Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mengamankan Walahar

Bendungan walahar di karawang terancam ambruk. lantai bendungan tergantung, karena pasir sungai citarum menipis. pengerukan pasir harus dihentikan atau dipindah. (dh)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDUNG Walahar, 12 km sebelah timur Karawang terancam ambruk. Di beberapa tempat lantainya sudah tidak lagi berpijak ke tanah sehingga tergantung setinggi 2 m. Menurut Ir. Muhamad Ulama, Direktur Pengairan Perum Otorita Jatiluhur yang membawahkan Walahar, lantai itu semestinya tidak menggantung, agar "kedalaman sungai tidak boleh lebih dari 5 m." Tapi yang terjadi sekarang, kedalaman air telah mencapai 7 m. Sehingga kalau dibiarkan sampai beberapa tahun lagi, bendung itu pasti ambruk. Bendung Walahar berfungsi menampung air dari Bendung Curug dan Bendungan Jatiluhur, untuk kemudian mengairi sekitar 80.000 ha sawah di daerah Karawang. Tapi sebelum terjun ke sawah-sawah, airnya juga dimaksudkan sebagai pengatur aliran sungai yang dilaluinya, sehingga bila kelebihan air, dapat dibuang ke Sungai Citarum. Sebelum ada Bendungan Jatiluhur, tak kurang dari 1,25 juta m3 lumpur dihanyutkan ke Citarum tiap tahun dari arah hulu. Begitu bendungan besar ini selesai pada 1967, dropping pasir kontan terhenti. Waktu itu masyarakat sekitar sungai itu yang selama ini banyak hidup sebagai penggali pasir, diperingatkan tentang adanya penyusutan pasir di Citarum. Tapi justru pada tahun yang sama, laju pembangunan meningkat, sehingga penggalian pasir semakin galak. Antara 1967-1980 diperhitungkan pasir yang dikeruk dari Citarum berjumlah 14 juta meter kubik. "Padahal sejak 1967 tidak ada pemasukan pasir dari hulu," ujar Ir. Ulama. Akibatnya pun mulai terasa pada tahun-tahun belakangan ini. Tanggul yang baru 3 bulan dibuat sudah rontok karena penggalian pasir yang tidak bertanggungjawab. Beberapa jembatan di atas Citarum terancam, dan yang keadaannya sekarang paling parah adalah Walahar. Bendung ini sejak dibangun tahun 1925, sampai sekarang sudah mengalami perbaikan beberapa kali. Pada 1979 perbaikan dilanjutkan dan menurut rencana baru akan selesai April 1982. Biaya rehabilitasi seluruhnya menelan Rp 4 milyar. Yang juga dikhawatirkan Ir. Ulama adalah kemungkinan pengerukan pasir akan berjalan terus, meskipun Walahar selesai diperbaiki. "Ini berarti perbaikan, itu tak ada gunanya," ungkapnya pula. Dalam rangka berjaga-jaga pihak Otorita Jatiluhur telah mengadakan pertemuan dengan Pemda Karawang, Bekasi dan pelbagai pihak untuk mengamanakan Citarum, sekaligus juga menyalurkan kegiatan pengerukan ke tempat lain. Tapi ke mana? Menurut Ir. Ulama, Citarum yang mengalir sejak ribuan tahun lalu, bukan saja setia mengangkut pasir, tapi juga senang berpindah-pindah. Aliran air yang berpindah ini lama kelamaan kering, menjelma jadi daratan atau rawa-rawa. Oleh Ulama, daratan bekas sungai ini disebut kali mati dan jumlahnya, berdasarkan foto udara, tidak kurang dari 100 buah dengan luas sekitar 500 hektar. Menghambat Pembangunan Ke tempat tempat inilah nanti pengerukan pasir akan disalurkan. Deposit pasirnya ditaksir 300 juta meter kubik. Menurut Ulama jika pembangunan tiap tahun sanggup menelan 2 juta meter kubik pasir setahun, maka deposit itu baru habis 150 tahun lagi. Tapi Ulama cepat-cepat memperingatkan. Jika sebuah kali mati habis terkuras pasirnya, "sebaiknya jangan ditelantarkan begitu saja." Ia menganjurkan agar bekas galian, dimanfaatkan untuk kolam ikan atau dijadikan danau buatan untuk obyek pariwisata. Tapi siapa yang akan menggarap 100 buah kali mati itu? Pemda Karawang, kata Ulama, sudah memberi lampu hijau dan usaha itu bisa dimulai tahun depan. Hanya sebegitu jauh caranya belum jelas, apakah diserahkan pihak swasta atau dikerjakan sendiri oleh perusahaan daerah. Menjelang kali mati digarap, pengerukan pasir secara liar di Citarum masih terus berlangsung. Para penggarap liar itu beroperasi dengan perahu dan sebilah bambu panjang dengan alat pengeruk pada ujungnya. Bahayanya, mereka justru mengincar timbunan pasir di daerah-daerah terlarang yang jumlahnya 23 buah. Daerah larangan adalah tempat-tempat pengambilan pasir yang dapat mengancam bangunan sekitarnya, seperti Bendung Walahar. Pemda Karawang sebaliknya tidak mungkin melarang penggalian itu sama sekali. Sebab pasir telah menjadi sumber hidup bagi 9000 warga Karawang -- selain juga "menghambat pembangunan kota Jakarta," seperti kata Sekwilda Karawang, Harun Sastrawiria, sambil tertawa. Pasir Citarum yang dianggap bermutu baik itu memang hampir semuanya diangkut ke Jakarta. Kalau di Karawang harganya Rp 3.000 di Jakarta meloncat jadi Rp 20.000 per truk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus