MUHAMAD Husein, 54 tahun, mengadu ke opstib. Soalnya pemborong
ini merasn telah dirugikan oleh kebijaksanaan Kepala Dinas
Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Batang -- Jawa Tengah. Biasa:
soal permainan angkaangka rupiah milik negara.
DPU Batang memang rajin. Banyak gedung proyek Inpres yang
dikerjakannya sendiri. Bahkan gedung SD Inpres tahun 1977 ini
sebagian besar ditangani instansi ini sendiri. Ini membuat para
pemborong resmi cuma ngiler. Tapi jika diusut-usut, sebenarnya,
tetap saja proyek Inpres di sana itu diborongkan kepada swasta.
Hanya cara memborongkannya diatur sedemikian rupa, menurut
kebijaksanaan sang Kepala DPU, sehingga semuanya jadi 'beres'.
Beresnya begini, seperti pengalaman Muhamad Husein ini:
pengerjaan proyek itu diserahkan saja kepada pemborong tanpa
nama, macam Muhamad Husein. Yaitu pemborong-pemborong tak resmi.
Tanpa kantor dan papan nama. Sudah tentu bukan pemborong
berbadan hukum. Mereka mendapat order dari DPU tanpa perjanjian
apa-apa. Tanpa surat penunjukan. Juga tanpa surat perintah kerja
(SPK) apapun sebagaimana mestinya.
Dengan cara kerja begitu harga pekerjaan dapat ditekan hebat.
Seperti kisah Mhamad Husein. Ia mendapat order 17 gedung SD
Inpres berikut 55 Unit peralatan (meja, kursi sampai papan
tulis). Harganya jauh bersaing jika ditawarkan kepada pemborong
resmi -- lewat tender sekalipun. Untuk sebuah gedung ia hanya
memerhlkan uang Rp 2« juta, sedang peralatan per unitnya cuma RP
550 ribu. Itupun pemborong tak resmi ini masih menyediakan
potongan harga Rp 250 ribu untuk sebuah gedung dan RP 25 ribu
tiap unit peralatan.
Saling Klaim
DPU tampaknya memang membutuhkan pemborong-pemborong semacam
Husein itu. Sebab keuntungan mudah dihitung: pemerintah, menurut
Kepala DPU, Suyono, menyediakan dana untuk sebuah gedung dan
peralatannya @ Rp 4 juta. Lalu ke mana sisanya? "Dalam bentuk
uang tak ada," kata ir. Koemarto, Kasubdit Pembangunan Batang.
"Tapi diujudkan dalam bentuk peningkatan kwalitas dan volume."
Maksudnya tak begitu jelas, memang. Sebab itu Koemarto sendiri
menyebutnya "itu pendapatan inkonvensionil." Nah. "Tapi DPRD
sudah diberitahu kok." Namun baik Wakil Ketua DPRD Batang,
Asrori, maupun sekretaris dewan, semuanya geleng kepala. "Dewan
belum menerima laporan, malah hal itu sedang kita kejar-kejar!"
kata Asrori.
Muhamad Husein masih melanjutkan pengalamannya. Setelah bekerja
selama 18 bulan ia kecewa. Tiba-tiba DPU membuat perhitungan:
pemborong masih berhutang kepadanya Rp 1,9 juta lebih.
Perhitungan dan berita acara, "terpaksa saya tandatangani karena
tekanan dan terpaksa," keluh Husein. Kalau tidak, "saya tak akan
keluar dari kantor DPU dengan selamat."
Muhamad lusein sendiri mengklaim, justru DPU lah yang masih
punya hutang kepadanya - paling tidak "pribadi pak Yono." Yaitu:
sebuah truk Toyota seharga Rp 3,3 juta, sebuah Vesva seharga RP
400 ribu, sebuah Honda bernilai Rp 400 ribu dan sejumlah uang.
"Tak kurang dari Rp 12 juta," kata Husein. Itu belum termasuk
biaya pembangunan yang disunat, Rp 250 ribu per gedung dan Rp 25
ribu setiap unit peralatan, yang beumlah Rp 5 juta lebih.
Perhitungan pemborong itu dibantah Suyono. Katanya, semua klaim
pemborong itu sudah diperhitungkan dalam perhitungan DPU sejak
bulan April. Bahkan akhirnya Suyono melemparkan angka lain: DPU
tengah dirugikan oleh pemborong Rp 9 juta. Malah untuk mengganti
ketekoran, Suyono mengaku telah menjual semua hasil panen sawah
keluarganya.
Kericuhan tampaknya tak mudah selesai. Pangkal kericuhan mudah
dipegang: kerja yang semrawut dan keberanian DPU mempercayakan
pengerjaan proyek pemerintah kepada pemborong yang sembarangan
saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini