Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Drama expresso yang bikin repot

Pelayaran kapal lusitania expresso ke dili. berpenumpang lebih dari seratus orang dari 21 negara. indonesia siap menghadang dan melakukan pengamanan beberapa pengamat melihat sebagai petualangan politik.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah hujan lebat dan gemuruh halilintar yang menyambar-nyambar, Lusitania Expresso alias Portugal Ekspres tarik jangkar dari pelabuhan Darwin, Australia Utara, Senin pekan ini, pada pukul 19.15 waktu setempat, atau 16.45 WIB. Dielu-elukan 500-an pengantar yang basah kuyup, feri berbendera Portugal dan berpenumpang lebih dari seratus orang dari 21 negara itu bergerak pelan meninggalkan Darwin. Pelayaran yang menamakan diri "misi damai" membawa serta bekas presiden Portugal, Antonio Ramalho Eanes, dan puluhan wartawan. Ada 26 wartawan dari Portugal, 28 dari Australia, dua dari Inggris di samping BBC, London, dan seorang dari Kanada. Dari Darwin, Si Portu yang sudah berumur 30 tahun butuh 32 jam lagi untuk mencapai batas perairan Indonesia di Laut Timor. Kalau saja para penumpang kapal itu punya niat untuk mengheningkan cipta di tengah laut, Panglima Theo Syafei barangkali tak perlu pasang kuda-kuda. Namun, tujuan para penumpang feri Portugal itu agaknya memang cukup gawat: ingin menabur bunga di Pekuburan Santa Cruz. Di tempat pecahnya peristiwa berdarah 12 November 1991 itu, mereka kabarnya akan berziarah ke makam Sebastiao Gomez, pemuda antiintegrasi yang tewas dalam insiden 28 Oktober 1991 di depan Gereja Motael, Dili. Tak begitu salah kalau "misi damai" itu oleh beberapa pengamat telah dilihat sebagai suatu petualangan politik. Sebab, bukan mustahil sebagian warga negara Portugal yang menyelenggarakan misi ini berharap soal Tim-Tim dan Peristiwa Dili akan terus hangat dibicarakan dunia internasional. Itulah sebabnya Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno menegaskan bahwa pelayaran Lusitania Expresso (LE) bukanlah pelayaran damai. "Masa' jauh-jauh dari Portugal hanya ingin nyekar, ini jelas provokasi politik," kata Jenderal Try. Toh memang harus ditunggu apakah Si Portu yang tengah bergerak ke arah Dili ini punya daya untuk mencapai pantai provinsi bungsu RI ini. Ini jelas bukan soal gampang bagi feri yang konon sudah setahun parkir di dok. Di garis batas wilayah laut Indonesia, kapal yang biasanya dipakai mengangkut mobil itu akan berhadapan dengan "pagar" dari Armada Timur TNI Angkatan Laut. Konon, Senin pagi lalu, Gugus Tempur Laut Armada Timur (Guspurlatim) di bawah komando Kolonel Haryono sudah berangkat ke garis depan untuk menyongsong feri dari negerinya Vasco da Gama. Sebagai kapal komando adalah kapal jenis LST (landing ship tank) KRI Teluk Banten. Masih ada sebuah kapal pemburu cepat dari jenis korvet, sebuah kapal penempur (destroyer escourt), dua buah fregat, dan dibantu sebuah kapal tanker untuk mensuplai bahan bakar. Gugus tempur laut juga diperkuat dengan dua pesawat terbang Nomad dan tiga heli BO dari Jerman dan Super Puma buatan Prancis. Kabarnya, satu kompi pasukan intai amfibi (Taifib) dan pasukan istimewa dari Marinir ikut diterjunkan untuk memperkuat barikade laut kita. Kehadiran kapalkapal Angkatan Laut ini, oleh Panglima Armada Timur Laksamana Muda Tanto Kuswanto, dipandang bukanlah hal yang istimewa. "Sehari-hari kapalkapal itu juga patroli di mana-mana, seperti tugas rutin saja. Tak ada yang khususkhusus," jelasnya. Tapi, kalau misalnya feri Portugal itu punya nyali untuk menerobos masuk ke perairan TimTim, pihak Armada Timur memang sudah menyiapkan "penyambutan". Misalnya, kalau dia masuk lewat ujung timur laut pulau Timor, pihak Angkatan Laut akan mengerahkan kapalnya menjaga Selat Wetar. Jalan masuk ini memang paling mungkin untuk feri itu. "Karena tak mungkin mereka lewat Selat Alor, yang sudah jelas punya Indonesia. Sedangkan Selat Wetar belum mereka akui sebagai perairan Indonesia," kata seorang pejabat di Dili. Tindakan menghadang LE memang bertahap. Tergantung wilayah laut mana yang dimasukinya. Kalau Lusitania masih berada di zone ekonomi ekslusif (ZEE), sejauh 200 mil dari garis pantai Dili, belum ada upaya apa pun yang bisa dilakukan pihak Indonesia. Boleh dibilang, daerah ini memang perairan internasional. Sebab, di ZEE tadi, kapal berbendera asing berhak melintas tanpa pemberitahuan. Kalau LE sampai masuk ke zone tambahan Indonesia sejauh 24 mil dari garis pantai Dili maka kapal AL akan menghubunginya melalui radio. Upaya penangkapan belum bisa dilakukan di wilayah ini. Tapi paling tidak pihak Indonesia berhak untuk menanyakan tujuan dan arah kapal tadi, juga urusan perizinannya. "Jika kapal itu menjawab akan menuju perairan teritorial kita, akan kita larang dan menyuruhnya kembali ke perairan internasional," kata pejabat di Dili tadi. Adapun zone teritorial panjangnya 12 mil dari garis pantai. Jika LE memaksa masuk, kapal TNIAL akan mencegatnya dan menggiringnya ke perairan internasional. Kalau dia tetap mau coba-coba, cara yang akan ditempuh adalah menangkapnya dan menuntunnya ke salah satu pelabuhan Indonesia untuk diperiksa. "Kita pasti tak akan menggiringnya ke Dili, karena itu akan bikin senang mereka," kata Laksda Tanto. Bisa saja feri itu bakalan digiring ke pelabuhan terdekat dari Dili, seperti Ujungpandang, atau Ambon. Selama itu, kebutuhan mereka untuk misalnya air, bahan bakar, dan bahan makanan akan dipenuhi oleh pihak Indonesia. "Tapi mereka harus bayar. Dan setelah itu baru feri itu dideportasikan ke luar Indonesia," lanjut Tanto. Sumber lain di Dili menyebutkan, kemungkinan LE akan digiring dan diperiksa di Pulau Atauro, sekitar 18 mil laut atau sekitar 32 km utara Dili. Penumpangnya akan ditampung di sebuah kebun kelapa dan jagung di Desa Vila. Di tempat ini, kata Komandan Koramil Atauro Letda Ramli, "Akan dibangun tendatenda, seandainya kapal itu jadi datang." Mungkinkah LE ditembak armada RI? "Tak akan ditembak. Kapal itu akan diperlakukan sebagai kapal yang melanggar wilayah perairan Indonesia," Laksda Tanto menegaskan. Menurut dia, kalau LE sampai ditembak atau didamparkan pihak Indonesia, dan rusak, yang akan untung adalah pemilik kapal. Karena, diduga pihak asuransi yang akan menanggung kerugian ini. Pokoknya, semua gerak-gerik LE akan terus dipantau. Sebab, dari Darwin, kabarnya masuk berita tentang skenario yang akan dijalankan oleh peserta misi LE. Kalau mereka dihadang, para peserta konon akan "nyebur" ke laut, dan persis ketika itu berbagai jaringan teve akan mengabadikan dan akan menyiarkannya ke berbagai negara. Kemungkinan ini juga tak luput dari perhatian pihak Indonesia. Kata Tanto, para awak kapal yang telanjur "nyemplung" akan ditolong, diobati, dan diberi makan, kemudian baru dideportasikan. Alasannya kuat: masuk wilayah Indonesia tanpa dokumen keimigrasian. Skenario lain yang terdengar dari Darwin: para aktivis yang kebanyakan terdiri dari para mahasiswa Portugal itu diduga akan menggunakan sekoci-sekoci kecil untuk menerobos barikade gugus tempur laut, dan mendarat di Pantai Dili. Kalau hal ini terjadi, itu agaknya adalah bagian tugas Siskamling Pantai Dili untuk menangkalnya. Siskamling ini adalah bentukan Kolonel Polisi Ishak Kodijat, Kepala Kepolisian Wilayah Tim-Tim, yang ditunjuk sebagai komandan satuan tugas khusus (Satgasus) untuk menangkal feri itu. Pertengahan Februari lalu, Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Tim-Tim Brigjen. Theo Syafei memang membentuk Satgasus tadi. Gugus laut tempur yang dikomandani Kolonel Haryono adalah bagian dari Satgasus ini. Tak kurang dari delapan instansi dikerahkan dalam Satgasus, mulai jajaran Angkatan Darat, Angkatan Laut, Kejaksaan, sampai Imigrasi. Personel yang dilibatkan, kabarnya, mencapai sekitar 1.500 orang, belum termasuk pasukan dari Sektor C yang membawahi Kota Dili dan Armada Angkatan Laut dari Indonesia Timur yang berpangkalan di Surabaya. Adalah Satgasus ini juga yang membagi tugas soal menangkal LE secara mulus. Kalau saja awak Lusitania ada yang lolos dari hadangan kapal-kapal laut, di darat sudah disiapkan "jaring" lain. Lapis pertama jaring adalah siskamling pantai tadi. Sistem pengamanan ini melibatkan masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai. Mereka diharapkan ikut mengawasi dan melaporkan bila ada kapal tak dikenal tampak mau merapat. Yang bertanggung jawab soal siskamling pantai adalah enam kepala polisi resor (Kapolres), mulai Kota Likisa sampai Vikeke, yang wilayahnya langsung berbatasan dengan laut. Kalau dengan pagar betis di pantai itu masih ada awak LE yang lolos, tugas Satgasuslah untuk mencari dan menangkapnya. "Jangan sampai mereka ini menyebar ke masyarakat," kata Kolonel Ishak Kodijat, yang siap mengerahkan seluruh lapisan kepolisian TimTim, mulai Polwil sampai Brimob. Setelah ditangkap akan diadakan perundingan dengan perwakilan negara masing-masing penumpang sebelum akhirnya dideportasikan. Sementara Satgasus menangani urusan penumpang LE, Sektor C yang membawahkan Kota Dili juga sibuk memberi pengarahan pada masyarakat. Konon, menurut sebuah sumber, ada larangan dari beberapa kepala desa untuk mendekati Pantai Dili. Namun, ini dibantah oleh Maria Judith Nares Reis, Kepala Desa Bairu Central sejak 1983. "Saya rasa itu cuma isu," tutur Maria Reis. Dialah ibu yang anaknya sempat tertembak di paha saat pecah Peristiwa Dili. Tapi sebuah sumber militer di sana mengakui memang ada "imbauan" agar masyarakat tak berbondongbondong pergi ke pantai melihat kapal tersebut. Untuk pengamanan itu, Kota Dili mendapat tambahan pasukan dari Batalyon 433. Sebelumnya pengamanan Dili dilakukan oleh Batalyon 744 dan Polres setempat. Sekarang ini ada pula Satuan Tugas Teritorial yang dilaksanakan oleh Kodim Dili dan Batalyon 641. Walhasil, Dili sekarang bak sebuah benteng kukuh yang mustahil bisa ditembus musuh. Bahkan antisipasi sudah jauh dilakukan, misalnya bila timbul demonstrasi. "Pasukan huru-hara sekarang sudah dilengkapi dengan segala macam peralatan, termasuk tameng, topi baja, dan gas air mata. Suasana di Dili memang terasa tegang sehingga membuat penduduk sulit senyum. "Saya jadi repot, mau pergi jadi malas," kata seorang lelaki di sana. Lalu seorang ibu, yang kehilangan putranya sewaktu Peristiwa Dili, berkomentar, "Lebih baik kapal itu jangan datang saja. Saya tak rela bila peristiwa penembakan seperti di Santa Cruz terulang lagi." Seorang setengah baya kelahiran Portugal yang besar di Dili juga melihat misi LE sebagai upaya lain dari Portugal untuk menohok Indonesia di mata internasional. "Dulu mereka kasih senjata buat orang perang, lalu pergi. Saya tidak suka itu," katanya. Seorang wali murid SMA di Dili juga menolak hadirnya LE. "Daripada terjadi keributan, dan pihak keamanan salah tangkap atas orang yang sebenarnya cuma ingin nonton ke pantai," ujar ayah yang anaknya jadi korban insiden Dili. Dili memang bagai terserang demam "Expresso". Mulai dari Gedung DPRD sampai ke desadesa, bahan pembicaraan banyak berkisar soal rencana kedatangan kapal itu. Guilherme dos Santos, Ketua DPRD Tim-Tim, berkata, "Expresso sudah dibatalkan oleh pemerintah Indonesia. Jadi, kita jangan menunggunya, sebab hanya akan menambah rumit suasana." Seorang pemuka adat juga menyatakan kekesalannya. "Timor Timur adalah bagian Indonesia, jadi penumpang Lusitania jangan turun tanpa memenuhi prosedur di sini." Pengamanan di luar Dili juga berlapis-lapis. Muspida setempat kini memberlakukan surat jalan untuk penduduk yang hendak bepergian ke luar kabupatennya. Setelah dicabut sejak November 1988, inilah untuk pertama kalinya pas jalan diberlakukan lagi. Tampaknya, upaya pengamanan yang dilakukan oleh Panglima Theo Syafei memang habishabisan. "Kalau pelayaran kapal itu serius, kita di sini juga lebih serius," kata jenderal yang tampak angker itu. Ada berita yang mengabarkan, untuk mengamankan LE, pihak Kolakops Tim-Tim sudah menahan sekitar 500 orang. Namun, Theo Syafei tegas menolak adanya penangkapan besar-besaran. "Ditangkap, di mana penjaranya? Kami hanya menangkap lima orang yang punya rencana menyambut kapal itu," katanya. Seorang di antaranya adalah Jacobus dos Santos, 38 tahun, Kepala Desa Santa Cruz, Dili. Diakuinya, ia memang ketat menjalankan pengamanan. "Ini untuk menghindari agar masyarakat jangan terprovokasi. Kalau itu terjadi, saya yang salah," katanya tegas. Sementara itu, telah banyak pujian mengalir ke alamat pemerintah RI, khususnya dalam hal menangani kasus mau masuknya LE ke perairan kita. Dubes AS untuk Indonesia John Monjo di Denpasar, Sabtu pekan lalu, mengatakan, "Indonesia memiliki peraturan dan cara tersendiri dalam menjaga keamanan dan ketertiban negaranya, karena itu pemerintah Amerika Serikat menghargai hal tersebut." Di media luar negeri, kasus LE tak banyak disebut. Berita di media massa luar negeri hingga kapal ini bertolak dari Darwin, Senin malam pekan ini, nyaris tak ada. Hanya jaringan teve CNN, yang mengirimkan wartawannya bergabung dalam kapal LE, sesekali mengulang siaran rencana perjalanan yang penuh risiko itu. Yang giat memanaskan Lusitania adalah, siapa lagi kalau bukan Portugal. Contohnya, delegasi Parlemen Portugal, bulan lalu, melobi Kongres AS agar memihak mereka dalam soal Tim-Tim. Mario Crespo, kepala biro televisi Portugal di Washington DC, juga giat "berkampanye" menarik simpati dunia atas perjalanan LE ini. Sebegitu jauh, upaya Portugal belum kelihatan hasilnya. Ini bisa dilihat dalam pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa, pekan lalu. Ketua komisi, yang kali ini dipegang oleh Portugal, sudah menyiapkan resolusi khusus tentang Tim-Tim. Bahkan draft resolusi sudah ditandatangani oleh 28 negara. Ternyata, draft tadi tak bisa dijadikan resolusi resmi karena kurangnya dukungan. Akhirnya, resolusi itu sekadar dimuat dalam pernyataan ketua komisi saja. Kendati Indonesia masih masuk daftar 22 negara yang menurut komisi harus mendapat perhatian khusus soal hak asasi manusianya. Agaknya, kemenangan RI di Jenewa ini merupakan salah satu hasil diplomasi Menlu Ali Alatas, yang menjelaskan duduk perkara Peristiwa Dili ke berbagai negeri Barat, baru-baru ini. Presiden RI sendiri memang secara serius telah menangani buntut dari Peristiwa Dili. Ini tampak benar dari hasil Komisi Penyelidik Nasional dan Dewan Kehormatan Militer, yang hasilnya banyak dipuji oleh berbagai negara. Di tengah upaya memberesi akibat Insiden Dili itu, tiba-tiba muncul LE yang punya niat ziarah ke kuburan Santa Cruz. Ada analisa, inilah barangkali usaha Portugal menyulut "api" baru yang sanggup mengobarkan lagi isu Tim-Tim. Karena, walau tak secara terang-terangan, pemerintah Portugal setidaknya menyokong misi LE ini. "Ini memang bukan misi resmi, tapi mendapat simpati penuh dari pemerintah," ujar L. Desousa, atase pers Kedutaan Portugal di Washington DC. Bagaimana nasib LE akhirnya? Itu sangat tergantung seberapa jauh dia berani menembus barikade laut Armada Timur. Namun, kalau ucapan kapten kapal Luis Santos pada kantor berita Reuter bakal terjadi, kapalnya tentu akan putar haluan begitu pihak Indonesia bersiteguh menutup pintu lautnya. Dan, barangkali, setelah terjadi sedikit adu mulut, para peserta LE akan menabur bunga di tengah laut bebas. Lalu balik kembali ke Darwin. Sebuah antiklimaks agaknya akan terjadi. Atau ada suatu kejutan lain yang barangkali telah mereka persiapkan? Siapa tahu. Toriq Hadad (Jakarta), Sandra Hamid, Bambang H.S., Rubai Kadir (Dili), dan Bambang Harymurti (Washington DC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus