Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian potongan halus lempeng tembaga itu sungguh rumit. Tapi tujuh lelaki berusia 50-an tahun tersebut telaten menatanya. Mereka mengikuti susunan sesuai dengan gambar pola di kertas di tangan. Sebuah pola corak batik. Mereka adalah para perajin stempel tembaga—alat untuk menciptakan kain batik cap. Sebagian dari para lelaki itu berkacamata tebal. Tangan mereka seperti tak lelah memotong dan menekuk lembaran tembaga tipis.
Cahaya dari jendela membantu mata mereka berkutat di bengkel kerja yang sempit di Kampung Jongke, tak jauh dari kawasan sentra batik Laweyan, Solo. "Kami hanya bisa menghasilkan tiga stempel dalam dua pekan," kata Sartono, pembuat stempel batik cap, Senin pekan lalu.
Gigihnya Sartono dan pembuat stempel batik di Jongke seperti mewakili bergairahnya kembali batik Solo, yang sempat ambruk pada 1980-an dan 1990-an. Kini perusahaan dan gerai batik di Laweyan bersemi kembali. Perajin yang semula cuma tinggal kurang dari sepuluh orang berkembang lima kali lipat. Gerai batik juga buka setidaknya di seratus tempat. Mereka membeli atau menyewa rumah untuk membuka lapak. Tidak semua pemilik gerai dan pabrik di Laweyan adalah orang lama. "Sebagian memang orang baru," ujar Sekretaris Komunitas Kampoeng Batik Laweyan Gunawan Muhammad Nizar.
Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta, penjualan batik ke luar negeri terus meningkat. Pada 2009, Surakarta mampu mengekspor 300 ton batik. Setahun berikutnya, 555 ton batik diekspor dari kota tersebut. Bahkan, pada 2011, jumlah batik yang diekspor hingga 1.434 ton dan tahun berikutnya mencapai 1.636 ton dengan nilai US$ 1.353.443,31.
Laweyan telah ada sejak zaman Keraton Pajang, sekitar tiga abad sebelum berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta pada 1745. Awalnya Laweyan merupakan pusat perdagangan benang pintal atau lawe. Belakangan tempat itu berkembang menjadi pusat industri batik.
Pembuat stempel tembaga tadi punya ikatan kuat dengan Laweyan. Pada 1970-an, saat bisnis batik cemerlang, warga Jongke dan sekitarnya ikut menikmati. Mereka juga ambruk ketika batik cetak (printing) menggerus batik tradisional pada 1980-an. Kehadiran pemodal besar membangun industri batik cetak jadi biang keladi runtuhnya batik Laweyan. Sebagian besar beralih usaha, misalnya jadi makelar mobil dan juragan becak. "Keluarga kami mencoba bertahan," kata Gunawan, pemilik perusahaan batik Putra Laweyan.
Bersama juragan batik, pembuat stempel batik juga menganggur. Bedanya, para saudagar masih punya kekayaan sehingga mudah buat banting setir ke bisnis lain. Sedangkan perajin stempel harus putar otak agar dapur mengepul. "Kami hijrah ke Bali," ujar Sajadi, seorang perajin. Ini karena turis asing lebih suka batik tulis dan batik cap dibanding batik cetak. Tapi bom Bali I pada 2002 kembali menjegal mereka. Karena sepi, mereka balik ke Solo.
BATIK Laweyan kembali menggeliat pada 2004. Segelintir saudagar menghidupkan kembali Kampoeng Batik Laweyan dengan dukungan Pemerintah Kota Surakarta. Pesanan stempel tembaga batik cap kembali berdatangan, bahkan sampai membuat mereka kewalahan. "Kami sudah tua, anak muda sedikit yang mau," ucap Sartono.
Saudagar batik Solo memasarkan produknya ke Bali. Menurut Gunawan, bangkitnya industri batik tradisional di Solo diawali dengan pencanangan Kampoeng Batik Laweyan pada 2004. "Klaim Malaysia atas batik membuat penjualan meroket," katanya. Bisnis itu makin berkibar setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui batik sebagai warisan dunia asli Indonesia.
Bonanza batik juga terasa di Kabupaten dan Kota Pekalongan. Sejumlah saudagar batik pernah moncer di sini. Oey Soe Tjoen salah satunya. Ia melegenda berkat batik klasik khas Pekalongan dengan motif buketan. Ada juga Bachir Acmad, saudagar batik sejak 1940-an . Selain itu, Pekalongan punya Ali Basalama, saudagar keturunan Arab yang terkenal dengan batik sarungnya.
Batik Pekalongan terus berkembang tak hanya berpusat di Kauman—kampung wisata batik—tapi juga melebar ke kelurahan lain, seperti Pesindon. "Mereka mewarisi industri batik secara turun-temurun," ujar Arif Hamzah dari komunitas Pekalongan Heritage.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Pekalongan mencatat ada 10.700 usaha kecil dan menengah batik. Sedangkan gerai batik berjumlah 600 unit. Itu belum batik yang diproduksi Kabupaten Pekalongan, yang mengembangkan sejumlah pasar belanja batik di Wiradesa, Pekajangan, dan Kedungwuni.
Di Cilacap, kebangkitan batik salah satunya dimotori Euis Rohaini. Perempuan 33 tahun ini membangunkan batik Maos Cilacap dari tidur panjangnya. Ia bersama suaminya, Tonik Sudarmaji, 39 tahun, merintis kembalinya kejayaan batik Maos seperti pada 1970-an.
Euis menekuni pembuatan batik Maos sejak 2006. Awalnya ia mempunyai usaha konfeksi pada 2003 di Bandung, kemudian hijrah ke Maos, tanah kelahiran Tonik. Pada saat itu di beberapa pasar tradisional di Cilacap masih ada yang menjual batik Maos, yang membuat Euis jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia pun mulai membuat desain sendiri. Ketika ia menawarkan batik itu kepada koleganya di Inggris, mereka ternyata suka. "Katanya sangat etnik," ucap Euis. Sejak itulah permintaan batik Maos membanjir.
Di bawah bendera Rajasamas Batik, usaha Euis membongsor dengan rata-rata omzet Rp 250 juta per bulan. Dari 80 pembatik yang ia bina, Euis mampu menghasilkan 300-400 batik tulis dalam sebulan. Harganya bervariasi, mulai Rp 150 ribu hingga Rp 800 ribu, tergantung motif dan bahan. "Kami juga membuat motif eksklusif, yang hanya ada satu di dunia," ujar Euis.
Kebangkitan batik merambah Banyumas. Sentranya ada di Kecamatan Banyumas dan Sokaraja. Pembatik sepuh yang sempat berhenti berangsur menekuni kembali dunianya. Seperti di Maos, langgam batik agraris juga kental melekat di batik Banyumas. "Coraknya selalu terinspirasi alam," kata Slamet Hadi Priyanto, pemilik rumah Batik Banyumasan.
Ia adalah satu dari sepuluh pengusaha yang bertahan di sentra kerajinan batik di Sokaraja. Slamet berusaha mulai kembali memberdayakan para pembatik sepuh; mengembangkan batik tulis, cap, dan cetak; serta sejak 2008 membuat batik dengan kain dasar tenun lurik. Alat tenun ia dapatkan dari sebuah pabrik tenun sutra yang sudah bangkrut di daerah itu. Usaha batik keluarga Hadi sudah berdiri sejak 1957 oleh kakeknya, Kwee Lie Go. Hadi adalah generasi ketiga pengusaha batik.
Dalam sehari, rumah batik Hadi menghasilkan 60 potong kain. Pembatiknya kebanyakan juga buruh tani. Saat musim tanam dan panen tiba, rumah batiknya hampir tak berproduksi karena para pembatik pergi ke sawah. Hadi menjual batiknya di gerai di depan rumahnya. Saat ini omzet usahanya bisa mencapai Rp 50 juta per hari. Harga batik per lembar dari Rp 100 ribu hingga Rp 3 juta, tergantung tingkat kerumitan.
Seperti di Solo, Pekalongan, dan Banyumasan, batik Lasem di Kabupaten Rembang mendatangkan rezeki bagus. Adalah Santoso Hartono, perajin batik di Jalan Jatirogo, Lasem, yang punya andil melestarikan batik encim. Menurut data pemerintah setempat, sekarang terdapat 90 pengusaha batik dengan 6.000-an pekerja.
Kepala Bidang Industri Logam, Mesin, dan Tekstil Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah Mukti Sarjono mengatakan semua kabupaten dan kota di Jawa Tengah memiliki sentra industri batik. Namun yang paling menonjol adalah batik khas Pekalongan, Solo, Banyumas, dan Lasem. "Empat daerah itu punya sejarah batik yang panjang," katanya.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyebutkan di Jawa Tengah terdapat 1.611 perusahaan batik skala kecil dan menengah yang menyerap 11.336 tenaga kerja. Namun Mukti meyakini jumlah riilnya jauh lebih besar dari data resmi. Dari jumlah tersebut, 240 di antaranya terdapat di Kota dan Kabupaten Pekalongan serta 131 di Solo.
Pada 2012, nilai produksi batik Jawa Tengah sekitar Rp 425,5 miliar. Menurut Mukti, khusus untuk pasar domestik, kenaikan produksi batik didorong makin populernya batik. Masyarakat memakai batik tak hanya untuk acara pesta atau kondangan. "Batik sudah menjadi gaya hidup," ujar Mukti.
Sunudyantoro (Yogyakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Edi Faisol (Pekalongan), Aris Andrianto (Purwokerto), Bandelan Amarudin (Rembang), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo