Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Demi kambing-kambing itu

Petani di desa tlogoguwo, kab. purworejo, diharuskan menyerahkan kebun mereka kepada pemerintah daerah/dibeli paksa dengan harga murah untuk dijadikan tempat peternakan kambing sejenis etawa. (ds)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani di gugusan Bukit Menoreh, Kabupaten Purworejo (Jawa Tengah) sangat kecewa. Kebun kopi dan cengkih yang mereka miliki turun-temurun, mendadak harus diserahkan kepada orang lain dengan harga murah. Kebun yang subur di Dukuh Kalilo dan Gogoluas itu, meliputi 10 hektar, milik 19 petani. Agustus tahun lalu, para petani dikumpulkan di balai Desa Tlogoguwo. Kepala desa memberitahukan bahwa kebun mereka harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan harga Rp 1,5 juta/hektar ditambah ganti rugi tanaman Rp 600.000/hektar. Dikatakan, perkebunan itu akan dijadikan pembibitan kambing jenis etawa. "Camat Kaligesing menegaskan, petani setuju atau tidak -- proyek harus jalan," kata Kepala Dukuh Kalilo, Darmowijoyo. Para petani terperanjat. Apalagi setelah pertemuan itu, beredar desa-desus, "bahwa petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya, akan ditransmigrasikan," tutur Atmopawiro, petani dari Kalilo "Orang desa biasanya takut ditransmigrasikan," tambah Partowiyono, seorang petani dari Gogoluas. Karena para petani merasa tak ada pilihan lain, dalam pertemuan itu pun mereka minta harga Rp 2,4 juta/hektar termasuk ganti rugi tanaman. "Tapi akhirnya Camat Kaligesing, yang mengatasnamakan pemerintah, memaksakan harga Rp 1,5 juta/hektar -- di luar ganti rugi tanaman. Rakyat pun menyerah. Mereka kemudian bergiliran mencantumkan cap jempol dan uang ganti rugi diserahkan di rumah masing-masing. Ganti rugi itu pun ternyata masih dipotong uang saksi 2% untuk kas kelurahan. Harga tersebut ternyata disamaratakan antara tanah gersang dengan tanah yang subur. Misalnya tanah subur milik Atmopawiro seluas 1,5 hektar dengan 2.000 batang kopi. Setiap musim panen Atmo bisa mengantungi hasil Rp 50.000 "Menurut harga umum, dibeli seharga Rp 3 juta per hektar tidak boleh," katanya. Malangnya, banyak petani yang sampai sekarang tidak tahu berapa hektar persisnya luas tanah mereka yang dijual paksa itu. Pihak agraria memang melakukan pengukuran pada bulan-bulan terakhir tahun lalu, "Tapi sampai pada saat saya menerima uang ganti rugi, saya tidak tahu berapa luas tanah saya yang dibeli paksa itu," ujar Partowiyono. Beberapa petani menyatakan sebenarnya mefeka bersedia melepas tanah untuk proyek pembangunan. Tapi hendaknya melalui musyawarah -- dengan ganti rugi yang patut. "Saya sendiri sadar harga itu terlalu murah. Tapi untuk kepentingan negara, ya bagaimana lagi. Jangan sampai nanti ada tuduhan kami tidak membantu pembangunan," kata Harjosuwito, petani berusia 65 tahun. Untunglah sembilan di antara para petani itu masih punya keberanian mengadukan nasib kawan-kawannya lewat LBH Semarang. Lembaga ini kemudian mengecek ke lapangan dan kemudian melaporkannya secara tertulis kepada Gubernur Ja-Teng, Soepardjo Roestam. "Tapi kalau laporan itu menghadapi jalan buntu, terpaksa saya tempuh jalan ke pengadilan," kata Ketua LBH Semarang, Djunarto Wibowo SH. Sebab, tambah Djunarto sampai sekarang, para petani bertambah resah, karena ganti rugi tanaman tidak kunjung diberikan. Menurut gubernur, masalah ganti rugi itu sudah beres. "Kalau nanti ternyata ada kekeliruan, akan dikoreksi," katanya. Mengapa pembibitan kambing etawa justu ditempatkan di dua dukuh dalam Kecamatan Kaligesing itu? Menurut Kepala Desa Tlogoguwo, Surotinoyo, karena iklimnya cocok. "Kambing itu berkembang biak dengan baik di sini, " tambah Surotinoyo. Kawasan yang berbukit-bukit terjal ini terletak pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut, hawanya nyaman. Belum Nampak Kambing etawa, yang semula dikenal dengan sebutan kambing Kaligesing, akhir-akhir ini memang sangat terkenal. Jenis ini dikenal di kawasan itu sejak 1927, hasil percampuran antara kambing betina Jawa dengan domba pejantan dari luar negeri. Anak keturunannya yang disebut rambon dikawinkan lagi dengan kambing Jawa, lahirlah si etawa. Etawa bertubuh lebih besar, juga lebih tinggi dari kambing biasa, menyerupai domba. Daun telinganya lebih panjang dan menjurai. Selain dagingnya tentu lebih banyak, yang sangat diharapkan ialah susunya. "Dengan adanya pusat pembibitan etawa di sini nanti, daerah lain dapat membeli bibitnya dari sini," kata Kepala Desa Tlogoguwo, Surotinoyo. Proyek pembibitan itu sendiri belum jalan. Tapi di sana memang sudah dibangun dua kandang besar masing-masing seluas 200 meter persegi, dikelilingi pagar kawat berduri sepanjang 1.400 meter. Persisnya proyek itl terletak di jalur jalan menuju Dukuh Kalilo, sekitar 20 kilometer dari ibukota Kabupaten Purworejo, atau sekitar 100 km dari Yogyakarta. Jalan menuju ke sana, setahun lalu sudah diaspal. Jalan itu merupakan ha diah Presiden Soeharto, setelah pada 1979 ditemukan sebuah patung emas di salah sebuah gua di sana. Di kawasan itu memang banyak terdapat gua-gua dengan pemandangan yang menarik. Tapi sampai akhir minggu lalu belum nampak seekor kambing pun di sana. Yang ada hanya para petani yang sedang merumput untuk ternak mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus