Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tenda kubah biru berpadu oranye berdiri di salah satu ruangan di bekas Markas Komando Distrik Militer Kali-deres, Jakarta Barat. Berkapasitas dua orang dan beralas terpal, kemah itu disesaki sejumlah tas dan kantong kresek. Di dalam tenda itu, Istahil, perempuan 23 tahun asal Somalia, tinggal.
Selasa sore, 23 Juli lalu, Istahil duduk lemas sambil mengelus-elus perutnya yang membunting. Kehamilan anak pertamanya yang memasuki bulan kesembilan membuat warga negara Somalia itu sulit bergerak. “Kata dokter, dua pekan lagi anak saya lahir,” ujar Istahil seperti diterjemahkan suaminya, Sadik Abdi, dalam bahasa Inggris kepada Tempo.
Dua tahun lalu, Istahil melarikan diri dari rumahnya, sekitar 30 kilometer dari Mogadishu, ibu kota Somalia. Perang saudara yang berlangsung sejak 1980-an membuat Somalia porak-poranda. Bertujuan ke Australia untuk mencari suaka, Istahil bersama belasan orang Somalia menyelundup dengan perahu nelayan. Mereka menjadikan Indonesia sebagai negara transit.
Tiba di Medan, para pengungsi itu dibantu seorang warga Somalia yang tinggal di sana menuju Jakarta. Mereka pun dibawa ke Rumah Detensi Imigrasi di Kalideres, Jakarta Barat. Di situlah Istahil bertemu dengan Sadik, yang menempuh rute yang sama seperti Istahil dua tahun sebelumnya. September tahun lalu, keduanya menikah ala kadarnya di dalam tenda di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres. “Tak lama menikah, istri saya hamil,” ucap Sadik.
Pemeriksaan kesehatan bagi pencari suaka yang tertahan di gedung eks Markas Komando Distrik Militer Kalideres, Jakarta, Juli 2019./TEMPO/Muhammad H
Bukan hanya Sadik dan Istahil, ada ribuan pengungsi lain yang berharap bisa dikirim ke Negeri Kanguru. Mereka berasal dari sejumlah negara yang dilanda konflik, seperti Irak, Afganistan, Pakistan, dan Sudan. Abdul Mujid, 35 tahun, dan keluarganya, misalnya. Satu setengah tahun lalu, Mujid hengkang dari Darfur, Sudan, akibat konflik berkepanjangan sejak 2003. Masyarakat setempat meng-angkat senjata melawan pemerintah yang dianggap diskriminatif.
Berharap bisa mendapat hidup lebih baik, teknisi di perusahaan telekomunikasi di Sudan itu memboyong keluarganya. Mereka merogoh kocek sekitar Rp 26 juta untuk bisa terbang ke Indonesia. Istri Mujid, Sanaa Hasan, 30 tahun, bercerita, semua harta benda mereka terkuras untuk keluar dari Sudan. Tiba di Indonesia, Mujid dan keluarganya tinggal di jalanan sekitar Rumah Detensi Imigrasi di Kalideres. Mereka bertahan hidup dari bantuan yang diberikan pemerintah ataupun organisasi nirlaba sambil menunggu kesempatan ke Australia.
Australia memang menjadi salah satu tujuan utama pencari suaka. Negara itu telah meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol Pengungsi tahun 1967. Dengan ratifikasi tersebut, Australia menanggung biaya hidup para pengungsi yang status suakanya disetujui. Namun tak mudah mencapai Australia. Pengungsi asal Somalia lainnya, Amira Ali, tiba di Indonesia tujuh tahun lalu bersama ibu dan dua saudaranya. Awalnya perempuan 26 tahun itu berpikir hanya akan transit selama tiga-empat bulan. Ternyata mereka harus lebih lama tinggal di Indonesia.
Amira kini mampu berbahasa Indonesia meskipun terpatah-patah. Begitu pula sejumlah keluarga lain yang ditemui Tempo di pengungsian di Kalideres. Bahkan banyak anak kecil berbicara bahasa Indonesia dengan cukup lancar. “Sekarang bisa jawab kalau ditanya ‘ke mana’, ‘dari mana’. Dulu cuma bisa senyum,” kata Amira.
Setahun menetap di sini, Amira dan keluarganya mendapat kartu pengungsi dari Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Kartu itu menjadi syarat awal pengiriman pengungsi ke negara tujuan. Badan pengungsi dunia itu hanya memberikan kartu tersebut kepada pencari suaka yang memenuhi kriteria, melalui tes wawancara. Sekalipun telah mendapatkan kartu dari UNHCR, Amira dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. “Kami hanya dikasih kartu dan hanya bisa menunggu entah sampai kapan,” ujarnya.
Amira semula berstatus pengungsi mandiri. Dia mampu mengontrak rumah di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, karena mendapat bantuan dari saudara mereka di Australia. Belakangan, keluarganya tak lagi mampu mengirim duit untuk Amira. Akhirnya, dia pindah ke pengungsian di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres.
Sambil menunggu waktu berangkat tiba, para pengungsi seperti Amira bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan yang diberikan UNHCR ataupun sejumlah organisasi nirlaba. Menurut Amira, dalam sebulan dia bisa mendapat bantuan hingga Rp 2,2 juta. Namun sudah lebih dari setahun bantuan itu tidak diterimanya lagi.
Haeril Halim dari Staf Komunikasi dan Media Amnesty International Indonesia mengatakan, sejak Maret tahun lalu, negara donor seperti Australia telah mengurangi bantuan untuk pencari suaka. Australia juga memperketat masuknya pencari suaka. Susahnya, para pencari suaka tak boleh mencari pekerjaan. “Akhirnya banyak pengungsi yang nasibnya tak jelas dan mereka hidup tak layak,” ucap Haeril.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi Kalideres Morina Harahap membenarkan diperketatnya persetujuan suaka. Ini terlihat dari data tahun lalu. Dari 13.997 pengungsi yang tersebar di seluruh Indonesia, jumlah pengungsi yang telah mendapatkan penempatan di negara ketiga hanya 568 orang. Sedangkan yang bersedia dipulangkan secara sukarela ke negara asal 436 orang.
Luntang-lantung tanpa penghasilan, sekitar 300 pengungsi berunjuk rasa di depan kantor UNHCR di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pertengahan Juni lalu. Tujuannya mendesak UNHCR mempercepat proses suaka. Awal Juli lalu, mereka kembali berdemonstrasi dengan mendirikan tenda dan menginap berhari-hari. Hingga akhirnya pemerintah DKI Jakarta memindahkan mereka ke bekas gedung kodim di Kalideres pada 11 Juli lalu.
Pada 19 Juli lalu, jumlah pengungsi mencapai 1.132 orang yang berasal dari 7 negara. Empat hari berselang, Selasa, 23 Juli lalu, jumlahnya meningkat menjadi 1.388 orang.
Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Sae-fullah mengatakan pemindahan pengungsi itu muncul setelah Kementerian Luar Negeri dan UNHCR menggelar rapat. Hasilnya, pengungsi dititipkan kepada DKI selama sepekan. “Setelah itu, UNHCR meneruskan sampai persoalan mereka ini selesai,” ujar Saefullah. Bukan hanya pemerintah DKI, Kementerian Sosial juga memberikan bantuan berupa makanan, tenda, air bersih, dan kebutuhan mandi-cuci-kakus.
Indonesia sebenarnya belum bisa menanggung para pengungsi itu karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Hanya, Saefullah menjelaskan, pemberian bantuan kepada para pencari suaka sudah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Aturan itu menyebutkan peran pemerintah ataupun instansi terkait dalam menangani pengungsi atas dasar kemanusiaan. Bantuan dari pemerintah DKI terus berlanjut hingga pekan lalu karena dana bantuan dari UNHCR terbatas.
Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, mengakui pihaknya memiliki keterbatasan dana. Hingga pertengahan tahun ini, UNHCR baru bisa membantu sebanyak 300-400 pencari suaka. “Kami kekurangan pendanaan,” katanya. Thomas mengatakan, dari total dana yang dibutuhkan UNHCR, baru 29 persen yang tersedia. Maka UNHCR mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak. “Kami bekerja sama dengan Dompet Dhuafa, Tzu Chi Foundation, Palang Merah Indonesia, dan IOM,” ujar Thomas. Bantuan itu pun hanya diberikan bagi mereka yang masuk kategori prioritas atau paling membutuhkan, seperti orang tua dan ibu hamil.
Belakangan, jumlah pengungsi yang tinggal di bekas Markas Kodim Kalideres kian membeludak. Rumah Detensi Imi-grasi Kalideres mencatat, pada 19 Juli lalu, jumlah pengungsi mencapai 1.132 orang yang berasal dari 7 negara. Empat hari berselang, Selasa, 23 Juli lalu, jumlahnya meningkat menjadi 1.388 orang. Kini, di tempat tersebut, para pengungsi perempuan dan anak-anak tinggal di dalam ruangan. Sedangkan kaum lelaki tinggal di dalam tenda di luar gedung.
Pemindahan itu justru membuat sejumlah pengungsi masygul. Pengungsi asal Darfur, Sudan, Abdul Mujid, mengatakan pemindahan itu tidak menyelesaikan persoalan. Dia menilai rencana tinggal di Australia masih jauh dari harapan. Mujid dan sejumlah pengungsi lain yang ditemui Tempo pasrah jika mereka gagal mencapai tanah harapan, Australia. Bagi mereka, tak ada persoalan jika ditempatkan di negara lain, seperti Amerika Serikat atau Kanada. “Yang penting saya dan keluarga tidak dikembalikan ke Somalia,” kata Mujid.
Bahkan mereka pun tak keberatan jika tetap tinggal di Indonesia. Menurut pengungsi asal Somalia, Amira Ali, yang penting dia diperbolehkan mencari pekerjaan supaya bisa mendapatkan penghasilan dan hidup layak. Bahkan perempuan 26 tahun ini berharap bisa melanjutkan sekolah di Indonesia. “Orang Indonesia baik, suka membantu. Tapi tak mungkin selamanya kami menerima bantuan.”
DEVY ERNIS, M. JULNIS FIRMANSYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo