HARAPAN segenap petani Rancamaya, Bogor, mulai menemui titik terang. Bersamaan dengan turunnya hujan, Selasa pekan lalu, para petani kedatangan delapan "dewa penolong" dari Jakarta. Mereka adalah anggota Komisi Hak Asasi Manusia. Maksud kedatangan mereka adalah mau berdialog langsung dengan para petani serta mencari fakta guna mengakhiri sengketa kepemilikan tanah antara penduduk -- yang sudah puluhan tahun menggarap tanah seluas 257 hektare itu -- dan PT Suryamas Duta Makmur (SDM), yang mau membangun perumahan mewah. Kedatangan komisi itu dipimpin oleh Bambang Soeharto. Kunjungan ini persis enam hari setelah 18 petani Rancamaya melapor ke markas komisi itu di Jalan Veteran 11, Jakarta -- Rabu dua pekan silam. Bersama tujuh anggota lainnya, yakni Munawir Sjadzali, Albert Hasibuan, Charles Himawan, Djoko Soegianto, Roekmini, B.N. Marbun, dan Clementino Dos Reis Amaral, Bambang selama empat jam diterima oleh Wakil Bupati Eddy Gunardi dan segenap pejabat lainnya. Melalui slide berkas jual beli yang ditayangkan pemerintah daerah, Eddy mau membuktikan bahwa kepemilikan tanah oleh PT SDM seluas 257 hektare itu sah. Tercatat pula di sana bahwa selaku Presiden Direktur PT SDM adalah bekas Kepala Bakin Yoga Soegama. Namun, mata Bambang yang juga Ketua Himpunan Pekerja Sosial itu cukup jeli. Ia melihat nama Tubagus Cecep Adiredja, yang pada 1985 menghibahkan tanahnya kepada 57 petani. Bambang curiga, munculnya nama Cecep itu dilakukan oleh Hutbi, abang kandung Cecep, yang pada saat jual beli dilakukan, tahun 1990, adalah Lurah Rancamaya. "Bisa jadi penjualan tanah itu dilakukan oleh Hutbi dengan memalsu cap jempol Cecep. Akan kami teliti adanya korelasi tak jelas ini ke Badan Pertanahan Nasional," kata Bambang. Seusai makan siang, rombongan komisi itu bertolak menuju lokasi. Di bawah guyuran hujan, kedatangan mereka disambut antusias oleh penduduk Rancamaya. Sayang, hujan tak bisa diajak kompromi. Baru sejenak berkeliling, mereka pun terpaksa berdialog di rumah penduduk. "Terus terang, kami berada di pihak rakyat," katanya. Sebab, menurut Bambang, baik Pemda Kabupaten Bogor maupun PT SDM telah mengabaikan hak rakyat -- setidaknya informasi tentang pengalihan tanah itu kepada PT SDM. Sebelumnya memang sudah ada pengaduan lebih dari 500 kepala keluarga Rancamaya ke DPRD Jawa Barat, DPR, bahkan Wakil Presiden. Tapi mereka merasa belum puas. Warga Rancamaya pun tak jarang mengadakan aksi di lapangan, misalnya menghalang-halangi buldoser yang mau meratakan tanah atau mengerjakan hal lainnya. Mereka juga meminta bantuan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk penyelesaian sengketa tanah itu. Kini, misalnya, salah seorang tokoh LSM, Dedi Ekabrata, tengah diadili di Bogor dengan tuduhan menghasut rakyat Rancamaya agar unjuk rasa menuntut kenaikan ganti rugi. Ini pula yang sering dipakai alasan aparat Pemerintah untuk menuduh bahwa aksi penolakan petani itu ada yang menunggangi. Namun, Bambang tak melihatnya begitu. "Yang penting, hak rakyat tak dilanggar," katanya. Walau ada ganjalan dari penduduk, PT SDM tampaknya akan jalan terus. Bahkan, rumah mewah dengan harga ratusan juta itu, konon, termasuk laku keras. Setelah temuan komisi itu dibahas di tingkat pleno, Bambang akan maju selangkah lagi. Ia dan timnya akan kembali ke Bogor, melakukan koordinasi dengan berbagai instansi untuk mengakhiri sengketa itu. Bila hal itu mentok, Bambang berjanji akan menyampaikan kasus ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). "Biar pengadilan yang menentukan siapa yang paling berhak atas tanah itu," katanya. Satu hal yang diharapkan Bambang saat ini: developer segera membayar ganti rugi yang layak. Hingga kini masalah itu tak pernah sampai ke titik temu. PT SDM, yang bermaksud membangun perumahan mewah dan lapangan golf itu, hanya mau membayar Rp 60 per meter, sedangkan petani menuntutnya sesuai dengan harga pasar -- hampir 100 kali lipat.Andi Reza Rohadian (Jakarta) dan Taufik Abriansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini