LIBUR adalah sahabat anak sekolah. Apalagi libur panjang,
seperti sekarang, yang dimulai awal pekan lalu untuk selama
sekitar sebulan.
Tapi sahabat yang selalu ditunggutunggu ini, suka pula
membingungkan. Coba lihat anak-anak SMPN I Medan. Beberapa hari
sebelum libur datang, mereka berdebat sebaiknya ke mana selama
liburan: ke Bukit Lawang, 80 km dari Medan, atau lebih jauh ke
P. Samosir, 190 km.
Yang lebih seru adalah anak-anak SAKMA (Sekolah Analis Kimia
Menengah Atas) dan STMA (Sekolah Teknologi Menengah Atas)
Padang. Beberapa hari mereka mengadakan rapat -- yang tak jarang
bersuasana tegang, saling adu mulut. Akhirnya diputuskan mereka
ingin menggunakan libur untuk berkarya wisata ke Jakarta,
Bandung dan Bogor.
Belum lagi perdebatan di rumah, antara anak dan bapak, antara
anak dan ibu, antara adik dan kakak. Tentu, perdebatan yang
menyenangkan. Ke manapergi?
Akhirnya sejumlah pertimbangan. Biaya misalnya. Lantas selera:
suka menghirup udara pantai atau gunung. Sayang, satu buku
terbitan Ditjen Pariwisata, Petunjuk Perjalanan Wsata Remaja,
berisi sejumlah tempat dan keterangan sangat singkat mengenai
tempat itu, belum tersebar luas. Sejumlah brosur yang
diterbitkan biro-biro perjalanan pun biasanya hanya mengenalkan
tempat-tempat yang menarik bagi turis asing.
Maka kembali pembawa berita tertua menjadi pedoman: mulut. Yakni
mulut tetangga dan teman-teman.
Anak anak SMPN I Medan itu kemudian memutuskan berkemah di Bukit
Lawang, cagar alam yang digunakan menampung orang utan yang
diliarkan kembali. "Sambil bersantai, belajar hidup
bergotong-royong, kami akan mengamati cara hidup mawas-mawas
itu," alasan Bapak guru yang memimpin mereka.
Tapi apakah sebetulnya yang bisa di peroleh dari hutan, bukit,
gunung, gua, pantai, atau alam liar yang terdapat di hampir dari
Sabang sampai Merauke itu?
Tengok saja misalnya Desa Durian di Kecamatan Tilatang Kamang,
15 km dari Bukittinggi. Di situ terbujur sebuah gua alam, ngalau
kata urang awak. Di dalamnya gelap luar biasa, tentu, dan
panjangnya sekitar 250 m. Gerbang masuknya merupakan lubang
berukuran 4 x 3 m. Begitu masuk, langsung kaki akan menyentuh
batu yang dingin dan licin. Beberapa langkah maju, ketahuanlah,
-- gua ini berliku-liku.
Nah, dengan penerangan lampu petromaks akan tersingkap gelap.
Dan tersaji pemandangan yang diciptakan alam sendiri.
Sudut-sudut yang runcing mengancam, dinding gua yang kasar,
berbenjol-benjol dan kadang membentuk gambar yang menakutkan.
Anak-anak yang suka sejarah, tentu akan langsung ingat di ngalau
inilah Harimau Nan Salapan gelar para panglima Padri yang
dipimpin Tuanku Imam Bonjol -- di awal abad ke-19 bertahan dari
serangan Belanda. Gua Kamang merupakan benteng yang tangguh,
dari leluhur mereka.
Masih di kawasan Tilatang, di Desa Tarusan terdapat pula sebuah
ngalau -- dikenal sebagai Ngalan Terang. Di gua ini Tuanku Nan
Renceh, salah seorang panglima Padri, menyusun kekuatan melawan
Belanda.
Dan di dekat gua itu sebuah danau kecil seluas sekitar 1 km2
terbentang. Menurut kepercayaan penduduk, ini danau pemberi
isyarat. Bila ia kering, sekering-keringnya, berarti musim hujan
segera tiba tiga bulan kemudian. Sebaliknya bila air danau
meluap, akan tiba musim kering -- pun tiga bulan kemudian.
Seperti cerita kanak-kanak, bukan?
Lagi pula proses mengering yang di malam hari biasa disertai
suara gemuruh itu, disambut penduduk dengan riang: mereka bisa
memperoleh ikan cuma-cuma. Dan ini merupakan kegembiraan
tersendiri bagi penduduk yang sebagian besar hidup dari
menambang batu di puncak bukit di situ.
Dan sungguh, udara di situ sejuk-nyaman-segar-sedap. Angin
bertiup dari arah selatan, turun dari Gunung Merapi. Konon
daerah ini dulunya begitu makmur -- dan itulah mungkin sebabnya
Kaum Padri memusatkan kekuatannya di sini.
Di sudut tanah air yang lain, tempat wisata yang mengandung
sejarah seperti itu sesungguhnya banyak. Tapi belum benar-benar
disiarkan, sehingga saudara-saudara yang berada di pojok lain
negeri ini jarang yang tahu. Misalnya'Gua Selarong, di selatan
Yogya, tempat pertahanan Pangeran Diponegoro. Atau, siapa yang
tahu bahwa makam Cut Nya' Dhien misalnya ada di Sumedang,
Ja-Bar? Pahlawan wanita Aceh yang perkasa itu dulu dibuang
Belanda ke sana. Paling orang tahu makam Kartini di Rembang,
atau Bung Karno di Blitar -- di samping di Jawa juga terdapat
berbagai makam wali, misalnya.
Candi Muara Takus, di Propinsi Riau, juga idem ditto. Padahal
sebagian orang punya hipotesa, candi ini dulunya pusat Kerajaan
Sriwijaya yang dipertengkarkan itu. Candi yang terletak dalam
areal sekitar 1,5 km itu, di dekatnya ada sebuah patung gajah
berjongkok. Penduduk sekitar bisa bercerita: di malam purnama,
kalau anda beruntung, di halaman candi akan terlihat sekawanan
gajah yang berjongkok -- gajah benar-benar, menurut tahyul.
Tempat-tempat yang mengandung tahyul, yang dimanfaatkan sebagai
tempat berlibur, barangkali tanah air kita gudangnya. Juga yang
menjadi pusat cerita rakyat. Muara, misalnya, satu pantai di
Padang, disebut sebagai tempat Malinkundang berangkat berlayar
dan kemudian mendurhakai ibunya.
ATAU meloncatlah ke Jawa, mendarat di Pelabuhan Ratu. Pantai
yang kata orang paling indah di waktu fajar menyingsing ini,
salah sebuah daerahnya bernama Karanghawu. Konon di pantai
inilah Dewi Mayang Cinde, putri Prabu Siliwangi dari Pajajaran
yang diguna-guna para selir sang raja -- sehingga mendapat
penyakit kulit maha dahsyat -- mandi-mandi di laut dan secara
ajaib sembuh. Bahkan tiba-tiba ia dikelilingi para wanita cantik
yang meladeninya. Maka Mayang Cinde tak berniat kembali ke
Pajajaran. Dan kemudian para nelayan di situ mengenalnya sebagai
Nyai Roro Kidul ....
Lihatlah Danau Singkarak, yang warung sekitarnya biasa
menyuguhkan masakan ikan danau yang gurih. Atau Danau Maninjau
yang indah, tempat kelahiran Prof. Hamka yang ulama dan sas
trawan itu -- yang rumahnya berada persis di pinggir danau.
Atau, lebih-lebih, Danau Toba dengan kota Parapatnya. Ada yang
berpendapat, lingkungan Toba inilah sebenarnya "daerah tercantik
di Indonesia" -- tak tahulah.
Boleh pula dihirup Pantai Carita di Selat Sunda, di Kabupaten
Pandeglang. Jumlah tempat nyaman yang tak punya kaitan dengan
kisah-kisah atau dongeng itu, susah dihitung. Yang terkenal saja
misalnya: ada Pasir Putih, di Kabupaten Situbondo. Sebuah
pantai yang amat jernih air lautnya. Di Irian Jaya ada Pantai
Base G (bahasa Inggris, ini) di dekat Jayapura, dengan Samudera
Pasifiknya yang biru.
Ah, ya. Bahkan Ir-Ja, yang baru masuk wilayah RI 1963, ada
peninggalan berbau asing. Misalnya Bukit McArthur, di puncak
Ifar Gunung -- monumen peninggalan Jendral McArthur. Lalu ada
Pantai Hamadi, yang tak begitu nikmat untuk mengendurkan otot,
tapi di situ sejumlah bangkai tank amphibi dari Perang Dunia II,
teronggok menjadi saksi bisu pertempuran dahsyat Jepang melawan
Sekutu.
Bagi mereka yang suka menghabiskan liburan di daerah perkemahan,
pun kini sejumlah daerah telah tersedia dengan aman. Dan meski,
misalnya di Pantai Carita, kini tersedia sumur bor dan sejumlah
fasilitas tetap saja suasana alam liar masih tersisa.
Bumi Perkemahan Pantai Carita, seluas 1,3 hektar itu dikelola PT
Perhutani. Sejumlah pohon peneduh tumbuh subur, agak jauh dari
pantai. Rumput pun hijau, dan di panui pasir putih terhampar
bersih. Tiap sebentar digenangi air laut yang datang sebagai
ombak. Yah, pokoknya samalah dengan banyak pantai lain.
Dikarenakan fasilitas sumur, kamar kecil dan kamar mandi, PT
Perhutani menarik Rp 100 untuk seorang pengunjung
sehari-semalam. Untuk tiap tenda yang didirikan di situ ditarik
Rp 500. Tenda besar Rp 1000. Kawasan itu bisa menampung sekitar
60 tenda besar.
SETIAP liburan, tak hanya libur panjang, Bumi Perkemahan Carita
selalu ramai. Pekan lalu telah ada sekitar 50 tenda besar
kecil. Anak-anak sekolah itu datang dari Serang, Jakarta, Bogor
atau Bandung. Keamanan di sini terjamin. Jarang ada misalnya
sepatu hilang, atau panci lenyap. Kalau rokok, memang ada -- ya
'kan?
Kecuali beracara sendiri, para pelajar dari Jakarta biasanya
membuat acara bagi masyarakat setempat. Kadang ada rombongan
yang memutar film atau mengadakan pertunjukan kesenian. Bahkan
pekan lalu para mahasiswa dari Universitas Islam Bandung
(Unisba) memberi ceramah tentang kebersihan dan lingkungan.
Mereka yang menyukai hutan dan gunung, boleh pergi ke kawasan G.
GedePangrango di Jawa Barat, tak jauh dari jalan raya
Jakarta-Bandung -- atau sekitar 20 km dari Cianjur, 5 km dari
Cipanas. Bisa ditempuh dengan bis -- turun di Cimacan, Puncak
(110 km dari Jakarta). Sambung kolt langsung ke Cibodas, Rp 100.
Yang suka jalan kaki, boleh saja. Jaraknya cuma 5 km, dengan
udara sejuk, tentu otot kaki tak keburu capek (capek juga 'ding,
habis naik-turun.
Di sini boleh pilih rekreasi bentuk apa. Melihat-lihat Kebun
Raya Cibodas, harus bayar Rp 500. Di situ anda bisa lihat 245
jenis burung di P. Jawa. Juga misalnya macan tutul, anjing hutan
atau babi hutan. Dan semut tentunya.
Alamnya sungguh beragam. Ada air terjun, ada sumber air panas,
danau, gua.
Tapi kalau hanya ingin mendaki gunungnya saja (G. Gede 2.958 m,
G. Pangrango 3.019 m), gratis. Cukup mendaftar di pos penjagaan
PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam).
Sebelum tiba di pos PPA, daerah perkemahan bernama Mandala Kitri
harus dilewati. Areal ini dikelola Pramuka Kwartir Daerah Jawa
Barat. Mau berkemah? Rp 25 per kepala tarifnya. Itu sekedar
contoh petunjuk.
Mereka yang suka agak berpetualang, boleh berkemah di Kandang
Batu -- di tepi sungai yang memang penuh batu.
Ada lagi yang ditawarkan buat santapan mata. Di kawasan seluas 5
hektar di puncak G. Gede, disebut Alun-alun Suryakencana, tumbuh
Bunga Abadi (Anapbalis Javanica). Di sini biasanya para pendaki
G. Gede bermalam. Suhu kadang mencapai 4ø C.
Sejauh yang bisa dilacak, yang memelopori berkemah di sini
adalah sekelompok mahasiswa UI sekitar 20 tahun lalu. Konon
kelompok itu memang suka mencari daerah baru.
Di Jawa Tengah, di Kabupaten Banyumas, pun ada Bumi Perkemahan
Kendalisada. Di awal libur panjang ini telah bercokol di situ
sekitar I000 siswa SLP dan SLA dari Kabupaten Banyumas sendiri.
Dan mereka mengadakan acara bersama: cross country, melukis,
atau hanya menyanyi-nyanyi.
Yang agak merepotkan di areal perkemahan itu: air memang agak
susah. Pihak PAM Banyumas terpaksa tiap hari mengirim dua kali
air bersih dengan mobil pemadam kebakaran, kalau di situ banyak
anak berkemah. Baik juga, bukan ?
DI Jawa Timur, kawasan G. Bromo rupanya tetap jadi favorit.
Sejak awal pekan lalu sudah bermunculan di sini tenda-tenda di
tebing-tebing yang menghadap laut pasir -- tak hanya datang dari
Jawa Timur tapi juga - dari Jawa Barat dan Tengah.
Siapa yang mau merasakan pengalaman fantastis -- berkemah di
lautan pasir di bekas kawah yang tinggi, di sela tebing-tebing
padas seperti di film-film koboi (sambil menunggang kuda,
memang) dalam udara yang sangat dingin, di sinilah tempatnya.
Mereka yang lebih menyukai tempat-tempat "jinak", pusat-pusat
rekreasi pun tak kurang jumlahnya. Di P. Bali misalnya. Menurut
sejumlah biro perjalanan, sampai kini pariwisata ke Bali tetap
yang terbesar.
Di DKI Jakaru, ada Taman Mini Indonesia Indah. Ada Kebun
Binatang Ragunan, ada Taman Impian Jaya Ancol, ada Monumen
Nasional, beragam museum atau Planetarium yang terletak di
kawasan Taman Ismail Marzuki -- kompleks kesenian termaju dan
terlengkap di Indonesia.
Yang unik barangkali memang Taman Impian Jaya Ancol (TIJA),
terutama Gelanggang Samuderanya. Dengan karcis Rp 150 di hari
biasa dan Rp 250 di hari libur -- setelah membayar karcis masuk
TIJA sendiri Rp 200 di hari biasa dan Rp 300 di hari libur
--berjenis hewan laut bisa disaksikan. Bisa langsung dilihat
kerangka ikan paus sepanjang 15 m. Masuk ke akuarium air tawar,
berjenis ikan tak bisa dihitung-dari ikan lele putih sampai ikan
ganas Piranha.
Di akuarium air laut, anda boleh menguji pengetahuan anda. Ikan
pisau-pisau, bulu babi, ikan pari, tahu semua? Serombongan anak
sekolah di bawah seorang guru yang berpengetahuan luas tentang
jenis ikan, tentu akan sangat asyik di Gelanggang Samudera ini.
Bahkan yang berpengetahuan minim pasti tertarik melihat
warna-warni dan beragam gaya ikan berenang -- walaupun gaya
berenang itu umumnya sama saja: gaya miring, tak ada gaya dada
atau punggung. Kecuali ikan mati.
Dan itu baru satu bagian saja dari yang bisa dilihat di Ancol.
Memang, sebagaimana menonton museum, dengan latar belakang
pengetahuan yang cukup tentulah benda-benda yang dilihat akan
lebih berbicara -- dan bukan benda mati -- yang menjadi istimewa
hanya karena umurnya yang tua.
Dan agaknya hal itulah yang masih bisa lebih diperhatikan para
penyelenggara, juga para guru IPS -- istimewa yang menyangkut
pengetahuan sejarah. Buktinya, satu pameran benda-benda
purbakala yang baru-baru ini diadakan oleh Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, di Kudus, sepi dari
pengunjung. Benda-benda itu memang hanya cawan, tempat sirih,
atau arca batu yang tinggal kepala.
Libur ternyata merupakan hari-hari belajar juga -- hanya tanpa
buku sekolah, -- tanpa guru yang siap memberi angka merah, tanpa
PR. Belajar kepada hutan, gunung, laut. Belajar kepada sejarah,
dan kepada khazanah budaya kita sendiri. Itu semua kalau mau.
Kalau bukan hanya pengin ramai-ramai dan berbuat mubazir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini