Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Uang sekolah atau main bohong

Sekolah di jakarta selalu diserbu murid daerah. perlu dibangun gedung sekolah, perbaikan gaji guru, biaya operasionil. ada tawaran biaya dari ali sadikin. (pdk)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA banyak murid lebih suka memilih sekolah di Jakarta? "Pertama mungkin karena fasilitas sekolah di daerah lebih jelek, kedua mutu pendidikan di Jakarta termasuk tinggi", ucap Ali Sadikin di layar televisi akhir Januari yang lalu. Sehingga tak mengherankan bila tahun pelajaran ini, Jakarta diserbu oleh tak kurang dari 6 ribu murid asal daerah. Gejala serupa itu yang selalu hadir setiap tahun bukan tidak merepotkannya untuk menyediakan bangku sekolah dengan kebutuhan semakin lama semakin membengkak. Belum lagi kebutuhan bangku sekolah bagi warganya sendiri yang mesti diutamakan. Memang ketika pertama kali masuk Balai Kota, April 1966 yang lalu, tercatat laju kenaikan penduduk Jakarta hanya 4 prosen Dari seluruh penduduk waktu itu, 15 prosen merupakan anak-anak usia sekolah. Sementara yang tidak tertampung tercatat setengah juta anak. "Tapi angka-angka itu berdasarkan sensus tahun 1971 tidak betul", ujar Gubernur. Laju kenaikan penduduk ternyata 5,8 prosen sementara anak usia sekolah tercatat 22 prosen. "Jadi yang tidak tertampung, lebih besar lagi" tambah Gubernur lagi. Itulah sebabnya, berdasarkan skala prioritas, masalah pendidikan berada pada kedudukan nomor dua setelah perbaikan kampung. Nomor dua atau nomor satu tentu saja belum menjamin bahwa masalah pendidikan akan sepi dari kerepotan-kerepotan. "Seperti saya menjanjikan banjir tetap ada, begitu juga pendidikan tiap tahun ribut", ujar Ali, "hanya soalnya bagaimana memperkecil keributan itu". Antara lain disebutkan juga usaha-usaha untuk sebanyak mungkin membangun gedung sekolah dan melengkapi fasilitas belajar. Katanya, ketika menduduki jabatan gubernur untuk pertama kali, di Jakarta terdapat 1100 gedung sekolah berbagai tingkat (SD, SMP, SLA). "Sekarang dalam waktu sembilan tahun kita berhasil mendekati angka tersebut", ucap Ali bangga. Seluruh biaya yang sudah keluar untuk keperluan itu tercatat sebanyak Rp 17,6 milyard. Sementara dari jumlah itu hanya Rp 3 milyard saja yang jatuh dari pemerintah pusat. Guru Anjing Namun Ali Sadikin yang ketika pemunculannya di layar televisi malam itu lebih menarik dari pada lawak Bagio cs yang muncul pada acara berikutnya, menyebutkan bahwa masalah pendidikan di Jakarta tidak cukup dengan hanya menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut Masalah pendidikan bukan itu saja, "tapi juga misalnya gaji guru yang layak dan biaya untuk pemeliharaan ini itu", ujar Ali Sadikin. Katanya, ketika masih sekolah dulu, martabat guru bukan main tingginya. Pakaian bersih, datang dengan sepeda Raleigh, rumah pun bonafidlah. Tapi sekarang, guru banyak yang menyewa rumah di pelosok-pelosok kampung becek, bahkan banyak yang sering kebanjiran Lagi pula tidak seperti pegawai negeri yang lain, guru tidak bisa ngompreng bahkan tak sempat baca koran. "Sedangkan pegawai negeri lain datang ke kantor baca koran dan main gaple", katanya. Atas dasar itu Ali Sadikin kemudian menyimpulkan: bahwa seorang guru dengan tiga orang anak, pantas-pantasnya mendapatkan gaji sebesar Rp 120 ribu sebulan. Guru anjing saja satu jam dibayar Rp 40 ribu. Empat anjing berarti Rp 160 ribu. "Kalau kita banyak anjing, barangkali guru-guru kita pada lari jadi guru anjing", ujar Ali Sadikin, "sementara itu seorang guru kita punya murid sampai 60 orang". Kerepotan dunia pendidikan selain soal gaji guru itu, menurut Ali Sadikin juga menyangkut biaya operasionil pendidikan di Jakarta yang selalu defisit, Disebutkan biaya per anak SD sebesar Rp 38.600, SLP Rp 79.600 dan SLA Rp 80.900 setiap tahun. Sementara untuk menutup biaya seorang murid SD misalnya, dari pemerintah hanya masuk sebanyak Rp 13.300 dan dari SPP hanya Rp 3.800. Berarti biaya seorang murid SD mengalami defisit sebanyak Rp 21600 (56,5 prosen). Berdasarkan biaya itu menurut Ali Sadikin tidak mungkin sekolah dilaksanakan secara gratis. "Malah ada anggota DPR yang mengusulkan supaya SD gratis. Mimpi orang ini", ujar Gubernur. "Jangan sok-sokan, jangan politik-politikan". Dongkol pada orang yang mengusulkan sekolah gratis, Ali Sadikin kemudian malah menawarkan kepada masyarakat sebuah usul uang sekolah "Memang ada larangan. Larang...larang, tapi soalnya sulit sih", katanya. Selama ini yang kejadian di Jakarta, walaupun menurut peraturan tidak boleh memungut uang di luar SPP, hampir selalu terjudi pungutan-pungutan di luar ketentuan yang ada Pungutan itu menurut Gubernur bahkan ada yang mencapai Rp 200 ribu untuk sebuah SMA di Jakarta Dan jangan harap pemerintah akan mendapatkan laporan "pemerasan" itu dari pihak orang tua murid. "Sebab bisa-bisa si murid disentimeni di sekolah", katanya. Sehingga atas dasar itulah Ali Sadikin mengajukan tawaran kepada masyarakat Jakarta "Dari pada dilarang tidak jalan, dari pada Kepala Sekolah membabi buta menentukan pungutan, saya cuma mengusulkan, sebab memang resminya sih dilarang", ujar Ali Sadikin, "saya tawarkan kepada masyarakat, apa kita mau main bohong-bohongan atau mau jujur. Mau diatur atau mau main liar-liaran begini" Tapi apakah dengan melegalisir uang sekolah, lantas pungutan liar lain bakal mati?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus