Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari sebuah perjalanan nada rendah

Laporan perjalanan presiden soeharto ke spanyol, korea selatan, AS, dan jepang. yang hanya dilaksanakan dalam waktu 16 hari dan sederhana.

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN seorang kepala negara adalah sebuah kerja besar dan rumit. Mungkin karena itulah Pak Harto tak kerap melakukannya. Dalam terbang pulang dari kunjungan ke negeri-negeri Teluk di Timur Tengah beberapa tahun yang lalu, seorang wartawan bertanya bilakah Presiden akan berkunjung juga ke Irak. Jawab Pak Harto waktu itu: "Saudara tahu, bahwa perjalanan seperti ini memerlukan persiapan yang tidak sedikit . . . ," Betapa pun, perjalanan seperti itu sering tak bisa dielakkan. Banyak undangan harus diterima. Hampir tiap kunjungan pertama dari kepala negara lain ke Indonesia harus dibalas. Kepergian ke Amerika Serikat kali ini dilakukan setelah undangan Presiden Reagan, sekitar 1 « tahun yang lalu. Pak Harto, menurut sebuah sumber, sebenarnya baru bersedia memenuhinya setelah Sidang Umum MPR nanti. Ia tak hendak memberi kesan mendahului keputusan sidang penting di tahun 1983 itu. Tapi keadaan hubungan Indonesia-AS, seperti dikatakan seorang pejabat tinggi, sedang tak hangat--tatkala Indonesia tak lagi berbicara tentang bantuan, tapi tentang perdagangan (baca TEMPO 23 Oktober). Karena itu disetujui untuk tak menundanya lebih lama dari akhir tahun ini. Apalagi pihak Indonesia, setelah menganalisa keadaan di AS, menyimpulkan: di tahun depan Presiden Reagan akan kian sibuk menghadapi persoalan dalam negeri. Keadaan ekonomi AS begitu rupa, hingga dalam pemilihan para wakil rakyat November nanti diperkirakan posisi Partai Republik--partai sang presiden -- akan merosot. Maka bulan Oktober pun dipilih sebagai saat terbaik. Tapi satu hal selalu jadi pegangan. "Kepala Negara RI tak pernah akan hanya pergi ke AS, lalu kembali," kata seorang pejabat tinggi. Kunjungan Presiden Soeharto ke AS di tahun 1970 (di masa Nixon) dan di uhun 1975 (di masa Ford) selalu digabung dengan kunjungan ke negara-negara lain. Oktober 1982 ini pun perjalanan dikaitkan dengan bertamu ke Spanyol, Korea dan Jepang. Ini untuk menegaskan lagi: bagi Indonesia AS penting sekali, tapi bukan ibarat Mekah. Keputusan seperti ini dengan segera membebani para pejabat protokol negara dengan tugas yang pelik. Tiap negara punya jadwal tersendiri. Tiap kepala negara punya kesibukan tersendiri. Semuanya harus dicocokkan. Bagaikan pengasah otak jig-saw, tiap-tiap bagian harus disusun begitu rupa hingga jadi pas. Kepala Protokol Negara, kini A. Djumiril, beserta Sekreuris Militer Presiden, kini Kardono, beberapa bulan sebelumnya harus berangkat berunding dengan pihak calon tuan rumah. Acara upacara dan keamanan didiskusikan sampai tuntas--tak jarang dengan tawar-menawar yang gigih. Seorang kepala protokol negara harus tahu rencana acara, tata letak gedung, lapangan, atau tempat duduk, juga proses upacara adat istiadat lain sampai terperinci. Para petugas keamanan harus tahu situasi sosial politik keadaan medan, bahkan soal ada atau tidaknya wabah di suatu tempat. Mereka harus pulang dengan catatan yang lengkap. Dalam kata-kata seorang pejabat yang berpengalaman mengurus persiapan ini, tugasnya adalah "26 jam sehari". Tentu saja pada akhirnya kepala negara bisa memilih, acara mana yang akan diterimanya dalam suatu kunjungan, acara mana yang tidak. Namun tak berarti ia bisa seenaknya. Dalam soal seperti ini seorang kepala negara harus bisa menahan keinginan pribadinya. Perjalanannya toh bukan tamasya. "Suatu acara yang tak begitu disukainya pun harus dijalaninya, bila pihak tuan rumah merasa itu jadi kebanggaan mereka," kata seorang petugas protokol. "Dan dalam soal seperti ini, Pak Harto tidak banyak menuntut." Bila masih dianggap cukup bijaksana untuk meminta perubahan, yang dikehendaki Pak Harto biasanya ialah dikuranginya jamuan makan resmi. Protokol yang ramai-ramai juga hendaknya dipersedikit. Dalam kata-kata Joop