AKBAR Tandjung bergegas meninggalkan kantornya di Senayan. Sedan Volvo-nya langsung tancap gas menuju markas besar Partai Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Di sana, rupanya sudah menunggu seorang tamu penting: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla. Pertemuan bersifat tertutup, hanya empat mata, dan berlangsung selama satu jam.
Perjumpaan dua tokoh penting Partai Beringin ini terjadi Kamis pekan lalu. Dibilang penting karena tuan rumahnya, Akbar, masih menjabat Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR—walau didera masalah pidana korupsi. Sedangkan tamunya, selain salah seorang penasihat partai, juga kandidat kuat yang kerap disebut-sebut akan maju menggantikan Akbar. Putra Makassar ini berpengaruh di kalangan pemilih Golkar di kawasan Indonesia Timur dan Jawa Barat.
Tentu mereka bukan sekadar kangen-kangenan. Kebetulan Akbar, juga Jusuf, merupakan karib yang sama-sama pernah aktif sebagai pentolan Himpunan Mahasiswa Islam. Ada pembicaraan penting menyangkut kondisi partai runner-up Pemilu 1999 lalu itu. Juga soal Akbar. Saat ditanya TEMPO, Jusuf mengaku hanya memberi support agar Akbar tetap tegar. Sebab, saat ini Akbar menanggung beban yang sangat berat. "Jangan pula kita menambah sakit beliau," kata Jusuf.
Beban berat Akbar mungkin berkaitan dengan desakan kuat sejumlah kolega dan teman-teman dekatnya. Maklum, sejak majelis hakim Jakarta Pusat menjatuhkan vonis tiga tahun beberapa waktu lalu, kalangan dalam Partai Beringin mulai ambil ancang-ancang. Beberapa pengurus, seperti Marwah Daud, Fahmi Idris, Theo L. Sambuaga, secara gencar dan tanpa tedeng aling-aling sering meminta agar Akbar legowo non-aktif sebagai ketua umum partai. Akbar pun seperti kelimpungan menghadapi serangan itu.
Tapi Akbar tak tinggal diam. Sumber TEMPO di kalangan petinggi Golkar menyebutkan, Akbar sedang membuat langkah kuda untuk meredam gejolak di dalam partainya. Langkah pertama, kubu Akbar akan mengulur pelaksanaan rapat pimpinan nasional Golkar. Rapat pimpinan yang sedianya bakal digelar Oktober ini diulur sampai Februari tahun depan. Penguluran tersebut dianggap urgen agar forum penting itu tidak mempersoalkan posisi Akbar—meski targetnya sekadar non-aktif buat sementara waktu.
Akbar mengakui pengunduran itu. Namun, ia membantah jika langkah ini dianggap sebagai upaya meredam rongrongan dari dalam partai. Alasannya, rapat pimpinan macam ini sudah pernah dilaksanakan Februari lalu. Belum lagi kesibukan partai untuk menyelesaikan paket Rancangan Undang-Undang Politik. Jelasnya, rapat pimpinan itu di mata Akbar tak ada urgensinya. Toh, kalangan anti-Akbar tak gentar. Kabarnya, mereka tetap mendesak agar rapat tetap dilaksanakan Oktober ini. "Sebab, alasan pengunduran itu mengada-ada dan belum pernah dibahas dalam rapat harian," kata seorang pengurus Golkar.
Rival Akbar juga akan kena sanksi. Akbar, kata sumber tersebut, saat ini dikabarkan tengah menggodok rencana penonaktifan lima pengurus partai yang dianggap mbalelo. Draf surat pemecatan untuk mereka—kalangan Golkar menyebut mereka "Lima Pendekar"—telah disusun. Di antara pengurus yang menuntut Akbar non-aktif kini beredar guyonan "skenario Muchyar Yara". Pengurus harian Golkar seperti Marwah Daud, Fahmi Idris, Theo L. Sambuaga, Marzuki Darusman, dan Agung Laksono akan "di-Muchyar-Yara-kan". Muchyar, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, karena sering berseberangan dengan Akbar dalam skandal Bulog tempo hari, akhirnya dinonaktifkan oleh Akbar.
Akbar tak menampik soal penonaktifan itu. Ia mengakui ada masukan dari kaum muda partainya agar Beringin mengambil tindakan terhadap mereka yang "membangkang" itu. Namun, ia sendiri mengaku sangat menghargai perbedaan yang ada di tubuh Golkar. Marwah Daud mengaku tak tahu-menahu rencana Akbar itu. "Demokrat-tidaknya pemimpin diuji dalam menanggapi perbedaan," kata pengurus ICMI ini.
Penggusuran ini bukan perkara mudah. Soalnya, keputusan itu hanya bisa diambil ketua umum dengan meminta mandat pengurus lainnya. Sedangkan di antara pengurus harian yang loyal kepada Akbar, di atas kertas tinggal Rambe Kamarulzaman, Iris Indira Murti, Mahadi Sinambela, dan Bomer Pasaribu—dua terakhir pernah jadi menteri dukungan Akbar dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid. Jadi, "Seandainya dilakukan voting, suara anti-Akbar juga akan tetap kuat," kata sumber TEMPO di Golkar, sambil terbahak.
Jika Akbar nekat mengeluarkan kartu merah? Salah seorang tokoh yang dikabarkan bakal tergusur mengaku pasrah. Ia juga mengaku tidak akan bikin heboh. "Ya, mau apa lagi? Saya akan berkonsentrasi ke urusan bisnis saya," katanya, lirih. "Kalau rapat pimpinan nasional mau diundur, ya, bisa saja, wong tidak terlalu penting," kata tokoh lainnya. Singkat kata, Akbar masih di atas angin. Apalagi upaya mendongkelnya cuma bisa melalui forum musyawarah nasional luar biasa yang dihadiri semua pemimpin partai di daerah. Celakanya, sebagian besar pengurus daerah masih berpihak pada Akbar.
Fajar W.H., Widjajanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini