Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Epidemiolog Minta Setop Distribusi Obat Terapi Covid-19 ke Pasien Isoman

Pandu Riono meminta agar pemberian obat keras atau obat terapi Covid-19 sebaiknya dilakukan bila dirawat. Sehingga bisa diawasi.

31 Juli 2021 | 09.01 WIB

Pekerja menyortir obat Covid-19 di gerai ekspedisi pengiriman barang Sicepat di Jalan K.S Tubun, Petamburan, Jakarta, Sabtu, 17 Juli 2021. Pemerintah Pusat resmi membagikan sebanyak 300.000 paket obat gratis berupa multivitamin, Azithtromycin, dan Oseltamivir bagi pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di Pulau Jawa dan Bali. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Pekerja menyortir obat Covid-19 di gerai ekspedisi pengiriman barang Sicepat di Jalan K.S Tubun, Petamburan, Jakarta, Sabtu, 17 Juli 2021. Pemerintah Pusat resmi membagikan sebanyak 300.000 paket obat gratis berupa multivitamin, Azithtromycin, dan Oseltamivir bagi pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di Pulau Jawa dan Bali. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, meminta pemerintah meninjau ulang distribusi paket obat terapi Covid-19 kepada pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri atau isoman di rumah. “Saya usul hentikan distribusi obat ke masyarakat. Sebaiknya hanya di layanan kesehatan saja,” kata Pandu kepada Tempo, Jumat, 30 Juli 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Permintaan tersebut pertama kali disampaikan Pandu di akun Twitternya, @drpriono1. Ia mengunggah foto paket obat isolasi mandiri dari Kementerian Kesehatan. Ada 3 jenis obat dan 1 suplemen makanan. Ketiga jenis obat itu adalah paracetamol, Azithromycin, dan Oseltamivir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandu menjelaskan obat keras seperti Oseltamivir berpotensi menimbulkan efek samping pada tiap orang. Obat tersebut merupakan antivirus yang bisa menyebabkan mual, muntah.

Efek samping lainnya, kata Pandu, adalah keinginan untuk bunuh diri karena adanya gangguan psikis, seperti delirium, meracau, bingung, keinginan menyakiti diri sendiri. Efek samping tersebut juga dilaporkan terjadi di negara lain. “Banyak dilaporkan di Jepang,” ujarnya.

Selain Oseltamivir, Pandu menilai pemberian Azithromycin juga tidak bermanfaat bagi pasien Covid-19. Pasalnya, Azithromycin merupakan antibiotik untuk penyakit yang terindikasi infeksi bakteri. Sementara Covid-19 disebabkan oleh virus.

Pandu Riono mengusulkan agar pemberian obat keras sebaiknya dilakukan bila dirawat. Sehingga, pemakaiannya dapat diawasi. “Bila tidak cocok atau ada efek samping bisa segera dihentikan. Kalau didistribusi ke masyarakat, siapa yang mengawasi?” ujarnya ihwal obat terapi Covid-19.

FRISKI RIANA

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus