Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEPON seluler Supratman Andi Agtas diserbu pesan pendek dan panggilan telepon dari sejumlah organisasi kristiani begitu Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan pada pertengahan September lalu. Isinya seragam: memprotes draf tersebut karena membatasi sekolah Minggu dan katekisasi.
Menurut Supratman, yang menjabat Ketua Badan Legislasi DPR, protes di antaranya datang dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), serta Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII). ”Saya sampaikan itu baru draf, bisa diubah dan akan dibahas lebih lanjut di Komisi Agama DPR,” ujar politikus Gerindra itu pada Selasa pekan lalu.
Penjelasan Supratman melalui ponsel rupanya tak memadamkan kekhawatiran mereka. Kegelisahan malah menjadi-jadi setelah RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dinyatakan sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR pada 16 Oktober lalu. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo pun memanggil Supratman ke kantornya di lantai 6 Gedung Mid Plaza, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu hadir pula sejumlah pendeta, termasuk Ketua I PGLII Roland Octavianus. Hashim, yang juga Ketua Dewan Pembina Komunitas Kristiani Interdenominasi Gereja, meminta penjelasan Supratman ihwal awal mula rancangan undang-undang tersebut dibahas di Badan Legislasi hingga dinyatakan sebagai RUU usulan DPR pada rapat paripurna, termasuk munculnya pasal 69 dan 70 yang menimbulkan kontroversi. Roland membenarkan hadir dalam pertemuan itu.
RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan masuk daftar panjang rancangan legislasi 2014-2019. Pada akhir 2014, menurut anggota Badan Legislasi dari Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi, partainya mengajukan RUU Pendidikan Madrasah Diniyah dan RUU Pesantren. PPP menginginkan pesantren mendapatkan dana dan fasilitas pendidikan umum. Ini sekaligus memenuhi permintaan pemilih mereka. ”Lalu diajukan untuk masuk Program Legislasi Nasional 2017,” kata Baidowi.
Ternyata Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan draf yang kurang-lebih sama. Menurut anggota Badan Legislasi dari PKB, Ibnu Multazam, fraksinya mengajukan rancangan tersebut karena menganggap pesantren belum dilindungi undang-undang. ”Ini juga untuk pemilih kami yang berbasis pesantren,” ucapnya. Karena PPP dan PKB sama-sama mengajukan, pembahasan jadi alot.
Saat pembahasan, menurut Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani, anggota Badan Legislasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno, mengusulkan agar pendidikan agama lain, termasuk sekolah Minggu, juga diatur dalam rancangan tersebut. ”Saya setuju dan judul pun diubah menjadi RUU Lembaga Pendidikan Agama,” kata Arsul, yang saat itu duduk di Badan Legislasi.
Santriwati mengikuti pawai peringatan Hari Santri Nasional di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Oktober 2018. - ANTARA/Syifa Yulinnas
Hendrawan membenarkan pernyataan Arsul. ”Agar pendidikan keagamaan yang ada di semua agama berjalan lebih baik,” ucapnya.
Judul awal rancangan pun berubah. Tapi Badan Legislasi belum membahas isinya lebih jauh karena ada perbedaan pendapat di antara PPP dan PKB. Menurut Supratman, pemimpin Badan Legislasi berkali-kali memanggil Achmad Baidowi dan Ibnu Multazam agar kedua fraksi satu suara mengenai judul rancangan dan isinya. Akhirnya PPP dan PKB menyetujui draf itu berjudul Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Achmad Baidowi dan Ibnu Multazam membenarkan pernyataan Supratman. ”Kami memang berkompromi,” ujar Ibnu.
Di Badan Legislasi, menurut Supratman, tim pengkaji hanya mendengarkan pendapat dari kelompok Islam. Alasannya, kata Supratman, PPP dan PKB menginginkan draf tersebut menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR sebelum Hari Santri Nasional pada 22 Oktober. Pembahasan pun dikebut. Enam hari sebelum Hari Santri, rapat paripurna DPR mengetuk draf itu sebagai rancangan undang-undang usulan Dewan. ”Kami akui ini salah dan akhirnya menimbulkan polemik,” ucap Supratman.
Sekretaris Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Gomar Gultom, mengatakan DPR hanya mencari gampangnya dengan tak meminta pendapat dari kelompok Kristen. PGI menilai penyusun RUU tak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen dan Katolik karena sekolah Minggu dan katekisasi adalah bagian dari peribadatan, bukan sekadar pendidikan agama informal. ”Seharusnya ibadah kami tidak usah dimasukkan ke RUU,” ujarnya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai RUU Pesantren dan Pendidikan Agama tak hanya menimbulkan masalah bagi umat kristiani. Jika kelak disahkan, draf itu juga bisa membingungkan karena alas hukum bagi pesantren dan pendidikan agama sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama Pasal 30 ayat 4.
Pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. ”Peraturan pemerintah tersebut mengatur secara rinci mengenai pesantren dan pendidikan keagamaan,” ucap Doni. Pesantren pun, kata Doni, menerima kucuran anggaran dari pemerintah melalui Kementerian Agama.
Juru bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan tahun ini lembaganya mencairkan sekitar Rp 30 miliar untuk menghidupi pesantren. Dana dikucurkan berdasarkan dua aturan tadi: undang-undang dan peraturan pemerintah. Tapi, menurut Mastuki, dana itu tidak cukup membiayai semua pesantren yang jumlahnya mencapai 17 ribu.
Meskipun menuai polemik, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengibaratkan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang masuk Legislasi Nasional Prioritas sebagai hadiah bagi konstituennya. ”RUU ini kado untuk para santri,” ujar Muhaimin, awal November lalu. Ibnu Multazam dari PKB meyakini rancangan undang-undang tersebut bisa mendongkrak elektabilitas partainya.
Bagi PPP, draf tersebut merupakan salah satu kesepakatan politik PPP dengan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan dua program yang diusulkan partai Ka’bah, yakni penguatan lembaga pendidikan agama dan ekonomi umat. ”RUU ini penting dan merupakan bukti bahwa PPP sebagai partai Islam memperjuangkan kebutuhan umat,” kata Arsul Sani.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEWI NURITA
RUU Pesantren dan Pendidikan Agama
Pasal 69
(1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.
(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 orang peserta didik.
(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2.
Pasal 70
(1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan.
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo