Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Disabilitas menilai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi mengabaikan otonomi perempuan penyandang disabilitas. Hal ini lantaran permenkes tersebut berpotensi membatasi hak perempuan disabilitas, khususnya perempuan disabilitas mental dan intelektual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meskipun peraturan ini bertujuan mendukung akses kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas, terdapat ketentuan yang berpotensi membatasi hak mereka dalam mengambil keputusan terkait tubuhnya sendiri. Khususnya, Pasal 62 ayat 4 dan 5," ujar Komisioner KND Jona Aman Damanik dalam keterangannya pada Rabu, 12 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jona, peraturan tersebut cenderung mengedepankan pendekatan medis dalam menentukan kecakapan perempuan penyandang disabilitas tanpa mekanisme supportive decision-making. Padahal Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) telah mengamanatkan pendekatan hak asasi manusia yang menggunakan mekanisme supportive decision-making dalam setiap kebijakan terkait penyandang disabilitas.
Komisioner KND lainnya, Fatimah Asri Mutmainnah, mengatakan ketentuan tersebut dapat bertentangan dengan hak kesehatan reproduksi perempuan penyandang disabilitas sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. "Karena itu penting terdapat partisipasi bermakna perempuan penyandang disabilitas dalam proses perumusan kebijakan agar tidak menciptakan regulasi yang berpotensi diskriminatif," kata dia.
Merespons polemik ini, KND berencana menyurati Kementerian Kesehatan untuk berdiskusi dan menemukan solusi atas pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak penyandang disabilitas dalam rangka memastikan kebijakan yang lebih inklusif.
Sebelumnya, aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi menilai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2025 diskriminatif dan berbalut stigma. Lantaran mengabaikan eksistensi penyandang disabilitas mental dan intelektual, terutama dalam menentukan hak otonom kesehatan reproduksi mereka. Sebab, salah satu ketentuan dalam permenkes yang diterbitkan pada 20 Februari 2025 tersebut menetapkan bahwa difabel mental psikososial dan intelektual tidak cakap sehingga dua ragam disabilitas itu dianggap tidak dapat menentukan keputusan atas tubuh mereka sendiri. Ketentuan ini akan berdampak pada penanganan medis yang terkait dengan aborsi atau kontrasepsi.
"Di pasal 62 dengan tegas menyampaikan bahwa orang dengan disabilitas, khususnya disabilitas mental dan intelektual adalah orang yang dikelompokkan sebagai orang yang tidak cakap, sehingga layanan aborsi tidak perlu dimintakan atas persetujuan mereka, tapi dapat diwakilkan oleh keluarga atau wali, atau tenaga medis," kata Vatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat dalam konferensi pers yang diadakan oleh aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi secara daring, Kamis, 6 Maret 2025.
Menurut Ade, aturan dalam pasal tersebut sangat diskriminatif, ableism dan merampas serta menghilangkan hak penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam menentukan pilihan tubuh mereka sendiri. Selain itu, aturan ini sangat bertentangan dengan Piagam PBB yang mengatur tentang hak penyandang disabilitas (UNCRPD) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2011. Keputusan Menteri Kesehatan ini juga bertentangan dengan Undang Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. "UNCRPD sudah mengatur ketentuan tentang hak otonom perempuan disabilitas atas tubuh mereka sendiri, termasuk disabilitas mental intelektual," kata dia.
Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi juga menemukan bahwa keputusan ini juga bertentangan dengan Undang Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 sebagai payung hukum yang mengatur di atasnya.
Adapun pasal 62 tersebut merupakan bagian dari Bab IV yang membahas mengenai pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Pasal 62 secara lengkap berbunyi:
(1) Pelayanan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan.
(2) Pengecualian persetujuan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
(3) Dalam hal persetujuan dari suami sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pelaksanaan pelayanan aborsi dilakukan pada orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya.
(5) Orang yang dianggap tidak cakap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
a. anak; dan
b. penyandang disabilitas mental atau penyandang disabilitas intelektual yang ditentukan oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan di bidang kedokteran jiwa atau dokter yang memberikan pelayanan medis saat itu.
(6) Keluarga lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan keluarga yang sedarah maupun keluarga yang tidak sedarah selain suami.