Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Rentan Hoaks Generasi Digital

Penelitian Hilya Mudrika Arini dan kawan-kawan mendapati bahwa Gen Z, yang dianggap terbiasa berkomunikasi di dunia maya, rentan terserang hoaks. Sebab, literasi digital mereka cenderung lemah. Tulisan ini diterbitkan untuk memperingati Hari Literasi Internasional, 8 September.

12 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemuda-pemudi di Sudirman, Jakarta, 4 Juli 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki era digital dan maraknya misinformasi, literasi digital semakin menjadi kemampuan penting bagi generasi muda--terutama Generasi Z.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gen Z (lahir pada sekitar 1996-2014), misalnya, mencakup 23 persen dari total penduduk di dunia dan terus bertambah. Mereka dikenal sebagai generasi asli digital ("digital natives") yang sangat terbiasa berinteraksi, berkomunikasi, dan mengelola informasi di ruang maya dan media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, hasil riset tentang kemampuan Gen Z dalam mendeteksi hoaks masih belum konklusif. Bahkan berbagai riset yang ada masih banyak berfokus pada Gen Z di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS).

Riset yang kami lakukan berupaya mengisi kekosongan kurangnya studi tentang Gen Z di Indonesia.

Pada 2021-2022, kami terlibat dalam kolaborasi internasional antara Departemen Teknik Mesin dan Industri di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Deakin University di Australia untuk menganalisis tingkat kepercayaan dan kemampuan Gen Z di Indonesia dalam mengenali hoaks.

Berbeda dengan banyak riset sosial yang menggunakan metode kualitatif seperti focus group discussion (FGD), riset kami menggunakan metode kuantitatif melalui survei daring terhadap 647 responden Gen Z di seluruh Indonesia.

Hasil sementara riset kami menemukan bahwa, di satu sisi, mayoritas Gen Z mempercayai informasi dari sumber yang cenderung otoritatif, seperti lembaga kesehatan dan institusi pemerintah lain. Di sisi lain, mereka kesulitan membedakan antara informasi yang benar dan yang hoaks.

Percaya Sumber Otoritatif tapi Gagal Deteksi Hoaks

Dalam analisis, kami melakukan pendekatan "ergonomika kognitif" (studi tentang respons kognitif manusia terhadap sekitarnya) yang khas dalam ilmu teknik industri.

Pertama, kami memberikan beberapa informasi dan skenario perihal kondisi Covid-19 di Indonesia dari berbagai sumber. Lalu, kami meminta responden Gen Z untuk memberikan skor berdasarkan kepercayaan mereka terhadap sumber tersebut.

Melalui teori komunikasi risiko atau Situational Judgement Theory (SJT), kami kemudian mengelompokkan partisipan ke dalam empat kategori berdasarkan respons mereka--yakni fatalist, individualist, hierarchy, dan egalitarian.

Kategori fatalist merupakan masyarakat yang menerima takdir dan pasrah saja dengan segala informasi yang mereka dapatkan. Sedangkan kategori individualist cenderung lebih bebas dan lebih percaya pada kemampuan mereka sendiri untuk merespons informasi.

Kategori hierarchy cenderung tunduk pada informasi dari otoritas, seperti pemerintah dan pemangku kebijakan. Terakhir, kategori egalitarian adalah masyarakat yang cenderung mengikuti perilaku lingkungan sekitarnya dan lebih mudah dipengaruhi tatanan sosial.

Ilustrasi seorang pria dari generasi Z bereaksi setelah membaca berita bohong. Shutterstock

Dari tes pertama ini, hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas partisipan Gen Z (62 persen) masuk kategori hierarchy.

Sedangkan 23 persen responden tergolong individualist, 11 persen responden tergolong fatalist, dan hanya 5 persen responden tergolong sebagai egalitarian.

Artinya, Gen Z cenderung menaruh kepercayaan lebih tinggi pada informasi, aturan, dan regulasi dari sumber otoritatif, seperti lembaga pemerintah yang berwenang, ketimbang sumber lain, seperti mencari info sendiri atau mengikuti desas-desus yang beredar di lingkungan keluarga.

Kedua, kami juga menggunakan teori pemrosesan informasi atau Signal Detection Theory (SDT) untuk mengetahui kemampuan partisipan dalam mendeteksi hoaks.

Pada tahap ini, partisipan kami minta mendeteksi hoaks terkait dengan Covid-19 dalam 30 berita--campuran informasi yang benar maupun yang hoaks--yang telah beredar di Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan portal berita lain.

Kami menemukan bahwa dari 647 Gen Z yang berpartisipasi, 83 persen dari Gen Z cenderung menganggap informasi yang diberikan sebagai berita yang benar meskipun sebenarnya hoaks (kami sebut "konservatif"). Sedangkan 71 orang atau sekitar 11 persen cenderung menganggap informasi yang diberikan sebagai hoaks meski sebenarnya berita benar (kami sebut "liberal").

Hanya 42 orang atau sekitar 6 persen yang dapat membedakan berita benar dan berita palsu dengan tepat dan akurat (kami sebut "ideal").

Mencari Strategi Penguatan Literasi Digital

Dari temuan kami, dapat disimpulkan bahwa Gen Z di Indonesia bisa mengidentifikasi sumber informasi mana yang kredibel (misalnya lembaga kesehatan negara), tapi mayoritas dari mereka masih kesulitan mendeteksi berita hoaks yang beredar di media sosial.

Meski riset kami hanya berfokus pada Gen Z dan belum bisa membandingkannya dengan generasi lain di Indonesia, temuan ini tetap mengkhawatirkan mengingat Gen Z sering dipuja sebagai generasi yang "melek digital".

Gen Z dalam riset kami, misalnya, terindikasi cenderung hanya mau membaca judul artikel berita, baik asli maupun hoaks, dan enggan membaca artikel secara penuh dan memverifikasi kebenarannya.

Temuan kami ini sejalan dengan sebuah penelitian dari Stanford University di AS yang menemukan bahwa meski Gen Z merupakan "digital natives", mereka juga bisa bersikap "digital naive".

Berdasarkan penelitian ini, 82 persen partisipan Gen Z bahkan gagal membedakan berita dan iklan.

Di Indonesia, masih lemahnya kemampuan Gen Z dalam mendeteksi hoaks bisa jadi disebabkan oleh masih kurangnya kemampuan literasi digital yang mereka miliki. Berbagai akademikus mengamati banyaknya celah dalam edukasi literasi digital di berbagai jenjang pendidikan Indonesia.

Namun, sekadar meningkatkan kemampuan literasi digital di antara generasi muda tidaklah cukup.

Berdasarkan studi, literasi digital memang akan membantu seseorang mengidentifikasi hoaks dengan lebih baik. Tapi hal ini tidak meningkatkan kesediaan mereka untuk turut menyebarkan berita yang benar atau mengoreksi hoaks yang beredar.

Dengan kata lain, kaum muda yang punya literasi digital tinggi akan jago dalam memilah berita hoaks--tapi malas untuk menindaklanjutinya.

Dengan demikian, selain meningkatkan pendidikan literasi digital, kita perlu meningkatkan partisipasi generasi muda untuk mau membagikan informasi yang benar atau membenarkan informasi yang salah.

Seluruh pemangku kepentingan--dari dunia akademik hingga pemerintah--perlu terus merancang strategi-strategi baru untuk memperkuat ketahanan masyarakat dan kaum muda dalam meredam misinformasi.

---

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus