Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dulu Sawito, kini Wimanjaya

Pak harto menjawab tuduhan tahu rencana G-30-S/PKI dan kritik yang dimuat buku primadosa. tak ada fakta, mirip pamflet. penulis dituntut?

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIMANJAYA K. Liotohe hanyalah seorang pria berumur yang sederhana. Sehari-harinya, lelaki berkulit gelap dan berdahi lebar itu sibuk mondar-mandir mengurus organisasi buruh dan hak asasi, sambil mencari order naskah terjemahan, dengan bergelantungan di bus kota. Kendati ia gemar memakai dasi, penampilannya jauh dari perlente. Ia tinggal bersama istri dan enam anaknya di sebuah rumah kusam dan sempit di ujung gang buntu di daerah Pasar Minggu, Jakarta. Tapi nama Wimanjaya, aktivis yang jarang diperhitungkan, mendadak muncul dalam percakapan politik sepanjang pekan lalu. Ia tiba-tiba disebut menjadi "aktor" di balik buku Primadosa, yang dianggap mengkritik Presiden Soeharto. Buku bersampul merah itu mendapat promosi besar, dicari-cari orang, dan beredar diam-diam dari satu ke lain tangan. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang mula pertama menyebut Primadosa. Ihwal Primadosa itu sendiri terselip saat Pak Harto berbicara santai di Peternakan Tri S Tapos, Bogor, Ahad pekan lalu, di depan sekitar 100 perwira Angkatan Laut yang sedang mengikuti program pembekalan back to basics. Pada acara itu, Kepala Negara sebetulnya lebih banyak menuturkan upaya Orde Baru menjaga Pancasila dan UUD 1945, yang tak sepi dari gangguan. Pada saat itu Presiden mengatakan telah menerima Primadosa. "Isinya menggugat pemerintah yang ada sekarang, menggugat saya bahwa yang menciptakan G-30-S/PKI itu saya. Mereka memutarbalikkannya di situ," kata Pak Harto sambil tertawa. Presiden juga menyebut adanya tuduhan bahwa di Tapos itu ada helipad, kolam renang, dan lapangan golf -- sebenarnya tak ada. Tuduhan terakhir ini memang tertera dalam Primadosa. Maka, Pak Harto mengingatkan agar ABRI terus waspada. "Kita harus hati- hati karena hal itu akan terus berjalan," ujarnya. Orang pun kemudian ingin tahu ihwal buku itu. Tak sulit. Kemudian nama Wimanjaya pun tampil. Rupanya, Wimanjaya sudah berhitung bahwa buku yang dicetak sejak pertengahan Desember itu bakal menjadi pembicaraan orang. Ia tak menghindar dari kejaran pers. Bahkan, kalau perlu, ia mendatangi wartawan. "Saya ini penyambung hati nurani rakyat," ujarnya mantap. Judul lengkap buku kontroversial itu adalah Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto. Buku ini terdiri atas tiga jilid. Keseluruhan tebalnya lebih dari 400 halaman (termasuk lampiran dan gambar ilustrasi), yang terbagi dalam 25 bab. Sampulnya hanya dari karton manila tipis yang menempel sekenanya di badan buku. Desain dalamnya acak- acakan, dan hurufnya tak seragam. Lantaran tak ada sponsor yang menerbitkan buku itu, Wimanjaya memperbanyaknya dengan fotokopi. Pada bab I, Wimanjaya mengajukan gugatan pribadinya. Ia menumpahkan kekecewaannya karena merasa tanahnya tergusur 5 kali, 3 kali di DKI dan 2 kali di Bogor. Pada akhir bab, ia mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 151 miliar. Yang digugat ada sekitar 30 orang, dari Pak Harto sampai lima kepala yang berurusan dengan penggusuran. Namun, di situ ia tak mengajukan cukup bukti. Walhasil, gugatannya seperti mendramatisasi keadaan. Lepas dari soal penggusuran, Wimanjaya melangkah ke pasal yang lebih unik: meragukan Pak Harto sebagai putra Indonesia asli. Pada bagian ini tulisannya terasa ngawur, tendensius. Tapi di balik itu terkesan bahwa ungkapannya lebih menggugat situasi yang dianggapnya memberi banyak kemudahan bagi kaum nonpribumi. Berikutnya ialah bab yang mencurigai Pak Harto ada di balik aksi G-30-S/PKI. Di situ Wimanjaya menuduh Pak Harto terlibat atau setidaknya mengetahui rencana itu tapi tak mau mencegah. Dan seperti di pasal-pasal sebelum dan sesudahnya, di bab ini tulisan Wimanjaya juga terkesan asal melabrak. Ia tak tertarik menguji keabsahan rujukannya dengan bahan lain. Agaknya, laki- laki kelahiran Sangihe, Talaud, Sulawesi Utara, 61 tahun silam itu menatap Pak Harto dengan kacamata gelap, dan mengungkapkannya secara menggebu-gebu. Apa yang dicari oleh pria yang mengaku cucu Raja Tanawata dari Talaud ini? Ia merasa sedang melaksanakan pekerjaan besar. "Seperti rasul-rasul dulu, saya terpilih untuk meneruskan tugas suci ini," kata pria yang pernah aktif di Lembaga Kebudayaan Kristen itu. Ia mengaku telah menerima bisikan, wangsit. Ia pun merasa mendapat dukungan moril dari almarhum Bung Karno, idolanya. Persetujuan itu muncul lewat cahaya yang terekam ketika ia dijepret kamera di nisan proklamator itu di Blitar, pertengahan tahun lalu. Boleh percaya atau tidak. Maka, naskah-naskah yang sudah dipersiapkan sejak setahun lalu itu disusun, dipoles sana-sini, lalu dibukukan. Dan ia menganggapnya sebuah berkas gugatan perdata. Ia mengaku telah mendaftarkannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan awal Desember lalu, di samping mengirimkannya ke luar negeri melalui jaringan lembaga swadaya masyarakat untuk diterbitkan. "Boleh saja orang tak setuju dengan apa yang saya tulis, tapi pengadilan yang akan memutuskannya," ujar Wimanjaya, yang juga mengaku bekas anggota Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PDI. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merasa tak pernah menerima berkas gugatan Wimanjaya. Lagi pula, kalaupun dikirim ke sana, agaknya itu salah alamat. Gugatan kepada pejabat pemerintah lazimnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Maka, "perkara" Primadosa itu pun berbelok ke Kejaksaan Agung. Wimanjaya diperiksa aparat kejaksaan. Hasilnya: Kejaksaan Agung melarang peredaran buku itu sejak pekan lalu. "Buku itu memutarbalikkan fakta sehingga potensial membingungkan rakyat," ujar Jaksa Agung Bidang Intelijen, Soekarno, kepada wartawan. Kejaksaan menilai Wimanjaya bersikap apriori. "Pokoknya, buku itu kebangetan," ujar Soekarno. Sejauh ini, Wimanjaya kabarnya paling banyak baru menjilid dan menjual 200 kopi. Kondisi keuangannya tak memungkinkan ia menggandakan lebih banyak. Tapi urusan belum tentu selesai. Tudingan Wimanjaya bahwa Pak Harto terlibat G-30-S/PKI dibantah sengit oleh tokoh seperti Letjen (Purn.) Tjokropranolo dan Pengusaha Probosutedjo (adik Pak Harto) dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi). Primadosa, kata Tjokro, tak hanya mencubit Pak Harto, tapi juga dirinya. "Karena, ketika itu, saya asisten intel Pak Harto," ujarnya. Tjokro menekankan betul bahwa dirinya sebagai asisten intel, juga Pak Harto sebagai Panglima Kostrad, tak tahu-menahu rencana jahat G-30-S itu. Ia memang mencium gelagat bahwa suasana tak aman, tapi tak punya bukti untuk bertindak. Tjokro juga menolak tuduhan Wimanjaya bahwa komandan aksi G-30-S, Letkol Untung, adalah orang dekat Pak Harto. Pendek kata, Tjokro dan Probo menganggap Wimanjaya melakukan fitnah. Mereka mendesak pula agar Wimanjaya dituntut ke pengadilan. Dari kubu PDI, Wimanjaya juga tak mendapat pembelaan. Sekjen PDI Alexander Lithaay mengatakan, "Itu tanggung jawab dia pribadi." Bahkan, Lithaay punya bukti bahwa Wimanjaya bukan anggota resmi Litbang PDI. "Mungkin dia tak punya kartu anggota partai," katanya. Kalaupun ia sering hadir di diskusi Litbang, itu bisa saja terjadi, "karena diskusi itu cukup terbuka, bisa dihadiri siapa saja," ujar Lithaay. Tapi agaknya Wimanjaya telah siap dengan segala risiko. "Saya siap masuk bui," ujarnya. Seorang koleganya bilang, Wimanjaya memang frustrasi, dan kadang bersikap eksentrik. Ia fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Ia pernah menjadi guru, dosen swasta, dan wartawan. Tapi nasibnya tak kunjung membaik. Kisah Wimanjaya itu bisa mengingatkan orang akan sepak terjang Sawito Kertowibowo pada tahun 1976. Ia pernah menobatkan diri sebagai ratu adil. Ia membuat empat "naskah politik" yang beredar secara diam-diam. Salah satunya berjudul Mundur untuk Maju Lebih Sempurna, yang isinya mendesak Presiden Soeharto agar menyerahkan kekuasaannya kepada Bung Hatta. Lantas, Sawito juga menyusun Surat Pelimpahan, sebuah konsep timbang terima kekuasaan dari Bung Hatta kepada dirinya. Kasus manuver klenik Sawito itu sempat membuat geger. Walhasil, pria bercambang itu ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan. Ia dihukum 8 tahun penjara, dan berkurang menjadi 7 tahun di pengadilan banding. Antara Sawito dan Wimanjaya mungkin ada persamaannya. Hanya zamannyalah yang berbeda.Putut Trihusodo, Linda Djalil, dan Rihad Wiranto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum