Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Deklarasi Sunyi Di Sentani

Keluarga menyatakan telah memaafkan pembunuh Theys Hiyo Eluay. Tak didukung kelompok lain.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga menghadiri deklarasi damai keluarga besar Theys Hiyo Eluay di Sentani, Jayapura, 10 November 2018. -Penanegeri.com/Wawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPANDUK berlatar peta Indonesia bertulisan ”Deklarasi Damai Keluarga Besar Theys Hiyo Eluay” terpampang di pendapa rumah almarhum Theys di Jalan Bestur Pos Nomor 16, Sentani, Jayapura, pada Sabtu sore dua pekan lalu. Di bawah gambar peta pada spanduk itu tertera petikan Doa Bapa Kami: ”Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Matius 6 : 12”.

Seorang pria mempersilakan tetamu mengisi bangku di barisan depan yang masih kosong. Tapi, hingga acara selesai, kursi-kursi yang disiapkan tak terisi penuh. Hanya sekitar 50 orang yang datang. Itu pun sebagiannya rombongan dari Jakarta. Salah seorang anak Theys, Yanto Eluay, mengatakan acara deklarasi memang hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat. ”Ini memang inisiatif dari keluarga sendiri,” ujar Yanto kepada Tempo.

Yanto pula yang membacakan poin-poin deklarasi. Salah satu isinya: keluarga meminta kasus pembunuhan Theys tak lagi disebut sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Keponakan Theys, Ronald Michael Manoach, mengatakan poin itu sengaja ditekankan keluarga lantaran banyak pihak menggaungkan pembunuhan pamannya untuk tujuan tertentu. ”Mereka menjadikannya sebagai komoditas politik,” ucap Ronald.

Theys tewas pada 10 November 2001 dibunuh oleh anggota Komando Pasukan Khusus. Waktu itu Theys menjabat Ketua Presidium Dewan Papua, organisasi yang menghimpun sekitar 250 suku di Papua. Theys disorot Jakarta karena mencetuskan Papua lepas dari Indonesia dan pernah mengibarkan Bintang Kejora, bendera yang diidentikkan dengan Organisasi Papua Merdeka.

Setelah Theys wafat, Jakarta memberikan otonomi khusus kepada Papua. Implikasinya, pemerintah mengucurkan dana otonomi khusus untuk memacu pembangunan di sana. Tapi, kata Ronald, dana itu tak menetes ke keluarga Theys. Rumah Theys yang ditempati putra sulung Theys, Boy Eluay, misalnya, menunggak listrik hingga jutaan rupiah. ”Padahal adanya dana otsus juga berkat Bapak Theys,” ujarnya.

Menurut Ronald, deklarasi tersebut tak sekonyong-konyong. Ia menyampaikan -keinginan keluarga Theys kepada Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Doni Monardo lewat pesan WhatsApp bulan lalu. Ronald mengenal Doni ketika mantan Komandan Jenderal Komando -Pasukan Khusus itu berkunjung ke rumah -Theys sebulan sebelumnya. Doni datang untuk menjenguk Boy Eluay yang terbaring sakit.

Keinginan keluarga Theys disambut Doni. Menurut Yanto Eluay, yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jayapura dari Partai Golkar, Doni meminta Yanto datang ke Jakarta pada awal Oktober lalu. Doni, kata Yanto, menanyakan kesungguhan deklarasi tersebut. ”Saya jawab ini murni dari ketulusan kami,” ujar Yanto.

Beberapa hari kemudian, Yanto diantar Doni menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Kantor Staf Presiden. Moeldoko membenarkan kabar bahwa ia bertemu dengan Yanto dan Doni. Ia mengatakan pemerintah menyetujui rencana tersebut. ”Tak hanya mengakomodasi, kami juga mengapresiasi mereka karena niat itu datang dari keluarga,” katanya.

Yanto juga menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto serta Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto. Deputi Bidang Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wawan Kustiawan membenarkan adanya pertemuan antara Wiranto, Doni, dan Yanto. ”Niat baik tentu kami dukung,” ucapnya. Doni menolak memberikan pernyataan ketika dimintai konfirmasi.

Nyatanya, deklarasi keluarga Theys ditolak sejumlah kelompok di Papua. Lambert Pekikir, salah seorang pentolan Organisasi Papua Merdeka, menganggap langkah keluarga Theys tak mempengaruhi kelompoknya. ”Deklarasi itu hanya pandangan keluarga Theys,” ujarnya. ”Tapi, sebagai pernyataan yang mewakili masyarakat Papua, itu belum pas.”

Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua, Fritz -Ramanday, mengatakan deklarasi tak serta-merta menuntaskan kasus Theys. -Sembilan pembunuh Theys memang sudah diadili di Pengadilan Militer Surabaya pada 2002. Tapi sampai hari ini keberadaan Aristoteles Masoka, sopir Theys, belum -jelas.

Pada malam nahas itu, Aristoteles mengantar Theys pulang dari markas Kopassus di Jayapura. Dalam perjalanan, keduanya disergap. Esoknya, Theys ditemukan tewas di dalam mobil, sedangkan Aristoteles tak pernah terlihat lagi. ”Jangan lupakan kasus pelanggaran HAM yang lain,” kata Fritz. ”Itu masih pekerjaan rumah pemerintah.”

DEVY ERNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus