Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, JAKARTA - Istilah darurat militer tengah ramai diperbincangkan di seluruh dunia, setelah diumumkan oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol beberapa waktu yang lalu. Keputusan tersebut membuat parlemen hingga masyarakat setempat bergejolak dan menuntut status darurat militer dicabut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut etd.repository.ugm.ac.id, keadaan darurat militer sering kali hanya dijadikan sebagai instrumen pemaksaan kehendak pemerintah yang tidak mampu meredam konflik yang terjadi. Lantas, apa itu darurat militer?
Pengertian Darurat Militer
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan darurat militer sebagai keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi. Dengan demikian, militer ditempatkan sebagai penanggung jawab pemerintahan sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip Antara, darurat militer (martial law) merupakan seperangkat peraturan yang efektif diberlakukan setelah adanya pengumuman resmi yang melibatkan penggantian sementara kewenangan militer untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintah sipil yang berkuasa secara formal. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban suatu wilayah atau negara.
Status darurat militer biasanya diimplementasikan untuk segala sesuatu yang mendesak, di mana pemerintah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya atau dirasa terlalu lemah untuk menghadapi situasi-situasi yang terjadi, misalnya akibat bencana alam, perang, pemberontakan, atau bahkan setelah peristiwa kudeta.
Ketika darurat militer diterapkan, komandan militer di suatu wilayah atau negara berwenang secara tidak terbatas untuk menyusun strategi dan menegakkan hukum. Artinya, militer dapat menentukan tindakan yang tepat dan cepat untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Dampak Darurat Militer
Merujuk pada laman Robert Lansing Institute, berikut beberapa dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan darurat militer:
Konsolidasi Pemerintahan
Presiden atau kepala negara dapat menggunakan darurat militer sebagai strategi untuk memulihkan ketertiban dan mengesahkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan oposisi. Namun, kondisi tersebut justru menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan rakyat dan potensi kritik internasional.
Meningkatnya Protes
Demonstrasi massa berskala besar bisa memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali darurat militer. Dengan demikian, risiko kehilangan legitimasi akan semakin besar terjadi.
Oposisi Mendapatkan Momentum untuk Memakzulkan Presiden
Pihak oposisi dapat memanfaatkan perbedaan pendapat publik akibat status darurat militer untuk menantang otoritas presiden. Artinya, kemungkinan adanya upaya pemakzulan atau pemilihan umum (pemilu) yang dipercepat semakin besar.
Melemahnya Stabilitas Domestik
Ketidakstabilan di dalam negeri dapat membatasi kemampuan suatu negara untuk menanggapi provokasi dari negara-negara lain. Selain itu, peluang dalam berpartisipasi aktif dalam diplomasi regional dan internasional akan semakin melemah.
Ketidakstabilan Ekonomi
Gejolak yang berkepanjangan akibat darurat militer dapat mengganggu aktivitas ekonomi di suatu negara. Imbasnya, mitra dagang, rantai pasokan, dan investor enggan untuk melanjutkan aktivitas perekonomian, sehingga potensi pengangguran, kejahatan, dan rentetan dampak lainnya akan semakin meningkat.
Penerapan Darurat Militer di Indonesia
Di Indonesia, penerapan darurat militer diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya. Pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pihak yang menyatakan darurat militer adalah presiden atau panglima tertinggi angkatan perang.
Berikut beberapa alasan yang mendasari darurat militer dapat diberlakukan di Indonesia:
- Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
- Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
- Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus, ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang bisa membahayakan hidup negara.
Indonesia diketahui pernah menerapkan darurat militer di Provinsi Timor Timur pada 1999 dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 2023. Berikut penjelasannya:
Darurat Militer Timor Timur
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 1999 tentang Keadaan Darurat Militer di Daerah Propinsi Timor Timur, darurat militer di Timor Timur berlaku pada 7 September 1999. Keppres yang ditetapkan di Jakarta tersebut ditandatangani oleh Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie, sehari sebelumnya atau 6 September 1999.
Kemudian, keppres dicabut melalui Keppres Nomor 112 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keppres Nomor 107 Tahun 1999 tentang Keadaan Darurat Militer di Daerah Propinsi Timor Timur. Pencabutan dilakukan pada 23 September 1999.
Darurat Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Sementara itu, darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beleid tersebut diteken oleh Megawati Soekarnoputri pada 19 Mei 2003.
Saat itu, darurat militer diberlakukan untuk menghadapi GAM yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Status darurat diterapkan karena kondisinya semakin buruk dengan tindak kekerasan bersenjata yang mengarah pada terorisme.