KLIMAKS itu terjadi di Seoul. Paling sedikit sejuta orang
berjajar rapat sepanjang jalan yang 30 kilometer itu,
mengibarkan bendera atau melambai. "Ini sambutan termeriah untuk
tamu negara asing sejak 30 tahun--setelah Presiden Eisenhower
berkunjung ke mari," kata beberapa orang Korea Selatan.
Yang jelas, ini memang sambutan terhebat untuk Presiden Soeharto
dalam 16 hari perjalanan luar negerinya yang berakhir Jumat
pekan lalu. Bahkan mungkin paling gegap gempita dalam sejarah
perjalanan kepresidenan di masa Orde Baru.
Sejak pesawat Garuda DC-10 "Kalimantan" mendarat di bandar udara
Kimpo, 16 Oktober petang, tanda istinewa sudah nampak. Begitu
tangga dipasang dan Presiden dan Ibu Negara turun, 300 anak
berpakaian seragam biru tua dan bertopi menyanyikan lagu Benga
rvan Sala. Di atas gedung, terpampang tulisan besar: sederet
huruf Korea, sederet lagi berbahasa Indonesia: "Selamat
Datang..."
Tak cuma itu. Pemerintah Korea Selatan, menjelang kmjungan Pak
Harto,mengeluarkan prangko khusus: bergambar Presiden Korea
(hun Doo-Hwan dan Presiden Soeharto. Sebuah merk rokok dengan
gambar bendera Korea Selatan dan Merah Putih serta ucapan
selamat datang juga dijual secara nasional. Koran koran memuat
tulisan panjang lebar tentang RI. Lukisan berwarna Pak Harto
sekeluarga (termasuk putra dan menantu) ditampilkan di halaman
dalam.
Bahasa Indonesia juga banyak dipakai di sini dalam empat hari
itu. Sebagai ajudan Presiden RI selama di Korea Selatan,
ditugaskan seorang perwira menengah yang tampan dan fasih
berbahasa Indonesia, Kol. Park. Film penerangan untuk rombongan
resmi sewaktu meninjau pusat industri di Chang Won (400 km di
selatan Seoul), juga diisi suaranya dengan bahasa Indonesia.
Pengantar pertunjukan kesenian di Istana Biru Presiden Chun pun
dilakukan oleh seorang pemudi manis dalam bahasa tuan rumah dan
bahasa tamu yang sempurna.
Sementara itu -- setelah pertunjukan serangkai tari yang
beraneka tapi padat -- gadis-gadis kecil berlagu, antara lain
menyuarakan nyanyian kesayangan Ibu Tien, Selendang Sutra . . .
Ada apa di balik semua ini, selain suatu orkestrasi penyambutan
tamu yang hampir tanpa cacat? Mungkin kegernbiraan yang
sebenarnya: Pak Harto adalah presiden Indonesia pertama yang
berkunjung ke negeri itu. Presiden Indonesia sebelumnya, Bung
Karno, dengan kecenderungannya ke kiri, hanya mengunjungi Korea
Utara--karena waktu itu Korea Selatan tak diakuinya. Dan Korea
Selatan, dengan 38 juta penduduk, tentu bersenang disahabati
Indonesia, 150 juta penduduk --- yang juga negeri terpenting
dalam ASEAN, dan sama-sama antikomunis.
Persahabatan memang rasanya kian penting bagi Korea Selatan ini.
Negeri yang belum jadi anggota PBB ini praktis agak tersisih
dari percaturan internasional. Padahal inilah negeri yang
kekuatan ekonominya bangkit dengan geget yang menakjubkan.
Sejak Rencana 5 Tahun pertama 1962-1966 GNP-nya meningkat
sekitar 10%. Pendapatan per kepalanya yang di tahun 1962 cuma
US$ 87 kini berada di atas US$ 1.600. Perusahaan konstruksinya
yang mengekspor jasanya ke Timur Tengah dan juga Indonesia,
terkenal bisa dipercaya.
Dengan keyakinan baru yang bergelora, di bawah Presiden Chun
Doo-Hwan yang menggantikan Presiden Park yang tewas tertembak
sejak 1981, Korea Selatan nampaknya ingin dapat tempat yang
tercatat dalam diplomasi. Ia akan jadi tuan rumah Olympiade
1988. Kenapa ia juga tak ingin jadi tempat dari olympiade
politik? Beberapa waktu setelah ada rencana Presiden Soeharto ke
Korea Selatan, Presiden Chun mengirimkan utusannya khusus ke
Jakarta. Pesannya: mengajak Indonesia aktif dalam suatu
Konperensi Tingkat Tinggi Pasifik.
DAN itu pulalah-yang secara istimewa diharapkan Korea Selatan
dari kunjungan Pak Harto: persetujuannya untuk KTT seperti itu.
Dalam pembicaraannya dengan Presiden Soeharto di salah satu
ruang Istana Biru yang berkebun indah tapi dijaga ketat,
Presiden Chun mengemukakan dasar-dasar pikirannya. Soal KTT
Pasifik rupanya mengambil waktu terlama dari pertemuan yang dua
jam lebih itu--pertemuan terlama yang dialami Presiden dalam
kunjungannya kali ini.
Hasilnya? Sejak berangkat dari Jakarta, rombongan resmi
Indonesia telah mengetahui niat Presiden Chun. Dan juga telah
menduga apa jawaban Pak Harto. "Presiden", kata seorang
pembantunya, "terikat pada keputusan MPR dan kita tahu bahwa
prioritasnya adalah ASEAN sedang prinsip kita adalah non-blok."
Maka pejabat itu pun menambahkan, bahwa karena itu pembicaraan
di Seoul merupakan pekerjaan tersulit. "Kita tak ingin
mengecewakan mereka, tapi..."
Presiden Soeharto rupanya tak bergeser sedikit pun dari posisi
Indonesia semula. Ia, kata seorang yang mengetahui, "terkesn
sekali dengan keramah-tamahan Korea Selatan, dan ia memahami
keinginan Presiden Chun. Tapi prinsip adalah prinsip."
KTT Pasifik bagaimanapun bagi Indonesia pertama-tama akan
menimbulkan persoalan: negara mana saja di Pasifik yang akan
diajak. RRC dan Vietnam tentu saja sukar untuk dianggap bukan
Pasifik. Kemudian. apa hasil kongkrit sebuah KTT yang
begitu--satu hal yang juga tak ditunjukkan oleh KTT NonBlok
sendiri?
Pembicaraan dengan Chun berakhir Senin siang. Malamnya
diharapkan sudah akan ada komunike bersama. Tapi ternyata tidak.
Perundingan terus berlangsung, untuk memilih kata-kata yang
memuaskan kedua belah pihak. Masingmasing pihak sibuk merumuskan
pilihannya -- hingga seorang pejabat tinggi Deparlu seraya
mengikuti jamuan kenegaraan di lstana Biru diam-diarn menuliskan
rumusannya di buku menu.
Baru pukul 7 pagi esok harinya suatu kesepakatan tercapai,
setelah pada pukul 2 Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja
dibangunkan dari tidurnya ketika perundingan nyaris macet. Dalam
komunike bersama itu, disebutlah: Presiden Soeharto "memuji"
gagasan Presiden Chun untuk suatu KTT Pasifik, dan menyatakan
gagasan yang itu "patut dipertimbangkan lebih lanjut."
Barangkali pihak Korea tak teramat puas, mungkin malah kecewa.
Tapi dengan senyum, Presiden Soeharto, seperti dikatakan seorang
pembantunya, "telah menunjukkan konsistensi garis politik kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini