Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang tamu 5 x 6 meter itu disulap menjadi showroom oleh Julita Joylita Wahyu Mumpuni. Sekat-sekat etalase kaca ia gunakan untuk memajang kerajinan tangan berbahan baku eceng gondok (Eichhornia crassipes). Ada yang kecil-kecil seperti tas jinjing, topi, vas bunga, tempat tisu, kotak wadah kopi, ada juga yang besar semacam produk furnitur meja, kursi, dan karpet.
Di tangan Julita, eceng gondok yang banyak ditemukan di kali dan rawa-rawa sebagai tumbuhan liar ini dimanfaatkan menjadi pernak-pernik bernilai ekonomi tinggi. Eceng, yang dulu dibuang, di tangan perempuan kelahiran Malang, 43 tahun silam, ini menjadi barang yang disayang. Bahkan berhasil menembus pasar ekspor, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pindah dari Malang ke Surabaya pada 1996, Julita menempati rumah yang hanya sepelemparan batu dari Waduk Kebraon. Ia heran dengan waduk yang banyak ditumbuhi eceng gondok. Pada awalnya Julita hanya iseng menganyam batang eceng gondok untuk dibikin bantal buat sandaran kursi dan beberapa tas. Ia coba-coba saja karena memang tidak pernah mendapat pelatihan keterampilan menganyam. Setelah anyamannya jadi, ia ketagihan. Hampir tiap hari ia bolak-balik mengambil eceng dari Sungai Kebraon, yang jaraknya hanya 30 meter dari rumahnya. Tanaman itu dikeringkan 7-10 hari, lalu dipipihkan sebelum dianyam.
Awalnya karyanya hanya menjadi koleksi pribadi. Tapi, ketika olahan tangannya mendapat apresiasi dari kerabat dan teman-teman—bahkan mereka membantu memperkenalkan buatan Julita melalui Internet—ia pun menekuni bisnisnya lebih serius.
Melihat perkembangan bisnis rumahan yang dia geluti, Julita pun mulai melebarkan sayapnya melalui sistem penjualan waralaba. Kini waralaba eceng gondok merek Joylita milik Julita sudah berdiri di tujuh stan di berbagai tempat: dua stan di Surabaya; tiga di DKI Jakarta; satu di Purwokerto, Jawa Tengah; dan satu lagi di Amsterdam, Belanda. Julita menggandeng pemilik showroom untuk menjual hasil karyanya. "Ada teman yang mau memfasilitasi penyediaan tempatnya," kata Julita saat ditemui di rumahnya di Jalan Griya Kebraon Utama DO 20, Karang Pilang, Surabaya, dua pekan lalu.
Usahanya membesar pada 1997, saat Julita memperoleh order membuat 10 ribu lembar alas gelas dari eceng gondok untuk diekspor ke Jepang. Meski belum pernah membuat dalam skala besar, Julita menyanggupinya. "Bagi saya, ini jadi tantangan," katanya. Untuk mempercepat pengerjaan order, Julita dibantu 50-an ibu-ibu di sekitar rumahnya yang diajarinya kilat. "Itu ekspor saya yang pertama."
Sukses menembus Jepang, Julita semakin dikenal. Pada awal 2000, ada warga Prancis bernama Francois, pegawai di salah satu kementerian Prancis, yang menghubunginya lewat e-mail, meminta Julita membikin konsep pelatihan pemanfaatan eceng gondok bagi manusia perahu yang ada di Kamboja. Konsep itu diadu dengan konsep serupa dari Filipina dan Thailand. "Akhirnya saya yang terpilih," ujar perempuan lulusan sekolah menengah atas itu.
Selama tiga bulan penuh Julita melatih warga Kamboja. Ia terkesan saat setiap hari ikut kapal milik Perserikatan Bangsa-Bangsa berkeliling menyambangi kelompok-kelompok manusia perahu. Setiap kali singgah, ia memberi pelatihan kerajinan tangan berbahan baku eceng gondok kepada kelompok warga itu. Pelatih dan peserta latihan yang sama-sama tidak paham bahasa Inggris itu pun berbagi ilmu dengan bahasa tubuh. Dari kegiatan itu, Julita mendapat honor ribuan dolar, yang saat diuangkan setara dengan Rp 400 juta. "Uangnya langsung saya belikan tanah di Trawas, Mojokerto, dan saya konsep menjadi desa wisata," katanya.
Merasa brand produknya sudah mendunia, Julita tidak mau memberi harga murah. Ia mencontohkan, tas tangan buatannya dihargai Rp 380 ribu-Rp 1 juta. Padahal, di perajin yang lain, tas serupa harganya Rp 70-100 ribu. Julita mampu menghasilkan 5.000 buah produk per bulan dengan berbagai model. "Meski saya patok harga tinggi, yang beli tetap ada, tuh," kata Julita tertawa.
Puluhan penghargaan dari dalam dan luar negeri pun diterima Julita. Kalpataru pada 2004, Indonesian Development Marketplace dari Bank Dunia pada 2005, dan United Nations Environment Programme kategori Clean up The World pada 2001. Penghargaan dari lembaga dalam negeri, baik swasta maupun pemerintah, tak terhitung lagi.
Ia diundang jadi dosen tamu perguruan tinggi negeri. Berbagai kelompok dan institusi kerap mengundangnya untuk menjadi narasumber. Selain memproduksi kerajinan, dia kini menjadi guru kursus perajin eceng gondok. Bertempat di rumahnya yang juga menjadi sekretariat Lembaga Pendidikan Terapan Masyarakat Griya Eceng Gondok Julita, ia mengajari ibu-ibu binaan Pemerintah Kota Surabaya itu menganyam eceng gondok selama tiga bulan. Ada 5.000-an ibu rumah tangga yang pernah menjadi muridnya.
Tak hanya itu, usahanya di Trawas juga menjadi salah satu tujuan wisata. Melalui program Tour Eceng Gondok, para wisatawan diajak mengikuti proses pembuatan berbagai barang berbahan eceng gondok, dari pengambilan, pengeringan, hingga proses produksi. Setelah berkeliling, mereka pun membeli oleh-oleh produk eceng gondok itu.
Salah satu peserta program binaan Pemerintah Kota Surabaya yang sukses berbisnis eceng gondok adalah Wiwit Manfaati, 45 tahun. Warga Perumahan Kebraon Indah ini semula hanya ibu rumah tangga biasa. Namun, setelah mengikuti pelatihan kewirausahaan selama 10 hari, pada 2007 ia mendapat bekal keterampilan mengolah eceng gondok. Ia lantas menapaki bisnisnya sendiri.
Dibantu suaminya, Supardi, Wiwit juga piawai menganyam eceng gondok menjadi tas, tempat tisu, tempat sampah, sandal, sketsel, hingga barang meubelair lainnya. Menurut Wiwit, produknya mulai dikenal sejak mengikuti pameran Surabaya Expo II di gedung Gramedia Expo. "Dari pameran itu, satu-dua konsumen mulai pesan. Ada yang skala kecil, ada yang besar," kata Wiwit.
Selain menerima pesanan insidental, Wiwit mendapat order membuat sandal eceng gondok dari sebuah hotel di Bali. Ia juga diorder membuat tempat buah oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai suvenir bagi tamu yang berkunjung. Untuk menampung produknya yang mulai bejibun, ia mengontrak rumah sebagai pusat produksi. Karena pesanan mengalir tiada henti, Wiwit dan Supardi berfokus pada usahanya. Pekerjaan lama Sapardi pun ditinggal.
Wiwit dan Supardi kini juga sering diminta menjadi instruktur pelatihan kewirausahaan oleh instansi pemerintah, baik Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemerintah Kota Surabaya. Misalnya memberikan pembekalan keterampilan bagi calon tenaga kerja Indonesia, pensiunan, keluarga miskin, dan mahasiswa.
Sukses Wiwit mendapat pujian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Produk kerajinan Wiwit itu dipajang di ruang promosi rumah dinas Risma. Wali Kota juga memakai produk Wiwit sebagai suvenir bagi tamu resmi. "Eceng gondok Wiwit sekarang mulai menemukan pasarnya," katanya.
Bagi Risma, Wiwit adalah contoh ideal ibu rumah tangga binaan Pemerintah Kota Surabaya. Awalnya dia hanya ingin menambah penghasilan suami, malah usahanya yang kini menjadi tiang utama penghidupan keluarga, juga beberapa keluarga lain di sekitarnya.
Yuliati, salah seorang pengguna tas eceng gondok, mengatakan tidak merasa rendah diri meski ke mana-mana menenteng anyaman gulma. Dia memiliki lima jenis tas eceng merek Joylita dengan beragam ukuran, warna, dan bentuk. Yuliati mengatakan biasa membawa tas eceng gondoknya ke berbagai acara, belanja ke mal, ataupun ke pesta pernikahan. "Bila busana saya tidak sesuai dengan warna tas, saya pakai yang warna standar eceng gondok," katanya.
Agus Supriyanto, Kukuh S. Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo