Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangan Darsino tak berhenti mengucek. Sesekali pemuda 26 tahun ini meniriskan kain batik, lalu ia rendam lagi. Ia sedang memberi warna. "Pewarnaan alami bisa butuh waktu dua hari," kata pembuat batik asal Desa Maos Kidul, Kecamatan Maos, Cilacap, itu Selasa pekan lalu.
Siang itu ia sedang merampungkan kelir batik dengan pewarna alami. Batik jenis ini jarang peminat karena harganya mahal. Darsino memanfaatkan kulit kayu, jerami, dedaunan, dan rumput laut untuk mewarnai batik. Rumput laut untuk mendapatkan warna hijau. Ia juga menggunakan kulit mahoni untuk menghasilkan warna merah marun. Sedangkan akar dan kulit pohon mengkudu untuk penghitam. Daun mangga juga untuk kelir hitam, dan buah jalawe atau joho untuk warna cokelat. Jalawe memang mulai langka, tapi bahan lain masih gampang diperoleh.
Pewarnaan batik dengan kelir alami cukup rumit. Mula-mula bahan pewarna seperti kulit mahoni direndam sehari-semalam. "Setelah itu, air rendaman itu direbus hingga mendidih," ujar Darsino.
Ia menerangkan, air rendaman pewarna hanya bisa digunakan jika sudah benar-benar dingin agar tidak melunturkan malam. Setelah dicelupkan ke air rendaman, kain ditiriskan hingga kering. Lalu dicelup lagi berulang-ulang sehingga kain yang semula putih itu berubah warna. Maikah, 59 tahun, pembatik lainnya, menyatakan batik pewarna sintetis cukup dicelup sekali. Sedangkan batik pewarna alami butuh 20 kali celupan agar diperoleh warna yang kuat.
Euis Rohaini, pemilik Rumah Batik Rajasamas Maos, mengatakan dibanding batik tulis pewarna sintetis, yang alami harganya lebih mahal. Batik dengan pewarna alami bisa berharga Rp 500 ribu-Rp 1 juta. Euis membuat batik berpewarna alami hanya jika ada pesanan. Selebihnya, ia memproduksi batik dengan pewarna sintetis.
Untuk warna cokelat, Euis menggunakan kulit pohon mahoni. Ia juga menggunakan daun suji untuk warna hijau. Alternatif lain, kata Euis, mereka sudah mencoba membuat pewarna dari rumput laut. "Kami membelinya dari nelayan di pantai selatan Cilacap," ujarnya. Ada tiga jenis rumput laut di tempat itu: merah muda, merah, dan hijau. Dalam sebulan, setidaknya Euis memproduksi 30 batik dengan pewarna bahan natural.
Pembatik yang total menggunakan pewarna alami adalah Ahmad Taifur, 58 tahun, asal Sokaraja, Banyumas. Ia seorang dari 23 pembatik tradisional di Sokaraja. Menurut Bawor, demikian ia punya sapaan, pewarna alami telah digunakan secara turun-temurun di Sokaraja. Untuk membuat batik berwarna abu-abu atau hijau, ia menggunakan daun mangga. Sedangkan daun jati untuk warna cokelat.
Ia juga memanfaatkan beberapa kulit pohon untuk membuat warna yang diinginkan. Misalnya kayu nangka untuk kuning tua, dan daun mahoni untuk cokelat tua. Semak liar di sekitar rumahnya juga ia gunakan. Misalnya daun putri malu dan meniran.
Haris Riyadi, pembatik Pekalongan, punya cara "jorok" untuk mendapatkan pewarna, yaitu dari kotoran sapi atau kerbau. Tahi ternak itu ia rebus. Untuk mengurangi bau, ia campur kotoran sapi atau kerbau dengan garam. Rebusan air ini ia dinginkan. Setelah dingin, rebusan itu ia gunakan untuk mencelup kain batik.
Ia sudah memanfaatkan kotoran sapi atau kerbau untuk pewarna sejak tujuh tahun lalu. Harris juga memanfaatkan dedaunan. Selain itu, dia memanfaatkan limbah ampas kopi dan aneka limbah jamu yang berbahan dasar tanaman obat. "Kualitas warna batik lebih kalem dan tak membosankan," kata Harris.
Ketua Forum Perajin Batik Warna Alam Jawa Tengah Tonik Sudarmaji mengatakan saat ini ada perajin di 14 kabupaten di Jawa Tengah yang menggunakan pewarna alami. "Pasarnya cukup bagus, terutama pencinta batik dari luar negeri dan kalangan atas," ujarnya. Ia mengatakan pewarna alami banyak disukai karena ramah lingkungan.
Sunudyantoro (Yogyakarta), Aris Andrianto (Purwokerto), Edi Faisol (Pekalongan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo