Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Di bawah yuti dan bang ali

Sayuti melik mengusulkan sekolah gratis. brotosewoyo kurang setuju dengan legalisasi uang sekolah, karena pungutan liar pasti masih ada. sayuti merasa masih dipojokkan ali sadikin.

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMAI juga 'polemik" antara Bang Ali dengan Yuti, atau Sayuti Melik. Bapak tua anggota DPI dari Golkar ini merasa dituduh Ali Sadikin "politik-politikan" karena mengusulkan sekolah "gratis" Maka ia angkat suara. Dalam UUD 45 pendidikan merupakan hak rakyat, sehingga seharusnya dijamin pemerintah. "Itu yang ideal", katanya minggu lalu kepada Kompas. Tapi kenyataannya, kondisi kini belum memungkinkan Maka perlu adanya prioritas menurut kemampuan. Dan prioritasnya adalah SD, agar setiap orang Indonesia dapat membaca dan menulis. Karenanya, kalau bisa, SD dibiayai pemerintah. Dua hari setelah Sayuti memberikan reaksi, Ali Sadikin menjawab lagi katanya, sekolah gratis memang sangat ideal. Namun pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan janji-janji, bahwa rakyat akan bisa menikmati sekolah gratis "Janji-janji ini kalau tidak terpenuhi malah jadi impian", katanya kepada wartawan Jakarta. "Tidak ada undang-undang yang menyatakan bahwa warganegara Indonesia sekolah gratis". Walaupun, katanya lagi, dalam UUD 45 memang disebutkan bahwa setap warganegara berhak mendapatkan pengajaran. Itulah sebabnya Gubernur Jakarta Raya mengusulkan agar khusus kepada daerahnya diberi keleluasaan untuk menentukan iuran iekolah, sehingga pungutan di luar SPP bisa diatur Maklumlah, katanya. biaya untuk sektor pendidikan di Jakarta selalu defisit saja. "Bukan untik melegalisir pungutan liar, tapi untuk mengontrol", katanya lagi. Masih Ragu Apakah dengan begitu pungutan liar bisa diberantas? Seorang pejabat P dan K masih ragu, apakah legalisasi uang sekolah bisa menjamin tidak adanya pungutan liar. Sebab sebagaimana yang berlaku di dunia dagang, selama permintaan lebih besar dibanding penawaran, kemungkinan pungutan liar pada sekolah-sekolah di Jakarta masih akan ada. Sehingga diragukan apakah defisit yang berkisar antara 50 itu bisa ditombok oleh uang sekolah yang disahkan. Sementara BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) masih impoten. BP3 ini dibentuk untuk melengkapi SPP, antara lain bertugas membantu kelancaran pendidikan tanpa mencampuri teknis pengajaran, serta mengusahakan bantuan masyarakat baik berupa benda, uang maupun jasa dengan tidak menambah beban-beban wajib bayar SPP. Namun tentu saja ada juga beberapa sekolah yang bisa memanfaatkan kehadiran BP3 Seperti SMP Negeri I misalnya yang terletak di Cikini. Kebetulan banyak murid yang orang tuanya pejabat atas. Tahun lalu masih sempat mengadakan pertunjukan musik di Gedung Balai Sidang Jakarta. Hasilnya: keuntungan sebesar Rp 5 1/2 juta Dari jumlah itu Rp 3,5 juta digunakan untuk membangun tambahan gedung, sementara yang Rp 2 juta didepositokan untuk menambah pendapatan guru setiap bulannya. Walaupun memang ada larangan untuk memungut dana di luar SPP, "menggali dan dari masyarakat toh masih diperkenankan", ujar Mayjen Brotosewoyo, Ketua BP3 SMP Negeri I ini. Karena itu sudah direncanakan lewat ny. Emil Salim, ny. Sudomo dan Brotosewoyo sendiri untuk mengadakan lagi semacam malam dana dengan mode show misalnya untuk tahun 1976 ini. Kalau bagi BP3 SMP I banyak kemudahan yang diperoleh untuk mencari dana, maka SMP Negeri XLII Pademangan mengalami nasib yang sebaliknya. Di daerah miskin di bagian utara Jakarta ini hampir belum pernah ada kegiatan mencari dana. Kecuali sebelum berlaku peraturan BP3 yang baru, di mana lembaga sekolah yang dipimpin N. Basuki (56 tahun) pernah memungut dana dari orang tua murid sampai sebanyak Rp 36 ribu. Jumlah yang tidak besar itu pun diperoleh setelah dikumpulkan dengan susah payah. "Menggali dana dari masyarakat orang tua di sini sudah terlalu berat", ujar Basuki. Ia pensiunan Kepala Bagian Publikasi Badan Pusat Statistik Sementara MK Ridwan, Kepala Seko]ah menyebutkan dana yang diperoleh dari SPP tidk bisa digunakan, misalnya untuk memperbaiki atap yang bocor, apalagi menambah lokal baru Lantas dari mana tambahan biaya bisa diperoleh? Ternyata tidak hanya Basuki, yang di daerah miskin, bahkan Piet Logica Soedibyo, Kepala Sekolah SMP I di Cikini menyambut tawaran Ali Sadikin. "Kalau melihat kebutuhannya, memang perlu juga uang pangkal itu disahkan, dari pada main sembunyi-sembunyian", ujar Soedibyo. Lain dengan Soedibyo maupun Basuki, Brotosewoyo bernada kurang setuju dengan legalisasi uang sekolah. "Hal serupa itu hanya akan membebani orang tua lagi", ujar Brotosewoyo, "meskipun sudah dilegalisir, tapi toh bisa dipastikan pungutan liar masih akan ada". Katanya, kalau memang ada orang tua yang memberi uang sebanyak Rp 10 ribu ataupun Rp 50 ribu kepada guru, dengan pamrih anaknya bisa diterima, harap hal itu dinilai sebagai sumbangan buat guru. Mereka toh manusia juga "Tapi akhirnya masalah itu terpulang kepada guru-guru pribadi". katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus