Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tito Menjemput Maut

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mata Kolonel Riswardi Ridwan meluncur bebas. Kepala Peralatan Komando Daerah Militer Jaya ini tak menyangka bahwa telepon yang diterimanya pada subuh Senin pekan silam itu mengirimkan sebuah kabar duka. Kombes Polisi Kartiko, kepala satuan intel dari Medan, mengabarkan bahwa Tito Yudha Darma, anak keduanya, tewas karena tertembak. Sejatinya, bagi seorang prajurit, kata "tertembak" merupakan risiko yang harus diterima. Di medan tempur, apa pun bisa terjadi. Namun kematian sang anak itu gara-gara pelor yang dilepaskan oleh prajurit Lintas Udara 100/Prajurit Setia. Bersama Bripka Mawin, Tito merupakan perwira polisi yang berasal dari keluarga tentara angkatan darat yang menjadi korban dalam bentrokan itu. Kolonel Riswardi adalah lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1975. Tapi ia membantah pernah menjadi Komandan Linud 100/PS. Satu hal yang pasti, ia marah atas kelakuan satuan tempur yang berada di lingkungan Kodam II/Bukit Barisan itu. "Saya kecewa pada mereka," kata Riswardi dengan nada tinggi. "Ada lima petunjuk dalam melaksanakan tugas itu, di antaranya disiplin dan loyalitas," katanya sambil menerawang, "Andai saja itu dilakukan…." Kini Riswardi memang hanya bisa berandai-andai. Waktu tak mampu mengembalian putranya. Padahal banyak rencana yang akan mereka lakukan. Dalam pekan ini, rencananya Riswardi sekeluarga akan terbang ke Binjai untuk merayakan hari ulang tahun Tito yang ke-24, sekaligus selamatan diangkatnya Tito menjadi Wakil Komandan Kompi A Brimob. Menjadi polisi memang telah menjadi pilihan pria kelahiran 6 Oktober 1978 itu sejak duduk di bangku SMU. Awalnya, Riswardi kurang srek. Namun hasil tes psikologi yang diikuti Tito menunjukkan bahwa ia lebih pas menjadi polisi. Selepas menamatkan pendidikan di Akademi Kepolisian, dua tahun silam, dia memilih karir di Brigade Mobil. Karir Tito tidak bebas hambatan. Sejak polisi dipisahkan dari TNI, gesekan kedua angkatan bersenjata itu sering terjadi. Setiap kali mengalami konflik, Tito sering mencurahkan isi hatinya kepada sang ayah. Riswardi, yang paham betul seluk-beluk kehidupan tentara, hanya bisa mewanti-wantinya agar selalu hati-hati. Peraturan terkadang sulit dijalankan secara kaku, begitu antara lain nasihat Riswardi. "Apalagi di tingkat bawah. Kalau kita tak pandai-pandai, mungkin bisa salah langkah," kata Riswardi menirukan lagi nasihatnya. Tito mungkin mengikuti nasihat bapaknya. Tapi ia juga polisi dengan rasa setia kawan yang tinggi. Pada saat markas Brigade Mobil diserbu, sebetulnya Tito tengah berada di Medan. Namun, ketika mendengar kabar tersebut, ia memutuskan untuk kembali ke markas. Dan itulah perjalanannya menjemput maut. Di malam dingin itu Tito diberondong serentetan tembakan. Peluru berhamburan. Sebutir dari jumlah banyak itu menembus lehernya. Irfan Budiman, Darmawan Sepriyossa, Bambang Soed (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus