INILAH Ramadan kelabu bagi Ujang Haris. Tak ada tawa riang seusai salat tarawih seperti biasanya. Makan sahur dan berbuka puasa cukup dengan lauk seadanya. Ia kini mendekam di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Kasusnya cukup berat. Ia jadi tersangka peledakan bom di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Petra, di kawasan Tanjungpriok, Jakarta Utara, 9 November silam. "Saya hanya separuh menyesal," kata pemuda berusia 17 tahun ini saat dijenguk TEMPO Kamis pekan lalu.
Ujang sepertinya tak menyadari bahwa ulahnya itu membuat cemas sebagian warga Ibu Kota. Kendati tak sampai merenggut nyawa, toh ledakan di Gereja Petra itu serasa menebarkan hawa panas sampai sekarang. Aksi ini bisa memancing pertikaian antarumat beragama. Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, menyebut kejadian itu merupakan upaya terencana "Untuk mengusung konflik antara kelompok Islam dan Kristen di Maluku ke Jakarta."
Masih belum jelas betul siapa biangnya. Cuma, sudah ada tudingan. Kali ini bukan polisi yang melempar, tapi Al Chaidar, 32 tahun, juru bicara Darul Islam, sebuah organisasi Islam radikal. Menurut penulis sejumlah buku tentang Darul Islam ini, aksi gawat itu didalangi oleh tiga faksi garis keras di tubuh gerakan yang bertujuan "membentuk negara Islam di Indonesia" ini. Mereka jugalah, kata Al Chaidar, yang melempar granat di Australian International School di Jakarta Selatan, tiga hari sebelum peledakan Gereja Petra.
Kesimpulan mantan aktivis UI itu tegas: dua kejadian tadi berkaitan. Bukan mustahil bersinggungan dengan pelbagai ledakan bom yang lalu-lalu. Toh, tak banyak yang bisa diungkap Al Chaidar. Ia mengaku tak punya bukti kuat yang menopang tudingannya. Ia juga enggan menyebut nama kelompok garis keras itu, siapa pula pemimpinnya. Setelah buka mulut ke media massa, pemuda kelahiran Aceh ini akhirnya memberikan keterangan kepada polisi, Jumat pekan lalu. "Saya ungkap ini dengan niat agar mereka berubah menjadi gerakan terbuka dan antikekerasan," katanya.
Sejatinya, teror di Sekolah Australia itu sampai kini masih gelap. Dua pelakunya belum tertangkap. Begitu melempar granat nanas K31 buatan Korea di halaman sekolah itu, mereka buru-buru kabur dengan mengendarai sepeda motor RX King. Berbeda dengan kasus Gereja Petra. Bom yang dipasang keburu meledak. Ujang, yang melakukannya bersama Wahyu Handoko, belum sempat lari jauh, sehingga gampang ditangkap petugas. Mereka mengaku datang dari Bandung, diantar oleh Aryanto Haris dengan mobil Suzuki Carry abu-abu tua. Pria berambut panjang dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter itu masih buron.
Gereja Petra bukan sembarang sasaran. Jumat saat itu, di sana tengah digelar acara kebaktian bertajuk "Maluku Berdoa". Acara ini untuk mengenang kembali pengusiran terhadap warga Kristen Waai, Maluku, akhir Juli tahun lalu. Penceramahnya Pendeta Diane Akyuwen, asal Maluku. Di tengah acara yang dihadiri puluhan jemaah inilah, Ujang dan Wahyu menyelinap, masing-masing membawa dua bahan peledak. Tapi satu bom meledak lebih cepat dari rencana. Ini membuat dua pelaku gugup. Mereka tertangkap aparat Kepolisian Sektor Jakarta Utara.
Ledakan bom yang dibuat dari paralon berisi potasium, arang, yang dicampur dengan paku itu membuat atap gereja rusak. Diduga, sasaran utamanya Pendeta Diane. Ia dianggap tengah melakukan kegiatan untuk mendukung kekuatan kelompok Kristen di Maluku. Kejadian ini tak urung menguatkan dugaan adanya skenario yang bikin heboh: menebarkan konflik Maluku sampai ke Jakarta. Apalagi situasi di sana sempat memanas lagi. Thamrin Amal Tomagola, pengamat konflik Maluku, tak yakin jika upaya itu akan berhasil. "Orang Jakarta tak terlalu peduli konflik agama," ujar sosiolog Universitas Indonesia ini.
Dua tersangka pelaku tadi mengaku kepada polisi bahwa tindakannya tak lepas dari konflik Maluku. Wahyu, 21 tahun, pemuda kelahiran Gombong, Jawa Tengah, pernah menonton video yang menggambarkan pembunuhan terhadap kaum muslim di Ambon dan Halmahera. Selain itu, selama satu tahun, ia bersama Ujang pernah berjihad di kawasan Batumerah, Ambon, dan balik ke Jakarta sekitar Agustus lalu. "Dengan mata kepala sendiri saya melihat kaum muslim dibantai," tutur Wahyu, yang ahli membuat bom rakitan ini, kepada pemeriksa dari Kepolisian Sektor Jakarta Utara.
Ketika "bertempur" di Ambon, mereka bergabung dengan Laskar Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Dzar. Tapi pada September tahun lalu sang komandan ini kabarnya tewas tertembak di Desa Sirisori, Ambon. Posisinya lalu diganti Aryanto Haris. Polisi kuat menduga Aryanto sebagai dalang di balik aksi Ujang dan Wahyu itu. Dari penelusuran TEMPO, para aktivis Laskar Mujahidin memang mengenal Abu Dzar, tapi mereka tak mendengar nama Aryanto Haris. Ujang dan Wahyu juga tak dikenal. "Soalnya, orang yang berjihad itu kan datang-pergi silih berganti," ujar seorang anggota Laskar Mujahidin kepada Yusnita Tiakoly dari TEMPO.
Sosok para tersangka sungguh tak meyakinkan sebagai pelaku kejahatan. Di kampungnya, Desa Kedungpuji, Gombong, Wahyu dikenal sebagai pemuda pendiam. Setelah lulus SMU dua tahun lalu, ia ingin menjadi tentara tapi tidak lulus tes karena giginya berlubang. Sartini, ibu Wahyu, mengaku bahwa tahun lalu anaknya ikut berjihad ke Ambon. Dua bulan lalu ia sempat pulang ke rumah, lalu pergi lagi. Pamitnya mau ke Solo. "Katanya, jihadnya belum selesai," ujar Sartini. Ibu yang hidupnya pas-pasan ini kaget mengetahui anaknya menjadi tersangka kasus peledakan bom.
Bukan cuma Sartini yang kelabakan. Ayah Ujang, Amin alias Minarno, yang tinggal di belakangan Pasar Caringin, Bandung, juga kebingungan mengetahui nasib anaknya. Sudah dua tahun ini Ujang pergi minta izin untuk berjihad ke Ambon. Meski dilarang, toh Ujang tetap ngotot berangkat. "Padahal, ia anak yang jujur," kata Amin. Ujang mengaku pernah belajar mengaji di Pesantren Al-Jawami di Cileunyi, Jawa Barat. Tapi pihak pesantren menyatakan tak pernah punya santri bernama Ujang. "Bisa saja ia berbohong," kata Hamdan, Ketua Dewan Santri Al-Jawami, kepada TEMPO.
Apa pun pengakuan mereka, toh kekerasan sudah mencuat. Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb pernah menuding aksi dua remaja ini didalangi oleh kelompok Muhajidin Kompak. Tapi di Ambon organisasi itu tak ada. Yang ada Laskar Mujahidin. Memang ada Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) yang dibetuk oleh para aktivis Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Organisasi ini aktif membantu para korban konflik di Maluku. Cuma, LSM ini tidak punya hubungan dengan Laskar Mujahidin. "Kami hanya bekerja sama dalam penyaluran bantuan," kata Abdullah, aktivis Kompak. Ia juga menampik tudingan bahwa ada anggota Kompak yang terlibat dalam peledakan Gereja Petra.
Lalu apa kaitan kasus tersebut dengan Darul Islam? "Bisa saja para pelaku peledakan itu dikirim oleh faksi-faksi garis keras di Darul Islam," kata Al Chaidar. Masih sebatas dugaan, memang. Semuanya belum jelas betul, apalagi Al Chaidar tak memberikan bukti keterlibatan mereka. Anehnya, di kalangan Darul Islam, nama aktivis dan penulis produktif masalah gerakan Islam ini kurang dipercaya. "Saya termasuk yang tak percaya dengan ucapannya yang sembrono itu," kata Kokom Komalasari, 47 tahun, putri Kartosoewirjo, pendiri Darul Islam, kepada TEMPO.
Bantahan yang sama juga datang dari Umar Abduh, bekas aktivis Negara Islam Indonesia (NII) yang lama mendekam di penjara gara-gara terlibat dalam gerakan radikal yang berbuntut pembajakan pesawat Woyla pada 1981. Ia tak yakin faksi-faksi di Darul Islam melakukan peledakan gereja. "Seperti yang terjadi pada peledakan bom Natal dulu, saya kira ini dilakukan orang-orang yang mengaku dekat dengan Darul Islam," katanya. Siapa biang pelakunya, Umar geleng kepala. Ia bilang bahwa spekulasi Al Chaidar itu cuma memberikan pekerjaan rumah baru bagi polisi. "Walau begitu, kami akan melacak indikasi tersebut," ujar Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam. Melacak jaringan maut bukan perkara mudah.
Gendur S., Arif Kuswardono, Edy Budiyarso, Syaiful Amin (Kebumen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini