Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kursus dulu, pak guru!

Pendidikan jabatan kepala sekolah menengah atas, diselenggarakan oleh IKIP Malang, sistemnya akan dikembangkan menjadi pendidikan jarak jauh. (pdk)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini kepala sekolah diangkat dari guru, dengan pertimbangan kesenioritasan, dan sejumlah kriteria lain misalnya kepemimpinan dan dedikasinya, terhadap pendidikan. Ternyata itu saja tidak lagi dianggap cukup. Kini ada Pendidikan Jabatan Kepala SMA, diselenggarakan oleh IKIP Malang. Pekan lalu angkatan keduanya dibuka, diikuti 28 guru SMA dari berbagai daerah. Gagasan pertamanya muncul Januari lalu dalam Rapat Kerja Pusdiklat Dep. P & K dan Departemen Administrasi dan Supervisi Pendidikan FIP IKIP Malang. Ada kebutuhan akan calon kepala sekolah yang lebih trampil dan berpengetahuan. Juga pendidikan ini sejalan dengan rencana pemerintah mendirikan 150 SMA Negeri dalam masa Pelita III ini. Dalam "kursus" kepala sekolah ini diberikan mata pelajaran: manajemen kepemimpinan dan supervisi pendidikan. Mungkin ilmu tersebut sudah mereka peroleh sedikit dalam pendidikan guru (di IKIP misalnya), atau dari pengalaman mengajar selama ini di sekolah. Tapi jalannya kursus ini, misalnya, pada pendidikan angkatan kedua ini mengasyikkan. Antara lain mereka menyusun kertas yang telah dipotong-potong menjadi bentuk segitiga -- semacam permainan jigsaw. Potongan itu dibagikan pada 28 peserta yang telah terpisah dalam 5 kelompok. Untuk membentuk Semua potongan itu menjadi lembaran kertas seperti semula, para peserta harus ke sana-sinl, menemui rekannya dari kelompok lain, mencocokkan bentuk kertasnya, sampai ketemu. Dan bila satu kelompok telah menyelesaikan sebagian lembaran kertas itu hingga tulisan yang tertera bisa dibaca utuh, mereka harus menyanyikan lagu yang tertulis di situ. Lembaran kertas semula memang berisi tulisan beberapa lagu perjuangan lengkap dengan notnya. Pelajaran ini kelihatannya seperti permainan kanak-kanak. Ternyata dari situ kelihatan siapa yang tidak bisa bekerja sama, siapa yang mau menang sendiri, siapa yang hanya tudang-tuding tapi tidak mau bekerja," tutur Drs. Piet A. Sahertian, ketua program pendidikan ini. Dari usaha membentuk selembar kertas itu lantas dibuka diskusi. Kelompok masing-masing mendiskusikan mengapa kelompok sana bisa cepat membentuk sebagian lembaran kertas hingga bisa cepat pula menyanyikan lagunya, dan mengapa kelompok lain terlambat, bahkan gagal. Dan dari sini pula diberikan prinsip kepemimpinan pendidikan, bagaimana mengatur agar seluruh warga sekolah bisa bekerja sama. Pendidikan ini berlangsung selama 34 hari efektif dari pukul 07.00 pagi sampai 17.45 sore. Dua puluh empat hari pertama, ada teori dan praktek. Dalam sepuluh hari sisanya, peserta wajib menyusun makalah. "Metode pendidikan dan jabatan kepala sekolah ini ternyata sangat sederhana dan mudah dicerna," tutur Drs. Marzuki, 31 tahun, peserta termuda. Dia menjadi guru di SMAN 70 Aceh. Semua yang diajarkan, katanya, akan sangat membantu untuk memecahkan masalah yang timbul di sekolah. Tambahan ilmu itu memang diperlukan. Markeni, misalnya, baru dua tahun menjadi kepala sekolah SMAN IV, Surabaya. "Ilmu kepala sekolah" dipelajarinya tatkala ia diangkat menjadi wakil kepala sekolah. Tentang manajemen, supervisi maupun kepemimpinan pendidikan, "semua itu tidak saya peroleh dari sekolah guru saya dulu," katanya kepada TEMPO. Sistem kader kini agaknya tidak harus lewat jabatan wakil kepala sekolah. Bagi Drs. Wahyuntana--Kepala Sekolah SMAN II, Yogyakarta--kursus di IKIP Malang itu membuat ia "bisa lebih cepat memperoleh ilmunya." Itu dibenarkan oleh Rosman, yang baru 4 bulan jadi kepala sekolah SMAN III, Jakarta. Walaupun sudah lima tahun menjadi kepala sekolah di tempat lain, di SMAN XXIX dan VIII, katanya baru sekarang ia merasa mantap. Peserta kursus ini diseleksi oleh Kanwil P & K tingkat provinsi. Angkatan ketiga akan diselenggarakan Februari nanti. Sesudah itu, program ini akan dilaksanakan dengan sistem pendidikan jarak jauh. "Semacam pendidikan lewat korespondensi, begitulah," kata Abdul Rochim, seorang pembina pendidikan itu. "Cara itu lebih efisien dan murah." Tapi peserta kursus belum tentu nanti diangkat sebagai kepala sekolah. Menurut Kepala Kanwil P & K Jawa Timur, selain ketrampilan ketiga bidang tadi, masih ada kriteria lain yang tidak kalah pentingnya. Yaitu "seberapa jauh dedikasi seseorang terhadap sekolah, seberapa besar rasa tanggung jawabnya," kata Soegijo, Kakanwil itu. Dan adalah "guru yang minimal berpangkat III C yang bisa jadi kepala sekolah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus