Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Berteriak Anti-Revisi

Ratusan ribu buruh menolak draf revisi Undang-Undang Tenaga kerja. Sejumlah anggota Dewan menyokong, tapi pemerintah jalan terus.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LILIS Makmudah tak henti meng-angkat gagang telepon di kantor-nya di kawasan Mampang Pra-pa-t-an, Jakarta Selatan. Saat itu hampir tengah ma-lam. Perempuan 50 tahun itu tak bisa menahan letih. ”Saya mem-persiapkan demo,” katanya.

Lilis mendapat tugas berat: mengkoordinasi peng-urus Serikat Pekerja Nasio-nal se-Jawa. Ma-ka, malam menjelang de-monstrasi besar 1 Mei lalu, ia harus memastikan bahwa se-luruh perwakilannya hadir. Bekas buruh pabrik sep-atu ini bersorak saat dikabari sekitar 35 ribu bu-ruh siap turun ke jalan dalam demo buruh terbesar di Tanah Air ini.

Esok paginya, kendaraan Lilis bese-rta puluhan motor dan truk memuat pa-ra bu-ruh beriringan menuju ke arah lapang-an parkir Se-na-yan melewati Bundaran Hotel Indo-nesia. Kain hitam terikat di k-e-pala mereka bertuliskan ”Tolak Revisi Undang-Undang 13/2003”.

Di lapangan parkir Senayan, Lilis dan rekan-rekan koordinator lapangan bertemu puluhan ribu buruh. Dari atas kendaraan itulah dia dan Ketua Serikat Pekerja Nasional Bambang Wirahyoso berorasi. ”Jangan sampai buruh dianggap biang kerusuhan!” teriak Bambang. Ia lalu menjelaskan agenda demo.

Duha itu, sekitar pukul 10 pagi, massa mulai mengalir ke arah Senayan. Me-reka berjalan kaki. Ratusan polisi telah menanti. Pertama-tama Lilis berlari ke arah Kepala Polisi Daerah Metro Jaya, Firman Gani. ”Buat koordinasi,” kata-nya pada Tempo. Massa terus berta-mbah. Mereka berdatangan dari arah Bogor, Tangerang, Depok.

Lilis tampak khawatir melihat ma-ssa kian berjubel. Ia berupaya mengendali-kan agar mereka tak menyempal dari barisan. Kemudian dia berlari ke arah polisi yang memasang barikade di depan gedung MPR. ”Jangan disumbat. Kalau seperti ini, bisa rusuh,” teriak Lilis.

Massa dan polisi beradu pandang. Untunglah ada kabar baik dari Dewan yang meredam suasana panas. Ke-tua Kom-isi IX Ribka Tjiptaning dan Wa-kil Ke-tua DPR Zaenal Ma’arif angkat bi-cara. Ke-dua-nya berjanji tak akan mene-rima usul-an pemerintah merevisi -Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Di-respons Dewan, massa bersorak kegi-rang-an. Tiba-tiba saja byuurrr…, hujan turun lebat.

Berkah hujanlah yang mendingin-kan suasana. Para buruh yang berdemo di Se-nayan bersemburat bak beras tumpah. Mereka berusaha berteduh, meski tak se-dikit yang basah kuyup. Hujan pulalah yang membubarkan titik-titik demo lainnya di Bundaran Hotel Indonesia hingga istana presiden. Aksi ini dilakukan oleh Aliansi Buruh Menggugat.

Aliansi ini sengaja memplot untuk ber-konsentrasi di kawasan Thamrin menuju titik rawan di istana presiden. Sedang-kan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan Kongres Serikat Pekerja Indonesia terfokus pada kawasan DPR di Senayan.

Tuntutan mereka sama. Semua organi-sasi buruh ini menekan pemerintah dan DPR agar menolak revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertemuan tripartit—buruh, pemerintah, dan pemilik modal—tertunda terus. Tak ada kata putus. ”Peme-rintah maunya pro-investor, tapi merugi-kan buruh,” kata Choirul Anam, dari Kong-res Serikat Pekerja Seluruh Indo-nesia. Choirul dan teman-temannya memilih walk-out di tengah pertemuan pendahuluan. Dari kantornya, Wakil Presi-den Jusuf Kalla tetap dengan pendiriannya: silakan demo, tapi beleid tetap direvisi.

Gerakan buruh belakangan memang kinclong. Ini jauh berbeda dibanding saat Soeharto berkuasa. Saat era Orde Baru itu, buruh hanya diwadahi dalam satu organisasi, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Setelah ke-ran berorganisasi dibuka, sejumlah serikat pekerja menjamur sejak 1999. Bahkan Konfederasi Pekerja Seluruh Indonesia punya sempalan bernama KSPI-Re-formasi.

Serikat buruh kemudian membe-ntuk beberapa konfederasi. Muncul konfe-de-rasi lain di luar KSPI. Salah sa-tu-nya Komite Serikat Pekerja Indonesia. Di luar dua konfederasi ini, masih ada sekitar 80 federasi. Mereka tak bergabung dalam konfederasi yang sudah ada. Sebanyak 34 serikat pekerja di antaranya bergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat.

Ada Serikat Pekerja Nasional, yang meng-klaim punya massa 102 ribu buruh. Mereka masuk dalam Komite Serikat Pekerja Indonesia. Komite ini ber-anggotakan sepuluh federasi, di antara-nya Serikat Pekerja Metal Indonesia, dan Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) In-donesia. Kini jumlah anggota serikat buruh ini disebutkan melompat empat kali lipat. ”Aksi mereka memang terbesar sejak era reformasi,” kata Bambang Wirahyoso.

Karena itu, Lilis merasa bangga. Dua hari kemudian, aksi di depan gedung MPR/DPR yang dilakukan Konfedera-si Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ma-lah ricuh. Ia tak peduli, meski jauh dari negeri petrodolar sana, saat berada di Uni Emirat Arab dan Yordania, Presi-den Susilo Bambang Yudhoyono malah menuding aksi mereka bernuansa politik, digerakkan oleh partai yang kalah.

Purwanto, Wahyu Dhyatmika


Peta Wadah Buruh

Inilah kelompok buruh penentang draf revisi beleid tenaga kerja itu.…

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Serikat pekerja ini memiliki anggota sekitar 4,8 juta orang. Tetapi, karena dibentuk pada masa pemerintahan Orde Baru, kelompok ini dianggap tak reformis.

Serikat Pekerja Nasional (SPN) Mengklaim punya anggota 436 ribu buruh. Ketika berdiri pada 1998, organisasi ini hanya dibatasi serikat pekerja bidang tekstil, sandang, sepatu, dan manufaktur. Tetapi, pada perkembangannya, kelompok ini juga siap menampung jenis pekerjaan lain. SPN termasuk di antara 10 organisasi yang masuk Kongres Serikat Pekerja Indonesia.

Aliansi Buruh Menggugat Mereka berada di luar dua konfederasi tadi. Di dalamnya terdapat 34 federasi. ”Istilahnya masa cair,” kata Ilham, salah satu aktivisnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus