Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Diubah, eh, direvisi lagi

Ujian masuk perguruan tinggi negeri direvisi lagi. ada sistem rayonisasi yang terbagi dalam 3 rayon. sistem yang mirip PMDK diperbolehkan, asal dilakukan di masing-masing perguruan tinggi negeri.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UJIAN Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang diumumkan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K akhir Desember lalu, kini direvisi lagi. Lintas rayon dimungkinkan, dan setiap perguruan tinggi negeri diberi hak menentukan nilai standar kelulusan. Program yang mirip dengan Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) diperbolehkan asalkan setiap PTN sanggup melaksanakan sendiri. Hal ini diputuskan dalam Rapat Rayon UMPTN yang dihadiri rektor-rektor PTN se-Indonesia di Hotel Wisata, Jakarta, yang berakhir Selasa pekan lalu. Kemudian Rapat Rayon itu sendiri dilanjutkan dengan Rapat Kerja Rektor yang membahas berbagai masalah pendidikan tinggi menyongsong Pelita V. Dalam Rapat Rayon itu juga dibahas jadwal pelaksanaan UMPTN untuk tahun ini. "Ada yang ingin dilaksanakan secara serentak, tapi ada yang ingin berbeda-beda," kata Dr. Harsono Taroepratjeka, Pembantu Rektor I ITB. Akhirnya dicapai kesepakatan: UMPTN dilaksanakan serentak tanggal 6 dan 7 Juni mendatang. UMPTN berbeda dengan Sipenmaru yang menerapkan sistem sentralisasi. Dulu setiap PTN tak perlu memikirkan materi ujian dan teknik pelaksanaannya -- karena sudah ada panitia pusat. Justru UMPTN kembali ke pola lama yaitu desentralisasi. "Praktis semuanya harus kami siapkan sendiri. Tapi, itu tidak terlalu sulit," kata Harsono lagi. Memang tidak sepenuhnya murni desentralisasi, yang mana setiap PTN berhak menyelenggarakan tes masuk seperti sebelum tahun 60-an. Sistem sekarang ini lebih dikenal dengan rayonisasi, karena Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi P & K membagi dalam tiga rayon. Rayon A meliputi Perguruan Tinggi Negeri di Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Sementara Jawa Tengah dan Kalimantan (di luar Kalimantan Barat) masuk Rayon B. Sedangkan Rayon C terdiri dari Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur (TEMPO, 7 Januari 199). Sebenarnya pembagian rayon itu sudah diperkenalkan sebelum Sipenmaru. "Walaupun implisit dan tidak diumumkan dengan jelas," kata Sukadji Ranuwihardjo, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, kepada Tommy Tamtomo dari TEMPO. Nah, ketika para Rektor PTN berkumpul di Jakarta, Desember lalu, rayonisasi secara resmi dimunculkan kembali dan langsung disetujui dalam sistem UMPTN. Namun rapat pekan lalu itu meninjau kembali sistem UMPTN. Keputusan Desember itu banyak yang harus diperbaiki lagi, terutama masalah lintas rayon. "Ada sejumlah perubahan dengan apa yang sudah diumumkan Desember lalu," kata Prof. Mattulada, Rektor Universitas Tadulako, Palu. Pada keputusan bulan Desember, seorang lulusan SMA di Aceh, misalnya, kalau ingin masuk ke Universitas Airlangga, harus datang sendiri mengikuti ujian ke Surabaya. Ia tak bisa ujian di tempat asalnya. "Ternyata setelah diperdebatkan dalam Rapat Rayon, administrasi lintas rayon bisa diatasi dengan bantuan komputer," kata Mattulada. Dengan demikian, siswa tersebut tak perlu ke Surabaya. Dalam hal ini, mirip Sipenmaru. Dalam pelaksanaannya, menurut Harsono, lintas rayon sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rektor yang bersangkutan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat, kepentingan perguruan tinggi dan daya tampungnya. Siswa dari Aceh yang menjadikan Unair sebagai pilihannya -- boleh ikut UMPTN di rayon A, cuma standar nilai yang dipakai harus mengikuti ketentuan Unair. Standar nilai kelulusan masing-masing PTN tidak diumumkan kepada peserta ujian. Dan nilainya berbeda-beda. Dasar penentuannya mempertimbangkan kemampauan masing-masing PTN. Itu semua di tentukan PTN yang bersangkutan. Menurut Sukadji, bila diambil standar nilai yang tinggi, lulusan SMTA yang mutunya kurang baik akan jadi korban. "Ini jelas tidak merefleksikan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat dan dalam lingkungan perguruan tinggi,"ujarnya. Sebaliknya, kalau diambil nilai yang rata-rata rendah, dengan mudah setiap lulusan SMTA duduk di bangku kuliah. Ini mustahil, mengingat daya tampung PTN terbatas. Jadi, perguruan-perguruan tinggi yang cukup baik dan sudah mapan bisa menetapkan nilai standar kelulusan yang tinggi. Sedangkan PTN yang masih dalam taraf pengembangan dapat menggunakan cutting score yang rendah. Standar yang ditentukan itu tak bisa ditawar, namun setiap tahun ada kemungkinan diubah. "Tergantung dari mutu sekolah menengah secara keseluruhan," kata Sukadji lagi. Yang juga dibahas dalam rapat rayon itu adalah soal TKU (Tes Kemampuan Umum). TKU yang tahun lalu termasuk diujikan dalam Sipenmaru, bisa jadi, dihapus mulai penerimaan mahasiswa tahun ini. "Karena sudah menjadi bagian dalam tes," kata Prof. Mattulada. Tahun lalu TKU diadakan dengan pertimbangan bahwa lulusan SMA cenderung berorientasi ke perguruan tinggi. Akibatnya, yang dikejar semata-mata latihan soal ujian, sehingga demi pemerataan diadakan TKU. "Sekarang tes masuk benar-benar berdasarkan kurikulum," tambahnya. Namun apa yang dikatakan Mattulada itu masih belum final. Setiap perguruan tinggi negeri tetap punya peluang untuk memasukkan TKU sebagai salah satu materi ujian. "Terserah kepada rayon masing-masing," kata Sukadji Ranuwihardjo. Sebab pada dasarnya tujuan diselenggarakan TKU tahun lalu cukup baik. "Kalau dilaksanakan dengan benar bisa menjaring sikap intelektual yang tidak diwarnai kualitas sekolah. Semacam aptitude test," katanya. Sementara itu, sistem yang mirip PMDK diperbolehkan lagi, asalkan dilakukan di masing-masing PTN. Tahun ini satu-satunya PTN yang menjaring siswa tanpa melalui ujian tulis seperti sistem PMDK itu adalah IPB. Bagaimana sistem yang diterapkan IPB itu, dan apakah memakai nama PMDK, atau PP II, ataukah nama lain, menurut Sukadji, sepenuhnya wewenang IPB. "Tampaknya PTN lain belum siap," ujar Sukadji. ITB, misalnya, sebagaimana dikatakan Harsono, "maunya sih ingin, tetapi sekarang kita tidak sanggup karena persiapan pendek. Tahun depan ada kemungkinan dijajaki." Semua PTN punya hak melakukan itu. Sebab, seperti kata Sukadji, proses desentralisasi yang kini masih terbagi tiga rayon akan terus disempurnakan sampai pada tahap desentralisasi murni.Yusroni Honridewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum