Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Nadia Aulia Nadhira, mengatakan wacana libur sekolah saat Ramadan dapat menjadi tantangan bagi siswa. Menurutnya, libur panjang bisa menjadi opsi yang tepat saat Ramadan, namun siswa tetap harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan terpenuhinya kebutuhan pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebetulnya proses dari ketika (pandemi) Covid lalu bisa jadi hal yang bisa kita pelajari yang di mana saat ini yang namanya proses pembelajaran tatap muka tidak harus selalu datang ke sekolah. Sehingga bisa menjadi opsi ketika memang harus ada kelas yang dilakukan saat proses pembelajaran,” kata Nadia kepada Tempo.co, Senin, 20 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadia menyebut libur panjang dapat memicu stres dan kecemasan pada anak. Menurutnya, stres dan kecemasan tersebut dapat muncul ketika anak sudah merasa bosan dan kurang melakukan aktivitas yang bermakna. Terlebih lagi jika anak mendapat tekanan dari lingkungan sekitar.
“Apalagi kalau anaknya itu mendapat tekanan dari lingkungan sekitar terutama orang tua untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang mungkin tidak sesuai dengan minat anak atau mungkin ada peraturan peraturan yang bisa membuat anak tidak nyaman,” kata Nadia.
Orang tua, kada Nadia, harus mampu membangun suasana di rumah yang mendukung pada proses pembelajaran anak selama liburan. Banyak orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah mungkin karena kesulitan mengendalikan anaknya.
Risiko Libur Panjang Bagi Anak
Nadia menyebutkan tiga risiko utama yang dapat dialami anak ketika menghadapi libur panjang. Menurutnya, anak berisiko akan mengalami kesulitan untuk mengingat kembali atau memahami materi yang telah dipelajari.
Kondisi ini, katanya, disebut sebagai learning loss, kondisi penurunan kognitif pada anak akibat jeda belajar yang panjang sehingga anak tidak dapat serius selama pembelajaran. Nadia menyebut, diperlukan koneksi antara anak dengan pembelajaran yang mereka lakukan, misalnya dengan proses pembelajaran yang interaktif.
“That's why itu kenapa kalo misalnya ada kelas daring meskipun singkat memang harus interaktif kepada anak dan harus jelas peraturan kelas daring itu, misal harus menggunakan baju seperti apa kemudian situasinya bagaimana, harus mengerjakan tugas apa at that time yang harus dikumpulkan sehingga mereka juga terkoneksi dari proses pembelajaran tersebut,” kata Nadia, Senin, 20 Januari 2025.
Nadia kemudian menyebut risiko penurunan kesehatan fisik karena kurangnya aktivitas fisik selama liburan. Terlebih, kata dia, jika anak terlalu banyak bermain gawai. Menurutnya, harus dibuatkan program yang dapat membantu anak untuk tetap produktif selama hari liburnya.
“Harus membuat program yang memang dibuat sedemikian rupa sehingga anak itu harus mengikuti timing-nya sesuai dengan program yang dibuat,” kata Nadia.
Terakhir, Nadia juga menyebut liburan panjang dapat berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial. Menurutnya tidak semua orang tua mampu memfasilitasi anak-anaknya untuk tetap memberikan pembelajaran kepada anaknya di luar dari pembelajaran yang sudah diberikan di sekolah.
“Bagi orang tua yang memiliki keadaan ekonomi yang baik mungkin saja bisa mengajak anaknya untuk mengikuti kegiatan lain, seperti volunteer atau mungkin les yang orang tuanya juga harus mengeluarkan uang lebih. Tapi bagi orang tua orang tua yang secara ekonomi masih harus berjuang, nah itu bagaimana?” ungkap Nadia.
PR Bagi Orang Tua
Nadia mengatakan liburan panjang dapat menurunkan motivasi belajar dan keterampilan sosial anak jika waktu liburan tersebut tidak diisi dengan aktivitas yang terstruktur. Selain itu, aktivitas yang tidak terstruktur juga dikhawatirkan digunakan oleh anak untuk menghabiskan waktu memainkan gawai.
“Apalagi nih kalau misalnya orang tuanya memiliki aturan di rumah yang mengatakan bahwa kalau libur sekolah itu kamu boleh main gadget, nah ini tantangannya,” kata Nadia.
Tantangan selanjutnya, kata Nadia, yatu peraturan di sekolah yang tidak sama dengan peraturan di rumah. Pola asuh orang tua yang longgar maupun ketat bisa berpengaruh pada kondisi psikologis anak. Maka dari itu, Nadia mengusulkan agar dilakukan kelas singkat meskipun melalui daring sehingga anak-anak dapat fokus menyelesaikan pembelajaran yang seharusnya.
“Ada yang terlalu strict sehingga anaknya juga ketakutan buat ngerjain, takut salah. Ini yang harus kita sama persepsikan. Salah satunya itu adalah bisa mengadakan semacam kelas singkat meskipun melalui daring sehingga mereka itu fokus menyelesaikan pembelajaran yang seharusnya,” katanya.
Nadia mengatakan orang tua memiliki pekerjaan rumah (PR) jika anak mendapat liburan panjang. Menurutnya, pihak sekolah dan orang tua harus mampu menyusun sebuah program khusus yang menjadi fokus, misalnya keterampilan sosial, kegiatan budaya, atau kegiatan yang berbasis proyek yang bisa dilakukan peserta didik selama libur panjang tersebut.
“Paling penting itu program yang kita buat itu harus bisa mengintegrasikan nilai nilai Ramadan ke dalam kurikulum yang kita buat sehingga siswa itu sebetulnya bisa terlibat secara akademis maupun spiritual,” kata Nadia.
Berapa Lama Idealnya Waktu Liburan?
Nadia menuturkan sebetulnya tidak ada waktu atau lamanya liburan yang tepat bagi anak. Jika melihat di negara empat musim, liburan panjang seperti libur musim panas biasanya tidak lebih dari dua hingga tiga pekan.
Ia mengatakan, ada studi yang menyebutkan bahwa liburan terlalu panjang terutama lebih dari empat pekan bisa mempengaruhi kemampuan kognitif pada anak. Liburan terlalu panjang juga dapat membuat anak kesulitan beradaptasi ketika kembali memasuki waktu sekolah.
Namun, kata Nadia, meskipun tidak ada waktu ideal bagi anak untuk liburan, jika waktu liburan itu diisi dengan kegiatan yang terstruktur maka dapat menjadi opsi alternatif.