Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari wak-wak Sampai Si Penghitung..

Delapan finalis se-Indonesia menunggu keputusan dewan juri. Pemenang akan dikirim ke taraf international di Eropa. Para finalis, A.L: Andrew, Marcus, Wisnu, dan Sangkurun, dengan masing-masing karya tulisnya. (pdk)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA cacing bentuknya bulat? Remaja bertubuh agak gemuk dengan rambut tersisir rapi itu berpikir sejenak. "Untuk memudahkan cacing berjalan," jawabnya. Andrew Bunyamin, 18, kelas II IPA SMA Kanisius, Jakarta, yang memegang dua stoples berisi cacing, wak-wak namanya, tetap tenang tapi mantap menjawab serangan juri, Jumat pekan lalu, di aula Dep. P & K. Andrew, salah seorang dari 18 finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) - dulu disebut Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Bagi Remaja - pekan ini tentulah menunggu keputusan dewan juri. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, pemenang pertama akan dikirimkan ke lomba sejenis taraf internasional di Eropa. Untuk LPIR 1985 - lomba ke-9 ini agaknya dewan juri yang diketuai oleh Andi Hakim Nasution, rektor IPB, akan menghadapi kesulitan memilih pemenang. "Baik naskah bidang eksakta maupun bidang sosial mengalami peningkatan kualitas," tutur Andi Hakim kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Memang benar. Sampai dengan LPIR 1980, naskah yang masuk masih ada yang sulit disebut sebagai hasil penelitian. Misalnya, pernah ada seorang siswa SMA mengirimkan tulisan tentang akibat bagi buah rambutan bila pohonnya dipanjat perempuan. Yaitu, buahnya akan terbelah. Hal ini yang kemudian mendorong panitia menyusun pedoman dasar penelitian ilmiah, dan menyebarluaskannya ke sekolah seluruh Indonesia. Hasilnya, mutu penelitian dan karya tulis peserta lomba makin meningkat. Tahun ini, 18 karya finalis yang diseleksi dari 900 peserta, menurut beberapa juri, mutu satu dengan lainnya hampir tak berbeda. Penelitian tentang cacing wak-wak itu, misalnya, dilaporkan dengan detail. Dari alasan pemilihan obyek penelitian, pelaksanaannya, hingga observasi kehidupan wak-wak, dan kesimpulan terurai dengan sistematis. Wak-wak selama ini baru diketahui hidup di pantai Pulau Bangka. Sementara itu si peneliti sekolah diJakarta. Ini hanya membuktikan bahwa Andrew, memang besar rasa ingin tahunya. Bidang eksakta, terutama biologi, tampaknya paling banyak diminati. Penelitian di bidang ini nyata sifatnya. Artinya, kesimpulan dengan sendirinya diperoleh cukup dari hasil akhir percobaan. Tapi dalam sebuah penelitian sosial, data-data yang diperoleh dari lapangan masih harus dikaji dari segala segi, agar kesimpulan yang diperoleh berbobot. Dalam hal menarik kesimpulan inilah, para remaja peneliti bidang sosial biasanya tergelincir. Faktor pendukung sering tak diperhitungkan (lihat: Keluhan Mukad dan Kawan-Kawan). Bisa dipahami bila sampai LPIR ke-9 ini belum pernah bidang sosial meraih pemenang pertama. Sementara bidang eksakta memang bisa demikian mencengangkan. Misalnya tahun ini, Marcus Alex Santosa, kelas II IPA SMA Kanisius, Jakarta, masuk final dengan naskah tentang deret aljabar. Beberapa juri sepakat, yang dilakukan Marcus, 18, merupakan pengembangan dari deret-deret yang sudah ada. Bila deret-deret yang ada selama ini memiliki kesenjangan cukup besar antara pengamatan dan hasil perhitungan, deret Marcus (demikian Andi Hakim mengusulkan nama deret yang ditemukan Marcus ini) memperkecil kesenjangan itu. Dengan kata lain, deret Marcus lebih akurat. Sejauh ini, tampaknya, memang belum ada, setidaknya belum terdengar, ahli matematika yang sampai pada pengembangan deret sebagaimana dicapai oleh anak pertama dari empat bersaudara yang lahir di Bangkok ini. Cuma, deret Marcus memang deret terbatas - hanya berlaku buat matrik yang tak mengandung nilai nol dalam satu deret atau satu kolom. Manfaat deret Marcus memang belum diuji. Tapi ini memang penelitian matematika murni, hingga kegunaannya boleh dilupakan dulu. Yang jelas, remaja 18 tahun ini tampil di hadapan juri dengan sangat meyakinkan. Dan ia menyadari benar, "Pengembangan matematika murni di Indonesia masih sangat lamban, bisa merugikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nantinya." Itu sebabnya ia mengkritik cara pelajaran matematika di sekolah: hanya disuruh menghafal rumus, tanpa dibimbing memahami konsep. Juga Wishnu Brata, mahasiswa Teknik Fisika ITB. Wishnu, 19, ketika melakukan penelitiannya tentang komputer mikro untuk mengontrol pemakaian tenaga listrik, masih duduk di kelas III SMAN 68, Jakarta. Cara berpikir Wishnu - bagaimana ia sampai menyusun program untuk komputer mikro yang dirakitnya sendiri, dan cara ia menyajikan karya tulisnya - memang mengagumkan. Juga cara anak tunggal ini menjawab pertanyaan juri: tangkas, jelas, dan sering sambil menahan tawa entah kenapa. Dalam melakukan penelitian ia tak sendiri, tapi dibantu temannya, Beno Pradekso, yang kini mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Mau tahu cita-cita juara umum SMAN 68 ini? "Mempersembahkan hadiah Nobel untuk Indonesia," jawab pemuda tinggi kurus ini. Berbeda dengan peragaan komputer oleh Wishnu adalah peragaan alat pengukur massa matahari bikinan Sangkurun dan Wirianto, dua siswa Kelas II IPA SMA Kristen Petra, Surabaya. Alat itu hanya terdiri dari tali, paku, beban, penggantung, meteran, dan jam pengukur waktu. Tapi alat sederhana itu diperuntukkan mengukur massa matahari, pusat galaksi kita. Tumpuan Sangkurun, anak pertama dari lima bersaudara, ini adalah hukum gravitasi Newton. Dari situlah ia, dengan memperhitungkan panjang tali alat itu, periode ayunannya, dan kecepatan bumi beredar, bisa menghitung massa matahari. Ia tertarik karena selama ini massa matahari hanya ditentukan secara teoretis, bukan berdasarkan eksperimen. Dan hasil percobaan Sangkurun dan Wirianto ini tak jauh berbeda dengan penghitungan teoretis. Bila masih ada kritik terhadap naskah LPIR ini adalah soal bahasa. Kebanyakan cara bertutur peserta lomba cenderung formal, jadinya kaku. Tapi ini memang kecenderungan umum bila orang menuliskan yang disebut karya ilmiah. Padahal, seperti dibuktikan oleh Mukad dan kawan-kawan yang meneliti soal poligami, dengan bahasa yang bercerita toh karangannya tak kehilangan nilai ilmiahnya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus