Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Si oom, setelah 18 tahun

Peringatan Hut ke-18 Golkar, perbedaan pendapat dan pertentangan dalam tubuh Golkar diakui ada. namun ada oom yang dapat menyelesaikan sengketa. (nas)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN cuma tumpeng dan pidato-pidato yang menandai peringatan ulang tahun Golkar pekan lalu. Untuk memperingati usianya yang ke-18 kali ini Golkar memilih memeriahkannya dengan pertunjukan wayang kulit. Cerita yang dipilih Gandamana Luweng dengan dalang Ki Anom Suroto. Pertunjukan itu tampaknya dimaksudkan juga sebagai semacam syukuran karena kemenangan Golkar dalam pemilu yang lalu. Walau tak semua tokoh Golkar hadir--antara lain anggota Dewan Pembina Ali Moertopo dan Amirmachmud -- peringatan pekan lalu itu cukup meriah. Tempat peringatan rupanya sengaja dipilih yang memberi kesan "merakyat": kantor DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat, yang jauh dari keramaian. Ketua Panitia Peringatan, A.E. Manihuruk sewaktu mengawali upacara menyerukan agar hadirin memperhatikan dan menyimak baik-baik pertunjukan wayang semalam suntuk tersebut. "Ada hal yang penting sekali di situ," ujarnya. "Tapi apa yang penting itu saya sendiri tidak tahu . . .," kata Ketua BAKN yang berasal dari Tapanuli itu, disambut ketawa hadirin. Upacara pemotongan tumpeng, diiringi gending Ladrang Wilujeng, dilakukan oleh Wakil Ketua Dewan Pembiria Adam Malik. Potongan tumpeng pertama oleh Adam Malik diserahkan kepada Ketua Umum DPP Golkar Amir Moertono, dan yang kedua oleh Ketua Harian Dewan Pembina Golkar M. Panggabean kepada Ketua DPP Soekardi. Menurut Adam Malik, kemenangan Golkar dalam pemilu lalu, merupakan "tantangan yang harus dijawab Golkar dalam bentuk yarlg lebih mapan daripada yang sudah-sudah." Kata Pak Adam pula, "Dalam hubungan ini Golkar harus membenahi dirinya sedemikian rupa hingga lebih mampu berperan sebagai kekuatan sosial politik andalan dan tumpuan harapan rakyat." Kesimpulan yang sama juga termaktub dalam pernyataan politik Golkar, yang dihasilkan seusai Rapat Pimpinan (Rapim) Golkar IV, diselenggarakan dalam rangka peringatan ulangtahunnya. Kemenangan dalam pemilu lalu, begitu pernyataan politik tersebut, "merupakan bukti nyata kebenaran strategi dan program perjuangan Golkar dalam melaksanakan pembaruan dan pembangunan." Pernyataan politik itu juga menegaskan kembali dukungan Goikar pada gagasan referendum sebelum pasal 37 UUD dilaksanakan, "dengan demikian pengangkatan dalam Lembaga Permusyawaratan dapat dikurangi." Berapa banyak? "Ya sebanyak jumlah yang bukan ABRI," kata Amir Moertono dalam konperensi pers pekan lalu tanpa memperinci lebih jauh Amir Moertono mengelak menjawabpertanyaan mengapa pernyataan politik Golkar kali ini berbeda dengan pernyataan menjelang SU MPR 1978, yang mengusulkan nama calon presiden dan wakil presiden dalam satu paket. "Keadaan sekarang sudah lain. Momentumnya belum tepat," kata Amir Moertono. Alasannya: "Kini Golkar belum sampai pada tingkat pembicaraan tentang wapres dengan Pak Harto." Yang juga tidak tegas dijawab Amir Moertono adalah pertanyaan mengenai perbedaan pendapat dan pertentangan dalam tubuh Golkar sendiri. Dalam proses pencalonan anggota DPR/MPR yang lalu misalnya, sering terjadi "saling memotong" nama calon oleh pimpinan Golkar. Kendati mengakui perbedaan pendapat itu ada, Amir Moertono menganggap mekanisme yang ada sudah baik. "Jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, diajukan ke atas," katanya. Seorang anggota DPP Golkar membenarkan adanya semacam kelompok-kelompok dalam pimpinan Golkar. "Itu terjadi di organisasi mana pun," katanya. "Tapi di Golkar ada Oom yang punya kuasa dan uang, hingga tidak timbul perpecahan seperti di parpol." BANYAK yang menghubungkan perbedaan pendapat dalam Golkar dengan lakon wayang yang dipertunjukkan pekan lalu. Mengapa lakon Gandamana Luweng yang dipilih? Siapa yang dimaksud dengan Gandamana? Cerita Gandamana Luweng bertokoh sentral Gandamana, mahapatih Negara Hastinapura. Karena intrik dan pengkhianatan Harya Suman, dalam peperangan dengan Negara Pringgodani, Gandamana terjebak dalam luweng (lubang), dan dilaporkan tewas. Harya Suman kemudian ditunjuk sebagai mahapatih (perdana menteri). Gandamana kemudian ditolong oleh Bratasena dan Permadi, dan kemudian melapor diri pada Prabu Pandu, Raja Hastinapura. Pandu menyesal, tapi apa boleh buat jabatan mahapatih sudah telanjur dipegang Harya Suman. Gandamana kemudian menuntut pertanggungjawaban Harya Suman. Terjadi peperangan dan Suman dihajar habis-habisan. Ini diketahui Pandu yang kemudian memarahi Gandamana. Menurut sinopsis cerita yang dibagikan pada hadirin, Gandamana kemudian menyadari dan dengan rendah hati menyatakan: merelakan dengan iklas kedudukan patih demi kehormatan dan kewibawaan Sang Raja. Demi ketenangan dan keutuhan Raja dan Patih, ia lalu meninggalkan bumi Hastina. Sewaktu-waktu diperlukan Sang Raja, Gandarnana selalu siap memenuhinya demi bakti dan setianya kepada Raja. Menurut suatu sumber, gagasan menyelenggarakan pertunjukan wayang "dengan lakon yang ramai" berasal dari Amir Moertono sendiri. Namun yang memilih lakon itu adalah Wakil Sekjen Moerdopo. Amir Moertono sendiri menonton pertunjukan itu sampai subuh. Saking asyiknya, barangkali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus