Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari pada 1992, Ainur Ro-khimah, gadis Desa Pajanan, Pasuruan, Jawa Timur, itu meng-adu nasib ke Jakarta. Pedangdut desa ini mimpi jadi artis beken. Ber-kali-kali ia melamar rekaman, selalu berakhir gagal.
Sampai pada suatu hari, seorang produser tertarik menawari. Hati Ainur me-na-ri-nari. Sayang, mimpinya segera bu-yar:- sang produser menuntut ”imbalan” adegan kamar. Ainur marah. Pedangdut- ke-lahiran 21 Januari 1979 itu telak me-nolak.
Eh, si produser malah mengolok-oloknya- ”sok alim”. ”Di Jakarta ngapain- -ba-wabawa mukena segala,” kata si pro-duser. Celotehan itu membikin Ainur- -ki-an -be-rang. ”Wis, gak rekaman gak pathe-ken,”- katanya, lalu hengkang pulang- kampung.
Sembilan tahun kemudian, Ainur men-dapat balasan setimpal. Ia akhirnya suk-ses menembus Jakarta. Orang menge-nal-nya dengan nama Inul Daratista. Gaya-nya di panggung memberi dia julukan ra-da aneh, ”Ratu Ngebor”.
Rekaman masa lalu itu kembali dikenang Inul, Kamis dua pekan lalu. Hari itu, massa Forum Betawi Rempug melabrak rumahnya di Pondok Indah dan Ka-raoke InulVista miliknya di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan.
Inul dituding bergoyang tak senonoh pada unjuk rasa menolak Rancangan Un-dang-Undang Anti-Pornografi dan Por-noaksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Koordinator Forum Betawi Rempug Kebayoran Baru meminta Inul hengkang dari Jakarta bila tak meminta maaf kepada warga Betawi.
Inul tentu kecewa. Ia merasa bekerja- dan membuka usaha di Jakarta tanpa menyalahi hukum. ”Saya ini cari duit da-ri- bawah, dengan susah payah dan bayar pajak,” katanya kepada Tempo, pekan lalu. ”Saya bukan perampok, bukan mafia, bukan penjahat.”
Itu pula rupanya yang melekat di hati penggemar Inul. Dalam sepekan ini ia telah meneken kontrak untuk menggo-yang Riau dan Kalimantan. Lima karao-ke milik Inul di Jakarta juga tetap buka. Ia tak mau menelantarkan ratusan orang yang mencari nafkah dari bisnisnya. Satu saja karaokenya ditutup, 35 karya-wan kehilangan pekerjaan.
Staf Karaoke InulVista, Dadi Bambang- Dharmadi, membenarkan kecemasan pa-ra karyawan itu. Untunglah, kunjungan tamu karaoke hanya susut sebentar. Kamis pekan lalu, misalnya, suasana mulai pulih. Separuh dari 27 kamar karaoke disewa tamu. ”Syukurlah,” kata Dadi.
Inul datang dari keluarga sederhana-—bukan seniman. Tamat sekolah me-ne-ngah atas, ia tak melanjutkan pendi-dik-an. Kondisi keuangan ayahnya, -Ab-dul-lah Aman, tak mencukupi. Seba-gai- anak sulung, ia memilih menyanyi un-tuk menopang ekonomi keluarga, mes-ki sempat dicegah ayahnya.
Kebetulan, ketika masih di sekolah da-sar, ia ikut kursus Bina Vokalia dan men-curi-curi belajar tari jaipong dari sang-gar dekat rumah. Pada 1980-an, un-tuk pertama kalinya ia tampil di depan umum pada peringatan Hari Kartini, dengan imbalan Rp 3.500. Banyak penonton terkagum-kagum.
Mulailah ia menerima undangan menyanyi untuk hajatan di kampung-kampung. Sampai akhirnya, pada 1999, Inul melambung seiring dangdut koplo—ira-ma besutan gendang jaipong—yang mewabah di Surabaya. Di kota ini Inul mencetak cakram padat bergambar (vi-deo CD), se-perti album Two In One, Ke-piye Mas, Cinta- Suci, Pacar Asli, dan Mbah Dukun.
Dua tahun kemudian, Jakarta melirik goyang Inul. Satu stasiun televisi- komersial meminta ia mengisi acara-. Tawaran mengalir gencar, hingga li-ma- sampai- tu-juh kali manggung sehari. Pada 2004, Inul menetap di Jakarta setelah meneken- kontrak sinetron seratus episode. Ia tinggal di kawasan mewah di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Menembus panggung Ibu Kota, Inul mulai menjelajah berbagai negeri: Malaysia, Taiwan, Jepang, sampai Belanda.- Pada kampanye Pemilu 2004 ia sempat dilirik partai politik untuk memikat mas-sa. Majalah Time Asia edisi Maret 2003 menyediakan dua halaman untuk men-ceritakan artis ini sebagai sensasi ba-ru di blantika musik hiburan Indonesia.
Namun, sukses Inul juga tak luput dari- kecaman, bahkan ancaman. Pada awal Februari 2003, Majelis Ulama In-do-nesia menyatakan penampilan Inul men-jurus pornoaksi, dianggap menyalahi- fatwa Majelis pada 2002. Pada tahun itu, Pemerintah Kota Madya Yogyakarta dan MUI bahkan mencekal Inul manggung di kota tersebut.
Kemudian tampillah Rhoma Irama, yang mengecam goyangan Inul sebagai mem-bangkitkan berahi. Setelah tiga tahun kasus tersebut dipeti-eskan, pada Ja-nuari lalu Rhoma membangkitkan kembali ”luka lama” itu di depan anggota De-wan Perwakilan Rakyat yang meng-u-rusi RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Pada malam Tahun Baru 2006, ia dicekal di puluhan kota.
Kasus paling baru muncul dua pekan lalu, ya dengan Forum Betawi Rempug itu. Selain Inul, para artis dan tokoh yang ikut demo juga diprotes. Ada Rieke Dyah Pitaloka, Ratna Sarumpaet, Nurul Arifin, dan Yeni Rosa Damayanti. Ke-tua- Forum, KH Fadloli El Muhir, menilai goyang Inul menjurus ke perusakan moral. ”Kami enggak mau Jakarta dikotori seperti itu,” katanya.
Front Pembela Islam (FPI) mendukung- langkah Forum Betawi Rempug me-la-brak para penolak RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Ketua Badan Investigasi FPI, M. Alawi Usman, menilai aturan pornografi dan pornoaksi itu sangat diperlukan. Apalagi, beberapa daerah sudah membuat peraturan mengatur masalah ini.
Tetapi KH Abdurrahman Wahid me-nge-cam Forum Betawi Rempug, yang mengklaim seolah-olah penguasa Jakar-ta. ”Emangnya ini negara apa, main -ku-atkuatan begitu?” katanya. ”Ini nega-ra hukum,’’ mantan presiden itu me-ne-gaskan. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, itu meminta seti-ap orang menghormati cara seniman bereks-presi. Goyangan Inul, menurut dia, tak lebih dari jogetan.
Eduardus Karel Dewanto, Evy Flamboyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo