Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Husein Bicara

Pembangunan gedung proyek inpres oleh dinas pekerjaan umum kabupaten batang, ja-teng, dikerjakan sendiri dengan jalan memborongkan kepada pemborong-pemborong tak resmi, sehingga menimbulkan kericuhan.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMAD Husein, 54 tahun, mengadu ke opstib. Soalnya pemborong ini merasn telah dirugikan oleh kebijaksanaan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Batang -- Jawa Tengah. Biasa: soal permainan angkaangka rupiah milik negara. DPU Batang memang rajin. Banyak gedung proyek Inpres yang dikerjakannya sendiri. Bahkan gedung SD Inpres tahun 1977 ini sebagian besar ditangani instansi ini sendiri. Ini membuat para pemborong resmi cuma ngiler. Tapi jika diusut-usut, sebenarnya, tetap saja proyek Inpres di sana itu diborongkan kepada swasta. Hanya cara memborongkannya diatur sedemikian rupa, menurut kebijaksanaan sang Kepala DPU, sehingga semuanya jadi 'beres'. Beresnya begini, seperti pengalaman Muhamad Husein ini: pengerjaan proyek itu diserahkan saja kepada pemborong tanpa nama, macam Muhamad Husein. Yaitu pemborong-pemborong tak resmi. Tanpa kantor dan papan nama. Sudah tentu bukan pemborong berbadan hukum. Mereka mendapat order dari DPU tanpa perjanjian apa-apa. Tanpa surat penunjukan. Juga tanpa surat perintah kerja (SPK) apapun sebagaimana mestinya. Dengan cara kerja begitu harga pekerjaan dapat ditekan hebat. Seperti kisah Mhamad Husein. Ia mendapat order 17 gedung SD Inpres berikut 55 Unit peralatan (meja, kursi sampai papan tulis). Harganya jauh bersaing jika ditawarkan kepada pemborong resmi -- lewat tender sekalipun. Untuk sebuah gedung ia hanya memerhlkan uang Rp 2« juta, sedang peralatan per unitnya cuma RP 550 ribu. Itupun pemborong tak resmi ini masih menyediakan potongan harga Rp 250 ribu untuk sebuah gedung dan RP 25 ribu tiap unit peralatan. Saling Klaim DPU tampaknya memang membutuhkan pemborong-pemborong semacam Husein itu. Sebab keuntungan mudah dihitung: pemerintah, menurut Kepala DPU, Suyono, menyediakan dana untuk sebuah gedung dan peralatannya @ Rp 4 juta. Lalu ke mana sisanya? "Dalam bentuk uang tak ada," kata ir. Koemarto, Kasubdit Pembangunan Batang. "Tapi diujudkan dalam bentuk peningkatan kwalitas dan volume." Maksudnya tak begitu jelas, memang. Sebab itu Koemarto sendiri menyebutnya "itu pendapatan inkonvensionil." Nah. "Tapi DPRD sudah diberitahu kok." Namun baik Wakil Ketua DPRD Batang, Asrori, maupun sekretaris dewan, semuanya geleng kepala. "Dewan belum menerima laporan, malah hal itu sedang kita kejar-kejar!" kata Asrori. Muhamad Husein masih melanjutkan pengalamannya. Setelah bekerja selama 18 bulan ia kecewa. Tiba-tiba DPU membuat perhitungan: pemborong masih berhutang kepadanya Rp 1,9 juta lebih. Perhitungan dan berita acara, "terpaksa saya tandatangani karena tekanan dan terpaksa," keluh Husein. Kalau tidak, "saya tak akan keluar dari kantor DPU dengan selamat." Muhamad lusein sendiri mengklaim, justru DPU lah yang masih punya hutang kepadanya - paling tidak "pribadi pak Yono." Yaitu: sebuah truk Toyota seharga Rp 3,3 juta, sebuah Vesva seharga RP 400 ribu, sebuah Honda bernilai Rp 400 ribu dan sejumlah uang. "Tak kurang dari Rp 12 juta," kata Husein. Itu belum termasuk biaya pembangunan yang disunat, Rp 250 ribu per gedung dan Rp 25 ribu setiap unit peralatan, yang beumlah Rp 5 juta lebih. Perhitungan pemborong itu dibantah Suyono. Katanya, semua klaim pemborong itu sudah diperhitungkan dalam perhitungan DPU sejak bulan April. Bahkan akhirnya Suyono melemparkan angka lain: DPU tengah dirugikan oleh pemborong Rp 9 juta. Malah untuk mengganti ketekoran, Suyono mengaku telah menjual semua hasil panen sawah keluarganya. Kericuhan tampaknya tak mudah selesai. Pangkal kericuhan mudah dipegang: kerja yang semrawut dan keberanian DPU mempercayakan pengerjaan proyek pemerintah kepada pemborong yang sembarangan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus