Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Untuk konsistensi

Kunjungan presiden soeharto ke korea selatan disambut hangat. presiden soeharto menegaskan konsistensi politik luar negeri indonesia meskipun dengan agak mengecewakan tuan rumah.(nas)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KLIMAKS itu terjadi di Seoul. Paling sedikit sejuta orang berjajar rapat sepanjang jalan yang 30 kilometer itu, mengibarkan bendera atau melambai. "Ini sambutan termeriah untuk tamu negara asing sejak 30 tahun--setelah Presiden Eisenhower berkunjung ke mari," kata beberapa orang Korea Selatan. Yang jelas, ini memang sambutan terhebat untuk Presiden Soeharto dalam 16 hari perjalanan luar negerinya yang berakhir Jumat pekan lalu. Bahkan mungkin paling gegap gempita dalam sejarah perjalanan kepresidenan di masa Orde Baru. Sejak pesawat Garuda DC-10 "Kalimantan" mendarat di bandar udara Kimpo, 16 Oktober petang, tanda istinewa sudah nampak. Begitu tangga dipasang dan Presiden dan Ibu Negara turun, 300 anak berpakaian seragam biru tua dan bertopi menyanyikan lagu Benga rvan Sala. Di atas gedung, terpampang tulisan besar: sederet huruf Korea, sederet lagi berbahasa Indonesia: "Selamat Datang..." Tak cuma itu. Pemerintah Korea Selatan, menjelang kmjungan Pak Harto,mengeluarkan prangko khusus: bergambar Presiden Korea (hun Doo-Hwan dan Presiden Soeharto. Sebuah merk rokok dengan gambar bendera Korea Selatan dan Merah Putih serta ucapan selamat datang juga dijual secara nasional. Koran koran memuat tulisan panjang lebar tentang RI. Lukisan berwarna Pak Harto sekeluarga (termasuk putra dan menantu) ditampilkan di halaman dalam. Bahasa Indonesia juga banyak dipakai di sini dalam empat hari itu. Sebagai ajudan Presiden RI selama di Korea Selatan, ditugaskan seorang perwira menengah yang tampan dan fasih berbahasa Indonesia, Kol. Park. Film penerangan untuk rombongan resmi sewaktu meninjau pusat industri di Chang Won (400 km di selatan Seoul), juga diisi suaranya dengan bahasa Indonesia. Pengantar pertunjukan kesenian di Istana Biru Presiden Chun pun dilakukan oleh seorang pemudi manis dalam bahasa tuan rumah dan bahasa tamu yang sempurna. Sementara itu -- setelah pertunjukan serangkai tari yang beraneka tapi padat -- gadis-gadis kecil berlagu, antara lain menyuarakan nyanyian kesayangan Ibu Tien, Selendang Sutra . . . Ada apa di balik semua ini, selain suatu orkestrasi penyambutan tamu yang hampir tanpa cacat? Mungkin kegernbiraan yang sebenarnya: Pak Harto adalah presiden Indonesia pertama yang berkunjung ke negeri itu. Presiden Indonesia sebelumnya, Bung Karno, dengan kecenderungannya ke kiri, hanya mengunjungi Korea Utara--karena waktu itu Korea Selatan tak diakuinya. Dan Korea Selatan, dengan 38 juta penduduk, tentu bersenang disahabati Indonesia, 150 juta penduduk --- yang juga negeri terpenting dalam ASEAN, dan sama-sama antikomunis. Persahabatan memang rasanya kian penting bagi Korea Selatan ini. Negeri yang belum jadi anggota PBB ini praktis agak tersisih dari percaturan internasional. Padahal inilah negeri yang kekuatan ekonominya bangkit dengan geget yang menakjubkan. Sejak Rencana 5 Tahun pertama 1962-1966 GNP-nya meningkat sekitar 10%. Pendapatan per kepalanya yang di tahun 1962 cuma US$ 87 kini berada di atas US$ 1.600. Perusahaan konstruksinya yang mengekspor jasanya ke Timur Tengah dan juga Indonesia, terkenal bisa dipercaya. Dengan keyakinan baru yang bergelora, di bawah Presiden Chun Doo-Hwan yang menggantikan Presiden Park yang tewas tertembak sejak 1981, Korea Selatan nampaknya ingin dapat tempat yang tercatat dalam diplomasi. Ia akan jadi tuan rumah Olympiade 1988. Kenapa ia juga tak ingin jadi tempat dari olympiade politik? Beberapa waktu setelah ada rencana Presiden Soeharto ke Korea Selatan, Presiden Chun mengirimkan utusannya khusus ke Jakarta. Pesannya: mengajak Indonesia aktif dalam suatu Konperensi Tingkat Tinggi Pasifik. DAN itu pulalah-yang secara istimewa diharapkan Korea Selatan dari kunjungan Pak Harto: persetujuannya untuk KTT seperti itu. Dalam pembicaraannya dengan Presiden Soeharto di salah satu ruang Istana Biru yang berkebun indah tapi dijaga ketat, Presiden Chun mengemukakan dasar-dasar pikirannya. Soal KTT Pasifik rupanya mengambil waktu terlama dari pertemuan yang dua jam lebih itu--pertemuan terlama yang dialami Presiden dalam kunjungannya kali ini. Hasilnya? Sejak berangkat dari Jakarta, rombongan resmi Indonesia telah mengetahui niat Presiden Chun. Dan juga telah menduga apa jawaban Pak Harto. "Presiden", kata seorang pembantunya, "terikat pada keputusan MPR dan kita tahu bahwa prioritasnya adalah ASEAN sedang prinsip kita adalah non-blok." Maka pejabat itu pun menambahkan, bahwa karena itu pembicaraan di Seoul merupakan pekerjaan tersulit. "Kita tak ingin mengecewakan mereka, tapi..." Presiden Soeharto rupanya tak bergeser sedikit pun dari posisi Indonesia semula. Ia, kata seorang yang mengetahui, "terkesn sekali dengan keramah-tamahan Korea Selatan, dan ia memahami keinginan Presiden Chun. Tapi prinsip adalah prinsip." KTT Pasifik bagaimanapun bagi Indonesia pertama-tama akan menimbulkan persoalan: negara mana saja di Pasifik yang akan diajak. RRC dan Vietnam tentu saja sukar untuk dianggap bukan Pasifik. Kemudian. apa hasil kongkrit sebuah KTT yang begitu--satu hal yang juga tak ditunjukkan oleh KTT NonBlok sendiri? Pembicaraan dengan Chun berakhir Senin siang. Malamnya diharapkan sudah akan ada komunike bersama. Tapi ternyata tidak. Perundingan terus berlangsung, untuk memilih kata-kata yang memuaskan kedua belah pihak. Masingmasing pihak sibuk merumuskan pilihannya -- hingga seorang pejabat tinggi Deparlu seraya mengikuti jamuan kenegaraan di lstana Biru diam-diarn menuliskan rumusannya di buku menu. Baru pukul 7 pagi esok harinya suatu kesepakatan tercapai, setelah pada pukul 2 Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja dibangunkan dari tidurnya ketika perundingan nyaris macet. Dalam komunike bersama itu, disebutlah: Presiden Soeharto "memuji" gagasan Presiden Chun untuk suatu KTT Pasifik, dan menyatakan gagasan yang itu "patut dipertimbangkan lebih lanjut." Barangkali pihak Korea tak teramat puas, mungkin malah kecewa. Tapi dengan senyum, Presiden Soeharto, seperti dikatakan seorang pembantunya, "telah menunjukkan konsistensi garis politik kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus