SEORANG pria pegawai negeri melayangkan surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dia mengaku sedang bersitegang dengan atasannya. "Saya diancam mau diberhentikan," tulisnya. Padahal, ia merasa tak melakukan kesalahan apa pun kecuali ketahuan ingin mengawini pacar gelapnya. Pria ini menganggap atasannya mengusik urusan pribadi. "Ini pelanggaran atas hak asasi saya," tulisnya dalam surat pengaduan itu. Surat ini datang ke Sekretariat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jalan Veteran, Jakarta, pekan silam. Dan komisi ini tak sekali-dua menerima kasus sepele semacam itu. Ada yang mengeluh karena uang pensiunnya tak kunjung datang, ada pula artis yang merasa dicekal di TVRI. Bambang Soeharto dari komisi itu memastikan akan melayani keluhan sesepele apa pun. "Paling tidak, kami akan memberikan advis," katanya. Sejak komisi ini bekerja dua bulan silam, sudah ada 50 pengaduan yang masuk. "Yang terbanyak soal penggusuran," ujar Bambang. Boleh jadi komisi ini mulai membangkitkan harapan bagi orang-orang yang rindu pembelaan. Dan seperti mau membuktikan tak sekadar nama, komisi ini mulai rajin turun ke lapangan mencari fakta dan menangani perkara. Kasus penggusuran tanah Rancamaya, Bogor, mendapat giliran Selasa pekan lalu. Tim yang dipimpin Bambang Soeharto itu menemukan keanehan soal status tanah, setelah berbicara empat jam dengan para pejabat Kabupaten Bogor. Bambang bertekad terus mengusutnya. Beberapa hari sebelumnya, dua orang anggota komisi ini terbang ke Medan, menemui sekitar 80 orang keluarga transmigran lokal di Sei Lepan, Langkat, yang telah dua pekan mengungsi ke pelataran Gedung DPRD Sumatera Utara (lihat Dewa Penolong Rancamaya dan Mereka Tak Mau Kembali). Gebrakan pertama komisi ini dilakukan awal Januari lalu dengan mengirim tim menemui 21 mahasiswa yang ditahan di Polres Jakarta Pusat. Para mahasiswa tersebut ditangkap karena dianggap telah menghina kepala negara ketika menggelar demo di Gedung DPR Desember lalu. Petugas keamanan sempat merekam adegan unjuk rasa itu dengan kamera video. "Kami terus mengikuti perkembangannya," ujar Marzuki Darusman, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Marzuki menyilakan kasus itu dibawa ke pengadilan. Namun, ia akan mempersoalkan jika batas penahanannya lebih dari 60 hari, batas yang ditetapkan Hukum Acara Pidana. Ia tidak dapat menerima perpanjangan masa penahanan. "Kan sudah ada videonya, keterangan saksi, apa lagi yang dicari-cari?" ujar Marzuki, bekas anggota Fraksi Karya Pembangunan di DPR, yang dikenal "vokal". Tetapi Marzuki tidak dapat mengambil tindakan sendiri. Keputusan akhir diambil lewat sidang subkomisi, lalu digodok di rapat pleno. Forum pleno itulah yang menentukan rekomendasi komisi ini akan dibawa ke instansi mana. Kalau anjurannya dianggap sepi, secara resmi komisi tak bisa apa-apa. "Tapi ingat, kekuatan komisi ini terletak pada aksesnya ke publik," ujar Marzuki. Apa pun yang dilakukan komisi itu, Direktur Komunikasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Hendardi, meragukan kemampuan lembaga baru ini. Komisi itu dianggapnya tak bisa independen. Landasan hukumnya pun hanya keppres, tak seperti di Filipina, misalnya, yang lahir dari rahim undang-undang. Belum lagi adanya pejabat atau bekas pejabat negara dalam komisi tersebut. Sekjennya, misalnya, adalah Dirjen Pemasyarakatan Burhanuddin Lopa. "Itu bisa memimbulkan konflik kepentingan," katanya. Ia mengatakan kehadiran Lopa akan menyulitkan komisi itu mengusut perlakuan atas seseorang yang dibui. Atau, misalnya, ada pelanggaran hak asasi anggota masyarakat oleh aparat si pejabat di komisi itu. Tetapi Marzuki Darusman tidak berkecil hati. Kepentingan pribadi akan tersisih dalam rapat-rapat berjenjang yang menampung banyak suara dalam komisi itu. "Komisi ini bisa menjadi kekuatan moral di negeri ini," katanya. Putut Trihusodo dan Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini