KENAPA banyak murid lebih suka memilih sekolah di Jakarta?
"Pertama mungkin karena fasilitas sekolah di daerah lebih
jelek, kedua mutu pendidikan di Jakarta termasuk tinggi", ucap
Ali Sadikin di layar televisi akhir Januari yang lalu. Sehingga
tak mengherankan bila tahun pelajaran ini, Jakarta diserbu oleh
tak kurang dari 6 ribu murid asal daerah. Gejala serupa itu yang
selalu hadir setiap tahun bukan tidak merepotkannya untuk
menyediakan bangku sekolah dengan kebutuhan semakin lama semakin
membengkak. Belum lagi kebutuhan bangku sekolah bagi warganya
sendiri yang mesti diutamakan. Memang ketika pertama kali masuk
Balai Kota, April 1966 yang lalu, tercatat laju kenaikan
penduduk Jakarta hanya 4 prosen Dari seluruh penduduk waktu itu,
15 prosen merupakan anak-anak usia sekolah. Sementara yang tidak
tertampung tercatat setengah juta anak. "Tapi angka-angka itu
berdasarkan sensus tahun 1971 tidak betul", ujar Gubernur. Laju
kenaikan penduduk ternyata 5,8 prosen sementara anak usia
sekolah tercatat 22 prosen. "Jadi yang tidak tertampung, lebih
besar lagi" tambah Gubernur lagi. Itulah sebabnya, berdasarkan
skala prioritas, masalah pendidikan berada pada kedudukan nomor
dua setelah perbaikan kampung.
Nomor dua atau nomor satu tentu saja belum menjamin bahwa
masalah pendidikan akan sepi dari kerepotan-kerepotan. "Seperti
saya menjanjikan banjir tetap ada, begitu juga pendidikan tiap
tahun ribut", ujar Ali, "hanya soalnya bagaimana memperkecil
keributan itu". Antara lain disebutkan juga usaha-usaha untuk
sebanyak mungkin membangun gedung sekolah dan melengkapi
fasilitas belajar. Katanya, ketika menduduki jabatan gubernur
untuk pertama kali, di Jakarta terdapat 1100 gedung sekolah
berbagai tingkat (SD, SMP, SLA). "Sekarang dalam waktu sembilan
tahun kita berhasil mendekati angka tersebut", ucap Ali bangga.
Seluruh biaya yang sudah keluar untuk keperluan itu tercatat
sebanyak Rp 17,6 milyard. Sementara dari jumlah itu hanya Rp 3
milyard saja yang jatuh dari pemerintah pusat.
Guru Anjing
Namun Ali Sadikin yang ketika pemunculannya di layar televisi
malam itu lebih menarik dari pada lawak Bagio cs yang muncul
pada acara berikutnya, menyebutkan bahwa masalah pendidikan di
Jakarta tidak cukup dengan hanya menyediakan fasilitas-fasilitas
tersebut Masalah pendidikan bukan itu saja, "tapi juga misalnya
gaji guru yang layak dan biaya untuk pemeliharaan ini itu", ujar
Ali Sadikin. Katanya, ketika masih sekolah dulu, martabat guru
bukan main tingginya. Pakaian bersih, datang dengan sepeda
Raleigh, rumah pun bonafidlah. Tapi sekarang, guru banyak yang
menyewa rumah di pelosok-pelosok kampung becek, bahkan banyak
yang sering kebanjiran Lagi pula tidak seperti pegawai negeri
yang lain, guru tidak bisa ngompreng bahkan tak sempat baca
koran. "Sedangkan pegawai negeri lain datang ke kantor baca
koran dan main gaple", katanya. Atas dasar itu Ali Sadikin
kemudian menyimpulkan: bahwa seorang guru dengan tiga orang
anak, pantas-pantasnya mendapatkan gaji sebesar Rp 120 ribu
sebulan. Guru anjing saja satu jam dibayar Rp 40 ribu. Empat
anjing berarti Rp 160 ribu. "Kalau kita banyak anjing,
barangkali guru-guru kita pada lari jadi guru anjing", ujar Ali
Sadikin, "sementara itu seorang guru kita punya murid sampai 60
orang".
Kerepotan dunia pendidikan selain soal gaji guru itu, menurut
Ali Sadikin juga menyangkut biaya operasionil pendidikan di
Jakarta yang selalu defisit, Disebutkan biaya per anak SD
sebesar Rp 38.600, SLP Rp 79.600 dan SLA Rp 80.900 setiap
tahun. Sementara untuk menutup biaya seorang murid SD misalnya,
dari pemerintah hanya masuk sebanyak Rp 13.300 dan dari SPP
hanya Rp 3.800. Berarti biaya seorang murid SD mengalami defisit
sebanyak Rp 21600 (56,5 prosen). Berdasarkan biaya itu menurut
Ali Sadikin tidak mungkin sekolah dilaksanakan secara gratis.
"Malah ada anggota DPR yang mengusulkan supaya SD gratis. Mimpi
orang ini", ujar Gubernur. "Jangan sok-sokan, jangan
politik-politikan". Dongkol pada orang yang mengusulkan sekolah
gratis, Ali Sadikin kemudian malah menawarkan kepada masyarakat
sebuah usul uang sekolah "Memang ada larangan. Larang...larang,
tapi soalnya sulit sih", katanya. Selama ini yang kejadian di
Jakarta, walaupun menurut peraturan tidak boleh memungut uang di
luar SPP, hampir selalu terjudi pungutan-pungutan di luar
ketentuan yang ada Pungutan itu menurut Gubernur bahkan ada yang
mencapai Rp 200 ribu untuk sebuah SMA di Jakarta Dan jangan
harap pemerintah akan mendapatkan laporan "pemerasan" itu dari
pihak orang tua murid. "Sebab bisa-bisa si murid disentimeni di
sekolah", katanya. Sehingga atas dasar itulah Ali Sadikin
mengajukan tawaran kepada masyarakat Jakarta "Dari pada dilarang
tidak jalan, dari pada Kepala Sekolah membabi buta menentukan
pungutan, saya cuma mengusulkan, sebab memang resminya sih
dilarang", ujar Ali Sadikin, "saya tawarkan kepada masyarakat,
apa kita mau main bohong-bohongan atau mau jujur. Mau diatur
atau mau main liar-liaran begini" Tapi apakah dengan melegalisir
uang sekolah, lantas pungutan liar lain bakal mati?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini