RAMAI juga 'polemik" antara Bang Ali dengan Yuti, atau Sayuti
Melik. Bapak tua anggota DPI dari Golkar ini merasa dituduh Ali
Sadikin "politik-politikan" karena mengusulkan sekolah "gratis"
Maka ia angkat suara. Dalam UUD 45 pendidikan merupakan hak
rakyat, sehingga seharusnya dijamin pemerintah. "Itu yang
ideal", katanya minggu lalu kepada Kompas. Tapi kenyataannya,
kondisi kini belum memungkinkan Maka perlu adanya prioritas
menurut kemampuan. Dan prioritasnya adalah SD, agar setiap orang
Indonesia dapat membaca dan menulis. Karenanya, kalau bisa, SD
dibiayai pemerintah.
Dua hari setelah Sayuti memberikan reaksi, Ali Sadikin menjawab
lagi katanya, sekolah gratis memang sangat ideal. Namun
pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan janji-janji, bahwa
rakyat akan bisa menikmati sekolah gratis "Janji-janji ini kalau
tidak terpenuhi malah jadi impian", katanya kepada wartawan
Jakarta. "Tidak ada undang-undang yang menyatakan bahwa
warganegara Indonesia sekolah gratis". Walaupun, katanya lagi,
dalam UUD 45 memang disebutkan bahwa setap warganegara berhak
mendapatkan pengajaran. Itulah sebabnya Gubernur Jakarta Raya
mengusulkan agar khusus kepada daerahnya diberi keleluasaan
untuk menentukan iuran iekolah, sehingga pungutan di luar SPP
bisa diatur Maklumlah, katanya. biaya untuk sektor pendidikan di
Jakarta selalu defisit saja. "Bukan untik melegalisir pungutan
liar, tapi untuk mengontrol", katanya lagi.
Masih Ragu
Apakah dengan begitu pungutan liar bisa diberantas? Seorang
pejabat P dan K masih ragu, apakah legalisasi uang sekolah bisa
menjamin tidak adanya pungutan liar. Sebab sebagaimana yang
berlaku di dunia dagang, selama permintaan lebih besar dibanding
penawaran, kemungkinan pungutan liar pada sekolah-sekolah di
Jakarta masih akan ada. Sehingga diragukan apakah defisit yang
berkisar antara 50 itu bisa ditombok oleh uang sekolah yang
disahkan. Sementara BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan
Pendidikan) masih impoten. BP3 ini dibentuk untuk melengkapi
SPP, antara lain bertugas membantu kelancaran pendidikan tanpa
mencampuri teknis pengajaran, serta mengusahakan bantuan
masyarakat baik berupa benda, uang maupun jasa dengan tidak
menambah beban-beban wajib bayar SPP.
Namun tentu saja ada juga beberapa sekolah yang bisa
memanfaatkan kehadiran BP3 Seperti SMP Negeri I misalnya yang
terletak di Cikini. Kebetulan banyak murid yang orang tuanya
pejabat atas. Tahun lalu masih sempat mengadakan pertunjukan
musik di Gedung Balai Sidang Jakarta. Hasilnya: keuntungan
sebesar Rp 5 1/2 juta Dari jumlah itu Rp 3,5 juta digunakan
untuk membangun tambahan gedung, sementara yang Rp 2 juta
didepositokan untuk menambah pendapatan guru setiap bulannya.
Walaupun memang ada larangan untuk memungut dana di luar SPP,
"menggali dan dari masyarakat toh masih diperkenankan", ujar
Mayjen Brotosewoyo, Ketua BP3 SMP Negeri I ini. Karena itu
sudah direncanakan lewat ny. Emil Salim, ny. Sudomo dan
Brotosewoyo sendiri untuk mengadakan lagi semacam malam dana
dengan mode show misalnya untuk tahun 1976 ini.
Kalau bagi BP3 SMP I banyak kemudahan yang diperoleh untuk
mencari dana, maka SMP Negeri XLII Pademangan mengalami nasib
yang sebaliknya. Di daerah miskin di bagian utara Jakarta ini
hampir belum pernah ada kegiatan mencari dana. Kecuali sebelum
berlaku peraturan BP3 yang baru, di mana lembaga sekolah yang
dipimpin N. Basuki (56 tahun) pernah memungut dana dari orang
tua murid sampai sebanyak Rp 36 ribu. Jumlah yang tidak besar
itu pun diperoleh setelah dikumpulkan dengan susah payah.
"Menggali dana dari masyarakat orang tua di sini sudah terlalu
berat", ujar Basuki. Ia pensiunan Kepala Bagian Publikasi Badan
Pusat Statistik Sementara MK Ridwan, Kepala Seko]ah menyebutkan
dana yang diperoleh dari SPP tidk bisa digunakan, misalnya
untuk memperbaiki atap yang bocor, apalagi menambah lokal baru
Lantas dari mana tambahan biaya bisa diperoleh?
Ternyata tidak hanya Basuki, yang di daerah miskin, bahkan Piet
Logica Soedibyo, Kepala Sekolah SMP I di Cikini menyambut
tawaran Ali Sadikin. "Kalau melihat kebutuhannya, memang perlu
juga uang pangkal itu disahkan, dari pada main
sembunyi-sembunyian", ujar Soedibyo. Lain dengan Soedibyo maupun
Basuki, Brotosewoyo bernada kurang setuju dengan legalisasi uang
sekolah. "Hal serupa itu hanya akan membebani orang tua lagi",
ujar Brotosewoyo, "meskipun sudah dilegalisir, tapi toh bisa
dipastikan pungutan liar masih akan ada". Katanya, kalau memang
ada orang tua yang memberi uang sebanyak Rp 10 ribu ataupun Rp
50 ribu kepada guru, dengan pamrih anaknya bisa diterima, harap
hal itu dinilai sebagai sumbangan buat guru. Mereka toh manusia
juga "Tapi akhirnya masalah itu terpulang kepada guru-guru
pribadi". katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini