Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya pada 6 Oktober 1998, Majalah Tempo kembali terbit setelah dibredel pada zaman Orde Baru selama 4 tahun. Pembredelan itu dilakukan pada 21 Juni 1994 karena dianggap terlalu tajam mengkritik Habibie dan Soeharto yang membeli kapal bekas dari Jerman Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pascalengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, karyawan yang dulunya bekerja di Majalah Tempo harus terpisah karena pembredelan. Mereka pun melakukan musyawarah ulang untuk memutuskan apakah majalah Tempo perlu hadir kembali atau tidak. Setelah itu, majalah Tempo pun terbit kembali pada 6 Oktober 1998.
Ada cerita menarik sebelum majalah Tempo akhirnya terbit kembali. Salah satu pendiri majalah Tempo, Goenawan Mohamad, mengatakan keluarga Prabowo Subianto pernah ingin membeli Tempo. Keinginan itu disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, pada 26 Juni 1994, atau berselang lima hari setelah Tempo diberedel rezim Orde Baru pada 21 Juni 1994. "Tempo bisa hidup lagi kalau 'keluarga' bisa membeli Tempo," ujar Goenawan menirukan tawaran Hashim ketika itu, seperti diberitakan Tempo.co 21 Juni 2014.
Goenawan menuturkan, Hashim menyampaikan permintaan itu kepada dua orang di jajaran direksi Tempo, yakni Eric Samola dan Harjoko Trisnadi. Pertemuan itu terjadi di Hotel Hilton, yang kini menjadi Hotel Sultan, Jakarta. Istilah 'keluarga' yang dipakai Hashim diduga adalah keluarga Soeharto atau keluarga Prabowo. "Waktu itu keluarga Soeharto dan Prabowo sama," tutur Goenawan.
Selain ingin membeli Tempo, Hashim juga mengajukan syarat lain agar Tempo bisa terbit lagi. Pemimpin redaksi Tempo, tutur Goenawan, harus dipilih oleh keluarga Prabowo. "Tawaran itu disampaikan ke saya dan teman-teman yang lain”.
Goenawan menuturkan setelah mendapat tawaran tersebut, direksi dan awak Tempo lainnya menggelar rapat di rumahnya di Jakarta Timur. Hasil rapat tersebut memutuskan menolak tawaran Hashim. "Kami tak bisa berkompromi. Kemudian, saya bersalaman dengan teman-teman. Alamat Tempo akan mati selama-lamanya," katanya.
Berdasarkan Cerita di Balik Dapur TEMPO (2011), penolakan itu disampaikan lewat tengah malam, dengan cara diplomatis. Selain itu, ada pembangkangan sopan yang Tempo lakukan. Salah satunya adalah menolak pemberhentian Fikri sebagai pemimpi redaksi, kala itu. Fikri rupanya dianggap sebagai bagian dari “anti-Seoeharto”.
Pemberedelan pada 21 Juni 1994 itu merupakan pemberedelan kedua setelah Majalah Tempo diberedel oleh rezim yang sama pada 1982 karena dianggap terlalu keras mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar, pada saat Pemilu 1982.
M. RIZQI AKBAR
Baca juga: