SELAMA ini kepala sekolah diangkat dari guru, dengan
pertimbangan kesenioritasan, dan sejumlah kriteria lain
misalnya kepemimpinan dan dedikasinya, terhadap pendidikan.
Ternyata itu saja tidak lagi dianggap cukup.
Kini ada Pendidikan Jabatan Kepala SMA, diselenggarakan oleh
IKIP Malang. Pekan lalu angkatan keduanya dibuka, diikuti 28
guru SMA dari berbagai daerah.
Gagasan pertamanya muncul Januari lalu dalam Rapat Kerja
Pusdiklat Dep. P & K dan Departemen Administrasi dan Supervisi
Pendidikan FIP IKIP Malang. Ada kebutuhan akan calon kepala
sekolah yang lebih trampil dan berpengetahuan. Juga pendidikan
ini sejalan dengan rencana pemerintah mendirikan 150 SMA Negeri
dalam masa Pelita III ini.
Dalam "kursus" kepala sekolah ini diberikan mata pelajaran:
manajemen kepemimpinan dan supervisi pendidikan. Mungkin ilmu
tersebut sudah mereka peroleh sedikit dalam pendidikan guru (di
IKIP misalnya), atau dari pengalaman mengajar selama ini di
sekolah.
Tapi jalannya kursus ini, misalnya, pada pendidikan angkatan
kedua ini mengasyikkan. Antara lain mereka menyusun kertas yang
telah dipotong-potong menjadi bentuk segitiga -- semacam
permainan jigsaw. Potongan itu dibagikan pada 28 peserta yang
telah terpisah dalam 5 kelompok. Untuk membentuk Semua potongan
itu menjadi lembaran kertas seperti semula, para peserta harus
ke sana-sinl, menemui rekannya dari kelompok lain, mencocokkan
bentuk kertasnya, sampai ketemu. Dan bila satu kelompok telah
menyelesaikan sebagian lembaran kertas itu hingga tulisan yang
tertera bisa dibaca utuh, mereka harus menyanyikan lagu yang
tertulis di situ. Lembaran kertas semula memang berisi tulisan
beberapa lagu perjuangan lengkap dengan notnya.
Pelajaran ini kelihatannya seperti permainan kanak-kanak.
Ternyata dari situ kelihatan siapa yang tidak bisa bekerja sama,
siapa yang mau menang sendiri, siapa yang hanya tudang-tuding
tapi tidak mau bekerja," tutur Drs. Piet A. Sahertian, ketua
program pendidikan ini.
Dari usaha membentuk selembar kertas itu lantas dibuka diskusi.
Kelompok masing-masing mendiskusikan mengapa kelompok sana bisa
cepat membentuk sebagian lembaran kertas hingga bisa cepat pula
menyanyikan lagunya, dan mengapa kelompok lain terlambat, bahkan
gagal. Dan dari sini pula diberikan prinsip kepemimpinan
pendidikan, bagaimana mengatur agar seluruh warga sekolah bisa
bekerja sama.
Pendidikan ini berlangsung selama 34 hari efektif dari pukul
07.00 pagi sampai 17.45 sore. Dua puluh empat hari pertama, ada
teori dan praktek. Dalam sepuluh hari sisanya, peserta wajib
menyusun makalah.
"Metode pendidikan dan jabatan kepala sekolah ini ternyata
sangat sederhana dan mudah dicerna," tutur Drs. Marzuki, 31
tahun, peserta termuda. Dia menjadi guru di SMAN 70 Aceh. Semua
yang diajarkan, katanya, akan sangat membantu untuk memecahkan
masalah yang timbul di sekolah.
Tambahan ilmu itu memang diperlukan. Markeni, misalnya, baru dua
tahun menjadi kepala sekolah SMAN IV, Surabaya. "Ilmu kepala
sekolah" dipelajarinya tatkala ia diangkat menjadi wakil kepala
sekolah. Tentang manajemen, supervisi maupun kepemimpinan
pendidikan, "semua itu tidak saya peroleh dari sekolah guru saya
dulu," katanya kepada TEMPO.
Sistem kader kini agaknya tidak harus lewat jabatan wakil kepala
sekolah. Bagi Drs. Wahyuntana--Kepala Sekolah SMAN II,
Yogyakarta--kursus di IKIP Malang itu membuat ia "bisa lebih
cepat memperoleh ilmunya."
Itu dibenarkan oleh Rosman, yang baru 4 bulan jadi kepala
sekolah SMAN III, Jakarta. Walaupun sudah lima tahun menjadi
kepala sekolah di tempat lain, di SMAN XXIX dan VIII, katanya
baru sekarang ia merasa mantap.
Peserta kursus ini diseleksi oleh Kanwil P & K tingkat provinsi.
Angkatan ketiga akan diselenggarakan Februari nanti. Sesudah
itu, program ini akan dilaksanakan dengan sistem pendidikan
jarak jauh. "Semacam pendidikan lewat korespondensi, begitulah,"
kata Abdul Rochim, seorang pembina pendidikan itu. "Cara itu
lebih efisien dan murah."
Tapi peserta kursus belum tentu nanti diangkat sebagai kepala
sekolah. Menurut Kepala Kanwil P & K Jawa Timur, selain
ketrampilan ketiga bidang tadi, masih ada kriteria lain yang
tidak kalah pentingnya. Yaitu "seberapa jauh dedikasi seseorang
terhadap sekolah, seberapa besar rasa tanggung jawabnya," kata
Soegijo, Kakanwil itu. Dan adalah "guru yang minimal berpangkat
III C yang bisa jadi kepala sekolah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini