Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyebut ketahanan pangan di Indonesia telah menjadi isu yang terus diperbincangkan. Faktor utama yang masih menjadi problem adalah ketergantungan pada impor, terutama untuk komoditas bahan pokok seperti beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Padahal ketergantungan ini dapat membuat negara rentan terhadap fluktuasi harga di pasar internasional, perubahan iklim, dan gangguan pasokan global,” kata Ganjar dalam acara Food & Agriculture Summit II dan Dialog Calon Presiden RI 2024-2029 di Institut Pertanian Bogor (IPB) seperti pada keterangan tertulis, Selasa malam, 19 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Rektor IPB Arif Satria mengungkapkan bahwa sebanyak 35 persen penelitian IPB dihilirisasi secara mandiri. Itu dipuji Ganjar dengan menilainya sebagai langkah paling konkret yang tidak berhenti pada riset. “Maka, geregetan saya adalah dengan data sains yang ada itu, seharusnya kita bisa ambil dan tawarkan secara terbuka, kemudian mau atau tidak, kita kontrak di situ,” kata bekas Gubernur Jawa Tengah itu.
Kontrak yang Ganjar maksud adalah menjalin kerja sama untuk menjalankan hilirisasi dengan riset PBB dalam waktu dua tahun. Menurut Ganjar, hasil pertaniannya akan membantu terwujudnya ketahanan pangan Indonesia.
“Ilmunya sudah ada, metodenya sudah ada, orangnya pemerintah yang menyediakan, lahannya bisa kita carikan dan kemudian hasilnya bisa terukur, maka kedaulatan pangan saya kira menjadi semakin optimistis dengan apa yang dilakukan IPB,” kata dia.
Ganjar menyebut kedaulatan pangan harus dilakukan segera menyusul indeks keamanan pangan Indonesia yang hanya 60,2. Indeks tersebut lebih rendah dibandingkan Singapura yang nilainya 73,1. Menurut dia, upaya ini bisa diatasi dengan ketersediaan pangan yang murah.
Kedaulatan pangan lalu diimplementasikan melalui apa yang disebutnya smart distribution, smart farming, dan smart fishing. "Tentu, untuk merealisasikan itu, sangat diperlukan periset nasional dan pusat data yang Sat Set terintegrasi dalam Satu Data Indonesia melalui KTP Sakti,” kata Ganjar.
Ganjar juga menyebut 77 persen wilayah Indonesia terdiri atas laut dan air. Di sisi lain, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2021 menunjukkan bahwa sektor maritim hanya berkontribusi sekitar 7,6 persen. Itu sejalan dengan 12,5 persen dari angka kemiskinan nasional berada di wilayah pesisir.
Menurut dia, ada tiga hal pokok yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan itu agar dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat maritim. Tiga hal itu adalah ekonomi pesisir, nelayan produktif, dan ekonomi biru.
“Tentu, untuk mengatasi persoalan ini, kita bisa meningkatkan wisata konservasi dan kearifan lokal dengan skill set, yang meliputi vokasi keterampilan, teknik lingkungan, dan menjalankan manajemen ekonomi yang lebih terukur,” kata dia.