Ave, bekas Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu yang kini jadi Dirjen Pariwisata, "Beliau seorang yang protocol-sby" seorang yang sedapat mungkin menghindari protokol, "tapi beliau sepenuhnya memahami kebutuhan protokoler." Acara yang biasanya dipilih atau disetujui Pak Harto, menurut Joop Ave, ialah yang dinilainya "bermanfaat bagi Indonesia." Itu berarti melihat proyek yang berhubungan dengan pertanian di waktu lampau, dan industri di waktu kini. Seorang petugas protokol lain mengatakan bahwa Pak Harto agak enggan dengan acara hiburan dan pertunjukan kesenian. Karena baginya, kata petugas itu, "yang dihibur ialah presiden dan rombongannya saja," sedang kedatangannya bukan untuk itu. Tapi Presiden toh bisa bertahan dengan tenang dan senyum dan bertepuk untuk suatu pertunjukan yang tak menyenangkan sekalipun. Dalam kunjungan ke Iran di tahun 1975, misalnya, di Kota Shiraz--di masa Syah--satu tarian tunggal wanita dengan musik yang itu-itu juga dan gerak itu-itu juga disajikan sampai satu jam, di halaman luar hotel. Malam sudah larut. Rombongan sebenarnya sudah lelah. Kiranya begitu pula Pak Harto dan Ibu Tien. Tak bisakah mereka meninggalkan acara dan meminta mengaso? "Tidak," jawab seorang pejabat, berbisik. "Ini tugas negara." Menyadari perjalanan ini sebagai tugas negara pula Presiden selalu cermat memperhatikan adat upacara yang berlaku. "Dia tak boleh salah dan berbuat sekehendaknya," kata seorang petugas. "Lain dari kita-kita." Dia tahu pada saat mana harus duduk atau berdiri, ke arah mana harus melangkah. Tak mudah, memang. Seperti kata Sekretaris Militer Kardono, "negara mDa tata, desa mawa cara." Lain lubuk lain ikannya. Perbedaan dari negara ke negara itu toh dengan tekun dipelajari Presiden. Itu semua merupakan beban tambahan di samping persiapannya untuk hal-hal yang lebih besar: perundingan tingkat tinggi, yang kadang muskil. Beban pekerjaan seperti itu kian terasa bila diingat sempitnya waktu yang tersedia. Pak Harto, menurut Joop Ave, dalam perjalanan adalah seorang yang "hemat waktu". Perjalanannya yang terpanjang sejak jadi presiden adalah perjalanan terakhir ini: itu pun cuma 16 hari, dengan jarak sekeliling dunia. Agaknya tipikal Presiden Soeharto ullah kunjungan resminya di AS kali ini. oi Washington DC, ibukota AS, kepala ncgara Indonesia cuma berada sekitar 24 jam. Maka di sana pun secara tak terelakkan timbul perbandingan antara kunjungannya dengan kunjungan Presidcn Filipina Marcos di pertengahan September. Pertamuan resmi Marcos di AS adalah 5 hari, ditambah dengan 8 hari acara yang tak resmi. Marcos memang tipe umu dengan tanda seru. Pak Harto sebaliknya. "Tokoh kita ini," kata seorang pembantunya, " 100% bernada rendah." Marcos misalnya blcara di depan Komisi Luar Negeri Senat, berpidato di depan National Press Club di Washington dan mengadakan wawancara dengan pelbagai jaringan TV di New York. Pak Harto uk demikian. Seorang dalam rombongan presiden Indonesia mengatakan alasannya: No news is good news. Terjemahannya, dalam versi ini "Tak ada pemberitaan dalam pers Amerika justru berarti keadaan Indonesia tenang." Satu-satunya yang menyebabkan Indonesia jadi perhatian pers di Washington DC memang karena perkara Timor Timur -- bukan hal yang "tenang" seperti berubahnya fokus Indonesia dari soal bantuan ke soal perdagangan. Toh peliputan pers terkemuka Amerika terhadap kunjungan kali ini termasuk lumayan: gambar dua tiga kolom di halaman pertama, lalu tulisan sampai tiga kolom tinggi. Paling tidak ini lebih besar ketimbang waktu kunjungan presiden ke Kanada tahun 1975, yang hampir nol. Juga Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, yang trampil berbicara kepada pers, dapat tempat cukup di Washington Post. Meskipun ia agak kecewa, ketika di gedung State Department, Asisten Menlu John Holdridge dengan cepat mengambil alih posisinya ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang Timor Timur. . . Dapat tempat terlalu banyak dalam pers Amerika toh tak selamanya enak. Ketika rombongan Presiden Marcos tiba di Washington DC, dengan cepat kantor herita Reuter mencatat bahwa rombongan Marcos (yang terdiri sekitar 100 orang) tiba dengan 800 buah kopor-300 di antaranya milik Imelda, sang Ibu Negara. Mereka menginap di hotel terkemuka Waldorf Astoria. Presiden Marcos menempati suite tersendiri, dan Imelda menempati kamar luas royal suite yang tersendiri pula. Letaknya pun di lantai lain, dengan ongkos US$ 700 sehari. Bahwa kedatangan rombongan Presiden Soeharto tak diberiukan demikian pasti menyenangkan orang Indonesia. Mungkin karena Reuter tak menemukan hal yang luar biasa: rombongan presiden Indonesia, sekitar 73 orang seluruhnya, dibatasi hanya boleh berangkat dengan membawa sebanyakban! aknya dua kopor. Pak Harto ternyata juga idem. Kopor-kopor rombongan resmi Indonesia yang masuk ke Hotel Madison (kurang spektakuler dibanding dengan Waldorf Astoria diperkirakan paling banyak cuma 50 buah. Dan jelas Pak Elarto dan Ibu Tien uk berada dalam suite yang berbeda-beda. Tentu, itu hanya ilustrasi dari dua gaya, dua latar belakang dan mungkin dua kepentingan yang berbeda. Pasangan Marcos tak asing dengan kehidupan jet set Barat, dan tak merasa risih dengan glamor serta kekayaan mereka. Pasangan Pak Harto sebaliknya adalah pasangan Jawa. Apalagi dalam usianya kini. Setelah sekitar 16 tahun di pucuk pimpinan sebuah negara 150 juta orang dengan pembangunan yang praktis tanpa kegawatan besar, perjalanan nada rendah presiden ini juga perjalanan yang lebih santai. Bahkan Pak Harto, dalam pidatonya tanpa teks, kadang menambahkan humor. Dalam sebuah jamuan makan siang yang enak di Granada, misalnya, di depan pembesar setempat, presiden mengutip angka-angka turis ke Spanyol yang rata-rata setahunnya lebih besar ketimbang jumlah penduduk negeri itu sendiri. Indonesia ingin belajar dari situ. Tapi, tambah Pak Harto, "tak berarti kami ingin menyaingi Spanyol dengan mendapatkan turis yang setahunnya lebih banyak daripada jumlah penduduk Indonesia yang 150 juta ...." Kami pasti tak mampu menampungnya, kata Pak Harto, dan para hadirin pun ketawa. Maka benarkah kesan, bahwa dari semua perjalanan Pak Harto, maka perjalanan kali ini yang paling santai? Pertanyaan itu dikemukakan oleh pemimpin redaksi majalah Eksekutif Toeti Adhitama dalam konperensi pers di atas pesawat Garuda DC-10 "Kalimantan beberapa jam sebelum tiba kembali 11 tanah air. Jawab Pak Harto, sambil tertawa, "Rileks, karena terpaksa." KETIKA Ibu Tien ditanya kesan-kesannya tentang perjalanan, ia juga menjawab bergurau, "Saya ini 'kan hanya tut wuri handayani" -- sambil memegang tangan Pak Harto. Ini pun disahut kembali oleh Kepala Negara, "Ya, saya rileks ini karena ada ini yang handayani . . . " Ketika pesawat menjelang turun (biasanya mendarat dengan tepuk tangan dari seluruh penumpang buat Kapten Sumolang), Presiden dan Ibu Negara berkeliling menyalami setiap anggota rombongan. Seorang terdengar mengatakan, ia ingin ikut rombongan lagi lain kali. Sambil berjalan dan tersenyum Presiden menjawab, "Ya, Insya Allah." Melihat jadwal presiden di masa mendatang, mungkin masih sangat lama lagi suatu perjalanan seperti itu akan dilakukan. Sementara itu, Indonesia tak akan berkunjung, tapi dikunjungi. Itu pun suatu tugas yang tak kalah merepotkan. Namun umumnya, dengan gaya Indonesia yang lebih ramai dalam menerima tamu, ada juga hasilnya. Penerimaan terhadap Kepala Negara RI oleh Raja Juan Carlos di Spanyol konon sangat dipengaruhi oleh cara penyambutan di Indonesia waktu dia ke mari. Di Korea Selatan sekitar sejuta rakyat, terutama anak-anak sekolah, mengelu-elukan rombongan tamu Indonesia sepanjang 30 kilometer jalan. Dan ketika beberapa hari sebelumnya pesawat Garuda kepresidenan melintasi perbatasan Kanada, ada pesan radio terdengar. Perdana Menteri Trudeau, yang dikabarkan akan datang ke Indonesia, dengan khusus menyampaikan salam-setelah cukup repot mengatur waktu yang tepat agar komunikasi terjadi dali darat....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus