PARA petani di gugusan Bukit Menoreh, Kabupaten Purworejo (Jawa
Tengah) sangat kecewa. Kebun kopi dan cengkih yang mereka miliki
turun-temurun, mendadak harus diserahkan kepada orang lain
dengan harga murah.
Kebun yang subur di Dukuh Kalilo dan Gogoluas itu, meliputi 10
hektar, milik 19 petani. Agustus tahun lalu, para petani
dikumpulkan di balai Desa Tlogoguwo. Kepala desa memberitahukan
bahwa kebun mereka harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah
dengan harga Rp 1,5 juta/hektar ditambah ganti rugi tanaman Rp
600.000/hektar. Dikatakan, perkebunan itu akan dijadikan
pembibitan kambing jenis etawa. "Camat Kaligesing menegaskan,
petani setuju atau tidak -- proyek harus jalan," kata Kepala
Dukuh Kalilo, Darmowijoyo.
Para petani terperanjat. Apalagi setelah pertemuan itu, beredar
desa-desus, "bahwa petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya,
akan ditransmigrasikan," tutur Atmopawiro, petani dari Kalilo
"Orang desa biasanya takut ditransmigrasikan," tambah
Partowiyono, seorang petani dari Gogoluas.
Karena para petani merasa tak ada pilihan lain, dalam pertemuan
itu pun mereka minta harga Rp 2,4 juta/hektar termasuk ganti
rugi tanaman. "Tapi akhirnya Camat Kaligesing, yang
mengatasnamakan pemerintah, memaksakan harga Rp 1,5 juta/hektar
-- di luar ganti rugi tanaman.
Rakyat pun menyerah. Mereka kemudian bergiliran mencantumkan cap
jempol dan uang ganti rugi diserahkan di rumah masing-masing.
Ganti rugi itu pun ternyata masih dipotong uang saksi 2% untuk
kas kelurahan.
Harga tersebut ternyata disamaratakan antara tanah gersang
dengan tanah yang subur. Misalnya tanah subur milik Atmopawiro
seluas 1,5 hektar dengan 2.000 batang kopi. Setiap musim panen
Atmo bisa mengantungi hasil Rp 50.000 "Menurut harga umum,
dibeli seharga Rp 3 juta per hektar tidak boleh," katanya.
Malangnya, banyak petani yang sampai sekarang tidak tahu berapa
hektar persisnya luas tanah mereka yang dijual paksa itu. Pihak
agraria memang melakukan pengukuran pada bulan-bulan terakhir
tahun lalu, "Tapi sampai pada saat saya menerima uang ganti
rugi, saya tidak tahu berapa luas tanah saya yang dibeli paksa
itu," ujar Partowiyono.
Beberapa petani menyatakan sebenarnya mefeka bersedia melepas
tanah untuk proyek pembangunan. Tapi hendaknya melalui
musyawarah -- dengan ganti rugi yang patut. "Saya sendiri sadar
harga itu terlalu murah. Tapi untuk kepentingan negara, ya
bagaimana lagi. Jangan sampai nanti ada tuduhan kami tidak
membantu pembangunan," kata Harjosuwito, petani berusia 65
tahun.
Untunglah sembilan di antara para petani itu masih punya
keberanian mengadukan nasib kawan-kawannya lewat LBH Semarang.
Lembaga ini kemudian mengecek ke lapangan dan kemudian
melaporkannya secara tertulis kepada Gubernur Ja-Teng, Soepardjo
Roestam.
"Tapi kalau laporan itu menghadapi jalan buntu, terpaksa saya
tempuh jalan ke pengadilan," kata Ketua LBH Semarang, Djunarto
Wibowo SH. Sebab, tambah Djunarto sampai sekarang, para petani
bertambah resah, karena ganti rugi tanaman tidak kunjung
diberikan. Menurut gubernur, masalah ganti rugi itu sudah beres.
"Kalau nanti ternyata ada kekeliruan, akan dikoreksi," katanya.
Mengapa pembibitan kambing etawa justu ditempatkan di dua dukuh
dalam Kecamatan Kaligesing itu? Menurut Kepala Desa Tlogoguwo,
Surotinoyo, karena iklimnya cocok. "Kambing itu berkembang biak
dengan baik di sini, " tambah Surotinoyo. Kawasan yang
berbukit-bukit terjal ini terletak pada ketinggian 700 meter
dari permukaan laut, hawanya nyaman.
Belum Nampak
Kambing etawa, yang semula dikenal dengan sebutan kambing
Kaligesing, akhir-akhir ini memang sangat terkenal. Jenis ini
dikenal di kawasan itu sejak 1927, hasil percampuran antara
kambing betina Jawa dengan domba pejantan dari luar negeri. Anak
keturunannya yang disebut rambon dikawinkan lagi dengan kambing
Jawa, lahirlah si etawa.
Etawa bertubuh lebih besar, juga lebih tinggi dari kambing
biasa, menyerupai domba. Daun telinganya lebih panjang dan
menjurai. Selain dagingnya tentu lebih banyak, yang sangat
diharapkan ialah susunya. "Dengan adanya pusat pembibitan etawa
di sini nanti, daerah lain dapat membeli bibitnya dari sini,"
kata Kepala Desa Tlogoguwo, Surotinoyo.
Proyek pembibitan itu sendiri belum jalan. Tapi di sana memang
sudah dibangun dua kandang besar masing-masing seluas 200 meter
persegi, dikelilingi pagar kawat berduri sepanjang 1.400 meter.
Persisnya proyek itl terletak di jalur jalan menuju Dukuh
Kalilo, sekitar 20 kilometer dari ibukota Kabupaten Purworejo,
atau sekitar 100 km dari Yogyakarta.
Jalan menuju ke sana, setahun lalu sudah diaspal. Jalan itu
merupakan ha diah Presiden Soeharto, setelah pada 1979 ditemukan
sebuah patung emas di salah sebuah gua di sana. Di kawasan itu
memang banyak terdapat gua-gua dengan pemandangan yang menarik.
Tapi sampai akhir minggu lalu belum nampak seekor kambing pun di
sana. Yang ada hanya para petani yang sedang merumput untuk
ternak mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini