Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Centang Perenang Data Penerima Bantuan

Urusan data menjadi pangkal kekisruhan distribusi bantuan sosial bagi keluarga miskin. Sudah berulang kali bansos salah sasaran, bahkan dikorupsi.

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memeriksa data warga penerima paket bantuan sosial (bansos) di Pasar Minggu, Jakarta, 28 April 2020. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah daerah ditengarai malas melakukan pendataan.

  • Pola penyaluran bansos terindikasi penuh kecurangan karena tidak semua penerima dapat mengaksesnya.

  • Fitra pernah merekomendasikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial ditinjau ulang.

JAKARTA – Penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi keluarga miskin terus-menerus menuai polemik hingga kini. Kondisi tersebut terjadi karena data penerima bantuan sosial belum sepenuhnya akurat, sehingga membuat banyak keluarga mampu, bahkan aparatur sipil negara (ASN), justru tercatat sebagai penerima bansos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Persoalan data ini ada problem karena yang buat pemerintah daerah, kemudian pemerintah pusat hanya menampung," kata Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Trubus mengatakan semestinya verifikasi data penerima bansos dilakukan secara akurat. Sebab, banyak pemerintah daerah yang ditengarai malas melakukan pendataan. Bahkan terkadang kepala daerah memprioritaskan masyarakat yang memilihnya dalam pemilihan kepala daerah yang mendapat bantuan sosial. "Karena kepala daerah dipilih oleh rakyat, jadi mereka prioritaskan masyarakat yang memilihnya," kata dia.

Di samping urusan keakuratan data, Trubus juga menyoal pola penyaluran bantuan sosial yang terindikasi penuh kecurangan. Misalnya penyaluran bantuan sosial tunai (BST) hanya bisa melalui PT Pos Indonesia dan distribusi Program Keluarga Harapan (PKH) lewat Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara). Padahal banyak warga di daerah terpencil yang tidak memiliki rekening bank karena akses yang jauh. Kondisi ini rentan dimanfaatkan pihak ketiga dengan cara membuatkan rekening bank bagi penerima bantuan sosial.

"Entah dari oknum bank atau lembaga swadaya masyarakat. Dan itu yang jadi sumber masalah," ujarnya.

Trubus juga menilai kolaborasi pemerintah daerah dalam membenahi data dan pola penyaluran bantuan sosial masih rendah. Di sisi lain, pemerintah pusat seharusnya lebih memperketat pengawasan pendataan dan penyaluran bansos. Pemerintah pusat juga perlu membentuk tim verifikasi yang melibatkan kolaborasi pentahelix atau multipihak, termasuk tokoh masyarakat. "Jadi semua terlibat dalam verifikasi data. Lalu pemerintah harus menindaklanjuti data itu," kata Trubus.

Dari berbagai fakta itu, Trubus menduga kuat bahwa temuan puluhan ribu aparatur sipil negara menjadi penerima bantuan sosial saat ini terjadi karena unsur kesengajaan, bukan karena kelalaian pendataan.

Petugas Kantor Pos Indonesia mendistribusikan Bantuan Sosial Tunai (BST) di Pecinan Glodok, Jakarta, 25 Juli 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Urusan data dan distribusi bantuan sosial ini kembali berpolemik setelah Kementerian Sosial menemukan 31.624 aparatur sipil negara ikut menerima bansos, baik bantuan sosial tunai (BST), bantuan pangan non-tunai (BPNT), maupun Program Keluarga Harapan (PKH). Padahal pegawai negeri termasuk kelompok masyarakat yang tak layak menerima bantuan sosial karena mereka bukan keluarga miskin serta sudah memperoleh gaji tetap dari negara.

Sebagian besar aparatur sipil negara penerima bansos itu masih berstatus pegawai negeri aktif hingga saat ini. Mereka bekerja sebagai tenaga medis, tenaga pendidikan, dosen, serta di sektor lainnya.

Agustus lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini juga menemukan jutaan duplikasi penerima bantuan sosial dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS ini memuat 40 persen dari total penduduk di suatu wilayah yang mempunyai status kesejahteraan sosial terendah. Angka duplikasi itu mencapai 53 juta, sehingga Kementerian Sosial memangkasnya. Awalnya data penerima bansos dalam DTKS sebelum pemangkasan sebanyak 193 juta.

Bukan hanya data ganda, pemerintah juga menemukan banyak keluarga miskin yang sangat layak menerima bansos tapi tidak terdata. Kasus seperti ini pernah ditemukan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ketika melakukan inspeksi mendadak di Duren Sawit, Jakarta Timur, pada Agustus 2021. Muhadjir menemukan banyak warga di Duren Sawit sangat layak menerima bantuan sosial, tapi belum mendapatkannya. Ada juga warga Duren Sawit pemegang Kartu Kesejahteraan Keluarga (KKS) serta sudah menerima bantuan pangan non-tunai dan Program Keluarga Harapan tapi belum mendapatkan bantuan sosial sejak awal 2021 hingga Agustus lalu.

Kasus salah sasaran penerima bantuan sosial juga terjadi di banyak daerah, di antaranya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Teranyar, bantuan sosial untuk penanganan Covid-19 di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi periode 2020 juga bermasalah. Nilai bantuan sosial bagi masyarakat yang terkena dampak pandemi ini telah dipangkas dan dikorupsi. Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan dua pejabat komitmen di Kementerian Sosial sudah divonis bersalah dalam perkara ini.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gurnadi Ridwan, mengatakan Fitra bersama koalisi reformasi perlindungan sosial pernah merekomendasikan agar data dalam DTKS diisi secara transparan dan partisipatif. Sebab, banyak penerima manfaat dalam DTKS yang harus ditinjau ulang.

Mereka juga menemukan verifikasi data penerima bansos di level daerah sangat lemah. Meski begitu, kata Gurnadi, banyak juga praktik baik yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memverifikasi DTKS. Ia pun mendorong pemerintah pusat melakukan aksi nasional perbaikan data penerima bantuan sosial. “Jika data tersebut selalu salah, artinya 50 persen kinerja Kementerian Sosial atau dinas sosial tidak bagus," kata Gurnadi.

MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus