BENDUNG Walahar, 12 km sebelah timur Karawang terancam ambruk.
Di beberapa tempat lantainya sudah tidak lagi berpijak ke tanah
sehingga tergantung setinggi 2 m.
Menurut Ir. Muhamad Ulama, Direktur Pengairan Perum Otorita
Jatiluhur yang membawahkan Walahar, lantai itu semestinya tidak
menggantung, agar "kedalaman sungai tidak boleh lebih dari 5 m."
Tapi yang terjadi sekarang, kedalaman air telah mencapai 7 m.
Sehingga kalau dibiarkan sampai beberapa tahun lagi, bendung itu
pasti ambruk.
Bendung Walahar berfungsi menampung air dari Bendung Curug dan
Bendungan Jatiluhur, untuk kemudian mengairi sekitar 80.000 ha
sawah di daerah Karawang. Tapi sebelum terjun ke sawah-sawah,
airnya juga dimaksudkan sebagai pengatur aliran sungai yang
dilaluinya, sehingga bila kelebihan air, dapat dibuang ke Sungai
Citarum.
Sebelum ada Bendungan Jatiluhur, tak kurang dari 1,25 juta m3
lumpur dihanyutkan ke Citarum tiap tahun dari arah hulu. Begitu
bendungan besar ini selesai pada 1967, dropping pasir kontan
terhenti. Waktu itu masyarakat sekitar sungai itu yang selama
ini banyak hidup sebagai penggali pasir, diperingatkan tentang
adanya penyusutan pasir di Citarum. Tapi justru pada tahun yang
sama, laju pembangunan meningkat, sehingga penggalian pasir
semakin galak.
Antara 1967-1980 diperhitungkan pasir yang dikeruk dari Citarum
berjumlah 14 juta meter kubik. "Padahal sejak 1967 tidak ada
pemasukan pasir dari hulu," ujar Ir. Ulama. Akibatnya pun mulai
terasa pada tahun-tahun belakangan ini.
Tanggul yang baru 3 bulan dibuat sudah rontok karena penggalian
pasir yang tidak bertanggungjawab. Beberapa jembatan di atas
Citarum terancam, dan yang keadaannya sekarang paling parah
adalah Walahar.
Bendung ini sejak dibangun tahun 1925, sampai sekarang sudah
mengalami perbaikan beberapa kali. Pada 1979 perbaikan
dilanjutkan dan menurut rencana baru akan selesai April 1982.
Biaya rehabilitasi seluruhnya menelan Rp 4 milyar.
Yang juga dikhawatirkan Ir. Ulama adalah kemungkinan pengerukan
pasir akan berjalan terus, meskipun Walahar selesai diperbaiki.
"Ini berarti perbaikan, itu tak ada gunanya," ungkapnya pula.
Dalam rangka berjaga-jaga pihak Otorita Jatiluhur telah
mengadakan pertemuan dengan Pemda Karawang, Bekasi dan pelbagai
pihak untuk mengamanakan Citarum, sekaligus juga menyalurkan
kegiatan pengerukan ke tempat lain.
Tapi ke mana? Menurut Ir. Ulama, Citarum yang mengalir sejak
ribuan tahun lalu, bukan saja setia mengangkut pasir, tapi juga
senang berpindah-pindah. Aliran air yang berpindah ini lama
kelamaan kering, menjelma jadi daratan atau rawa-rawa. Oleh
Ulama, daratan bekas sungai ini disebut kali mati dan jumlahnya,
berdasarkan foto udara, tidak kurang dari 100 buah dengan luas
sekitar 500 hektar.
Menghambat Pembangunan
Ke tempat tempat inilah nanti pengerukan pasir akan disalurkan.
Deposit pasirnya ditaksir 300 juta meter kubik. Menurut Ulama
jika pembangunan tiap tahun sanggup menelan 2 juta meter kubik
pasir setahun, maka deposit itu baru habis 150 tahun lagi.
Tapi Ulama cepat-cepat memperingatkan. Jika sebuah kali mati
habis terkuras pasirnya, "sebaiknya jangan ditelantarkan begitu
saja." Ia menganjurkan agar bekas galian, dimanfaatkan untuk
kolam ikan atau dijadikan danau buatan untuk obyek pariwisata.
Tapi siapa yang akan menggarap 100 buah kali mati itu? Pemda
Karawang, kata Ulama, sudah memberi lampu hijau dan usaha itu
bisa dimulai tahun depan. Hanya sebegitu jauh caranya belum
jelas, apakah diserahkan pihak swasta atau dikerjakan sendiri
oleh perusahaan daerah.
Menjelang kali mati digarap, pengerukan pasir secara liar di
Citarum masih terus berlangsung. Para penggarap liar itu
beroperasi dengan perahu dan sebilah bambu panjang dengan alat
pengeruk pada ujungnya. Bahayanya, mereka justru mengincar
timbunan pasir di daerah-daerah terlarang yang jumlahnya 23
buah. Daerah larangan adalah tempat-tempat pengambilan pasir
yang dapat mengancam bangunan sekitarnya, seperti Bendung
Walahar.
Pemda Karawang sebaliknya tidak mungkin melarang penggalian itu
sama sekali. Sebab pasir telah menjadi sumber hidup bagi 9000
warga Karawang -- selain juga "menghambat pembangunan kota
Jakarta," seperti kata Sekwilda Karawang, Harun Sastrawiria,
sambil tertawa.
Pasir Citarum yang dianggap bermutu baik itu memang hampir
semuanya diangkut ke Jakarta. Kalau di Karawang harganya Rp
3.000 di Jakarta meloncat jadi Rp 20.000 per truk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini