejabat yang berpengalaman mengurus
persiapan ini, tugasnya adalah "26 jam sehari".
Tentu saja pada akhirnya kepala negara bisa memilih, acara mana
yang akan diterimanya dalam suatu kunjungan, acara mana yang
tidak. Namun tak berarti ia bisa seenaknya. Dalam soal seperti
ini seorang kepala negara harus bisa menahan keinginan
pribadinya. Perjalanannya toh bukan tamasya. "Suatu acara yang
tak begitu disukainya pun harus dijalaninya, bila pihak tuan
rumah merasa itu jadi kebanggaan mereka," kata seorang petugas
protokol. "Dan dalam soal seperti ini, Pak Harto tidak banyak
menuntut."
Bila masih dianggap cukup bijaksana untuk meminta perubahan,
yang dikehendaki Pak Harto biasanya ialah dikuranginya jamuan
makan resmi. Protokol yang ramai-ramai juga hendaknya
dipersedikit. Dalam kata-kata Joop Ave, bekas Dirjen Protokol
dan Konsuler Deplu yang kini jadi Dirjen Pariwisata, "Beliau
seorang yang protocol-sby" seorang yang sedapat mungkin
menghindari protokol, "tapi beliau sepenuhnya memahami kebutuhan
protokoler."
Acara yang biasanya dipilih atau disetujui Pak Harto, menurut
Joop Ave, ialah yang dinilainya "bermanfaat bagi Indonesia." Itu
berarti melihat proyek yang berhubungan dengan pertanian di
waktu lampau, dan industri di waktu kini.
Seorang petugas protokol lain mengatakan bahwa Pak Harto agak
enggan dengan acara hiburan dan pertunjukan kesenian. Karena
baginya, kata petugas itu, "yang dihibur ialah presiden dan
rombongannya saja," sedang kedatangannya bukan untuk itu.
Tapi Presiden toh bisa bertahan dengan tenang dan senyum dan
bertepuk untuk suatu pertunjukan yang tak menyenangkan
sekalipun. Dalam kunjungan ke Iran di tahun 1975, misalnya, di
Kota Shiraz--di masa Syah--satu tarian tunggal wanita dengan
musik yang itu-itu juga dan gerak itu-itu juga disajikan sampai
satu jam, di halaman luar hotel. Malam sudah larut. Rombongan
sebenarnya sudah lelah. Kiranya begitu pula Pak Harto dan Ibu
Tien. Tak bisakah mereka meninggalkan acara dan meminta mengaso?
"Tidak," jawab seorang pejabat, berbisik. "Ini tugas negara."
Menyadari perjalanan ini sebagai tugas negara pula Presiden
selalu cermat memperhatikan adat upacara yang berlaku. "Dia tak
boleh salah dan berbuat sekehendaknya," kata seorang petugas.
"Lain dari kita-kita." Dia tahu pada saat mana harus duduk atau
berdiri, ke arah mana harus melangkah.
Tak mudah, memang. Seperti kata Sekretaris Militer Kardono,
"negara mDa tata, desa mawa cara." Lain lubuk lain ikannya.
Perbedaan dari negara ke negara itu toh dengan tekun dipelajari
Presiden. Itu semua merupakan beban tambahan di samping
persiapannya untuk hal-hal yang lebih besar: perundingan tingkat
tinggi, yang kadang muskil.
Beban pekerjaan seperti itu kian terasa bila diingat sempitnya
waktu yang tersedia. Pak Harto, menurut Joop Ave, dalam
perjalanan adalah seorang yang "hemat waktu". Perjalanannya yang
terpanjang sejak jadi presiden adalah perjalanan terakhir ini:
itu pun cuma 16 hari, dengan jarak sekeliling dunia.
Agaknya tipikal Presiden Soeharto ullah kunjungan resminya di AS
kali ini. oi Washington DC, ibukota AS, kepala ncgara Indonesia
cuma berada sekitar 24 jam. Maka di sana pun secara tak
terelakkan timbul perbandingan antara kunjungannya dengan
kunjungan Presidcn Filipina Marcos di pertengahan September.
Pertamuan resmi Marcos di AS adalah 5 hari, ditambah dengan 8
hari acara yang tak resmi.
Marcos memang tipe umu dengan tanda seru. Pak Harto sebaliknya.
"Tokoh kita ini," kata seorang pembantunya, " 100% bernada
rendah."
Marcos misalnya blcara di depan Komisi Luar Negeri Senat,
berpidato di depan National Press Club di Washington dan
mengadakan wawancara dengan pelbagai jaringan TV di New York.
Pak Harto uk demikian. Seorang dalam rombongan presiden
Indonesia mengatakan alasannya: No news is good news.
Terjemahannya, dalam versi ini "Tak ada pemberitaan dalam pers
Amerika justru berarti keadaan Indonesia tenang."
Satu-satunya yang menyebabkan Indonesia jadi perhatian pers di
Washington DC memang karena perkara Timor Timur -- bukan hal
yang "tenang" seperti berubahnya fokus Indonesia dari soal
bantuan ke soal perdagangan.
Toh peliputan pers terkemuka Amerika terhadap kunjungan kali ini
termasuk lumayan: gambar dua tiga kolom di halaman pertama, lalu
tulisan sampai tiga kolom tinggi. Paling tidak ini lebih besar
ketimbang waktu kunjungan presiden ke Kanada tahun 1975, yang
hampir nol. Juga Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, yang
trampil berbicara kepada pers, dapat tempat cukup di Washington
Post. Meskipun ia agak kecewa, ketika di gedung State
Department, Asisten Menlu John Holdridge dengan cepat mengambil
alih posisinya ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang Timor
Timur. . .
Dapat tempat terlalu banyak dalam pers Amerika toh tak selamanya
enak. Ketika rombongan Presiden Marcos tiba di Washington DC,
dengan cepat kantor herita Reuter mencatat bahwa rombongan
Marcos (yang terdiri sekitar 100 orang) tiba dengan 800 buah
kopor-300 di antaranya milik Imelda, sang Ibu Negara. Mereka
menginap di hotel terkemuka Waldorf Astoria. Presiden Marcos
menempati suite tersendiri, dan Imelda menempati kamar luas
royal suite yang tersendiri pula. Letaknya pun di lantai lain,
dengan ongkos US$ 700 sehari.
Bahwa kedatangan rombongan Presiden Soeharto tak diberiukan
demikian pasti menyenangkan orang Indonesia. Mungkin karena
Reuter tak menemukan hal yang luar biasa: rombongan presiden
Indonesia, sekitar 73 orang seluruhnya, dibatasi hanya boleh
berangkat dengan membawa sebanyakban! aknya dua kopor. Pak Harto
ternyata juga idem. Kopor-kopor rombongan resmi Indonesia yang
masuk ke Hotel Madison (kurang spektakuler dibanding dengan
Waldorf Astoria diperkirakan paling banyak cuma 50 buah. Dan
jelas Pak Elarto dan Ibu Tien uk berada dalam suite yang
berbeda-beda.
Tentu, itu hanya ilustrasi dari dua gaya, dua latar belakang dan
mungkin dua kepentingan yang berbeda. Pasangan Marcos tak asing
dengan kehidupan jet set Barat, dan tak merasa risih dengan
glamor serta kekayaan mereka. Pasangan Pak Harto sebaliknya
adalah pasangan Jawa. Apalagi dalam usianya kini. Setelah
sekitar 16 tahun di pucuk pimpinan sebuah negara 150 juta orang
dengan pembangunan yang praktis tanpa kegawatan besar,
perjalanan nada rendah presiden ini juga perjalanan yang lebih
santai.
Bahkan Pak Harto, dalam pidatonya tanpa teks, kadang menambahkan
humor. Dalam sebuah jamuan makan siang yang enak di Granada,
misalnya, di depan pembesar setempat, presiden mengutip
angka-angka turis ke Spanyol yang rata-rata setahunnya lebih
besar ketimbang jumlah penduduk negeri itu sendiri. Indonesia
ingin belajar dari situ. Tapi, tambah Pak Harto, "tak berarti
kami ingin menyaingi Spanyol dengan mendapatkan turis yang
setahunnya lebih banyak daripada jumlah penduduk Indonesia yang
150 juta ...." Kami pasti tak mampu menampungnya, kata Pak
Harto, dan para hadirin pun ketawa.
Maka benarkah kesan, bahwa dari semua perjalanan Pak Harto,
maka perjalanan kali ini yang paling santai? Pertanyaan itu
dikemukakan oleh pemimpin redaksi majalah Eksekutif Toeti
Adhitama dalam konperensi pers di atas pesawat Garuda DC-10
"Kalimantan beberapa jam sebelum tiba kembali 11 tanah air.
Jawab Pak Harto, sambil tertawa, "Rileks, karena terpaksa."
KETIKA Ibu Tien ditanya kesan-kesannya tentang perjalanan, ia
juga menjawab bergurau, "Saya ini 'kan hanya tut wuri
handayani" -- sambil memegang tangan Pak Harto. Ini pun disahut
kembali oleh Kepala Negara, "Ya, saya rileks ini karena ada ini
yang handayani . . . "
Ketika pesawat menjelang turun (biasanya mendarat dengan tepuk
tangan dari seluruh penumpang buat Kapten Sumolang), Presiden
dan Ibu Negara berkeliling menyalami setiap anggota rombongan.
Seorang terdengar mengatakan, ia ingin ikut rombongan lagi lain
kali. Sambil berjalan dan tersenyum Presiden menjawab, "Ya,
Insya Allah."
Melihat jadwal presiden di masa mendatang, mungkin masih sangat
lama lagi suatu perjalanan seperti itu akan dilakukan. Sementara
itu, Indonesia tak akan berkunjung, tapi dikunjungi. Itu pun
suatu tugas yang tak kalah merepotkan. Namun umumnya, dengan
gaya Indonesia yang lebih ramai dalam menerima tamu, ada juga
hasilnya.
Penerimaan terhadap Kepala Negara RI oleh Raja Juan Carlos di
Spanyol konon sangat dipengaruhi oleh cara penyambutan di
Indonesia waktu dia ke mari. Di Korea Selatan sekitar sejuta
rakyat, terutama anak-anak sekolah, mengelu-elukan rombongan
tamu Indonesia sepanjang 30 kilometer jalan. Dan ketika beberapa
hari sebelumnya pesawat Garuda kepresidenan melintasi perbatasan
Kanada, ada pesan radio terdengar. Perdana Menteri Trudeau, yang
dikabarkan akan datang ke Indonesia, dengan khusus menyampaikan
salam-setelah cukup repot mengatur waktu yang tepat agar
komunikasi terjadi dali darat....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini