SEJUMLAH bom meledak di Jakarta. Sampai kini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab. Mendadak sontak muncul nama organisasi Islam radikal yang disebut-sebut terlibat: tiga faksi garis keras gerakan Darul Islam. Tokoh yang mengungkap mengaku sebagai juru bicara kelompok dari faksi antikekerasan. Dialah Al-Chaidar, pria kelahiran Lhokseumawe, Aceh, 32 tahun silam, yang dikenal cukup produktif menulis pelbagai buku gerakan Islam. Polisi akhirnya meminta keterangan kontroversial ini Jumat pekan lalu.
Boleh jadi, seperti disebut Chaidar—yang kemudian membuka diri untuk diwawancarai banyak media massa—faksi radikal itu juga berperan ketika bom meledak di Gereja Petra di Jakarta Utara dan Sekolah Internasional Australia di Jakarta Selatan, belum lama ini. Meski tak gampang membuktikannya, toh pernyataan itu bisa sedikit membuka jatidiri Darul Islam, yang selama ini dikenal getol berjuang di bawah tanah, serba menutup diri, dan jauh dari publikasi. Bagaimana sesungguhnya riwayat Darul Islam?
Sejarah Darul Islam (DI) memang sarat pergulatan. Ia muncul sebagai buah perpecahan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) setelah H.O.S. Cokroaminoto, sang pendiri, meninggal dunia pada 1934. Salah satunya adalah sayap yang dipimpin Sukarmaji Marijan Kartosoewirjo. Di tangan tokoh ini, akar DI berkembang pada 1940-an. Tujuannya satu: membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dengan cara apa pun. Karena pilihan itu, DI sering mengalami konflik, baik dengan negara maupun secara internal dalam tubuh organisasi.
Perpecahan kian mencolok ketika pada 1949 Kartosoewirjo, sebagai imam tertinggi, membubarkan Dewan Imamah DI. Dewan yang berisikan elite petinggi ini diganti menjadi Komandemen Tertinggi. Kartosoewirjo menunjuk dirinya sebagai panglima tertinggi. Ia membawahkan lima komandan wilayah: tiga di Jawa, satu di Sulawesi Selatan, dan satunya lagi di Aceh. Perubahan ini memicu konflik antarpemimpin Darul. Daud Beureueh bersama Abdul Kahar Muzakar memilih berpisah di persimpangan jalan. Daud, yang menganggap Kartosoewirjo gagal menetapkan prioritas kebijakan di Aceh, lalu mendirikan NII Aceh. Sedangkan Kahar mendirikan NII Sulawesi Selatan.
Memang ada perbedaan mendasar antara Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo. Kahar menghendaki kerangka negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah negara. Sedangkan Kartosoewirjo memilih negara kesatuan di bawah payung Islam. "Kahar dan Daud kemudian bergabung dengan PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi Utara," kata Buhari Kahar Muzakar, anak tertua Kahar yang kini Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Sul-Sel.
Meski berpisah jalan, ketiganya meneruskan mengangkat kapak perang melawan Republik untuk mendirikan NII. Tanpa kompromi. Nasib ketiganya berujung sama, dipatahkan militer Indonesia. Berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa tiga sayap inilah yang merupakan faksi-faksi utama dalam Darul Islam. Dari ketiganya, hanya Daud yang selamat dan meninggal karena usia tua. Sedangkan Kartosoewirjo dihukum mati militer pada 1962. Kahar tak kalah buruk nasibnya. Ia ditembak pasukan Kujang Batalyon TNI pada 1965.
Sejak itu, Darul praktis kehilangan soko guru. Gerakannya memang masih menyala di sejumlah tempat, tapi umumnya hanya dipimpin seorang komandan wilayah. Konflik antarkomandan pun masih terjadi. Di Jawa Barat, misalnya, muncul Adah Djaelani, yang mengaku sebagai imam. Tapi ia ditolak tokoh NII lainnya, Abdul Fatah Wirananggapati. Di Sulawesi Selatan juga muncul NII Ali Hate. Namun, putra Kahar lainnya, Abdul Aziz Kahar, menafikan kelompok ini. "Sejak ayah saya wafat, tak ada lagi NII di Sulawesi Selatan," kata pengurus Pondok Pesantren Hidayatullah di Jakarta Timur ini.
Dalam peta yang digambarkan Chaidar, Darul masih ada. Memang tak sesolid dulu dan mereka terpecah dalam beberapa faksi. Menurut catatan penulis buku Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front itu, kini setidaknya terdapat 15 faksi yang digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama berorientasi perjuangan secara damai (fillah). Lainnya NII garis keras (sabilillah).
Masuk dalam kelompok pertama adalah Toriqunna, Laskar Fatahillah, Khilafatul Muslimin, Lembaga Muslim Indonesia (LMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Kompi Badar, dan Darul Islam. Sedangkan di kelompok keras tercatat faksi Tahmid, Abdul Fatah, Ali Hate, Mahfud Sidik, Kiai Masduki, Kadar Solihat, Abdullah Sungkar, dan Adah Jaelani. Dari kelompok kedua inilah, dalam perkiraan Chaidar, aksi kekerasan di Jakarta dan sejumlah tempat di Indonesia bersumber.
Sejumlah sumber TEMPO membenarkan adanya kelompok sempalan ini. Bekas aktivis NII yang pernah menjadi tahanan politik akibat pembajakan pesawat Woyla, Umar Abduh, misalnya, tak membantah bahwa bibit mereka masih ada. Cuma, ia menolak jika mereka disebut faksi. Sebagai gerakan, NII dianggapnya sudah habis. "Kelompok sempalan itu cuma punya imam. Anggotanya paling be-berapa orang. Kebanyakan hanya klaim," ujarnya. Yang pasti, mereka tak mustahil bikin kekerasan.
Prasidono L., Agus Hidayat, Syarief Amir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini