Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang nenek bernama Dela ikut dalam aksi tolak pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang digelar di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, hari ini, Senin, 5 Desember 2022. Nenek berusia 72 tahun itu ikut dalam aksi tersebut karena merasa haknya terancam jika RKUHP disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dela mengaku berangkat dari kediamannya di Penjaringan, Jakarta Utara, sekitar pukul 10.00 WIB. Dia tiba di depan Gedung DPR bersama rombongan peserta aksi dari LBH Jakarta pukul 13.00 WIB. Wanita berusia 72 tahun ini mengatakan mesti turun ke jalan karena merasa hak nya bakal dirampas jika RKUHP disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Walaupun saya sudah tua, sebenarnya sudah nggak pantas ya turun ke jalan. Tapi karena saya merasa hak saya dirampas, dibegal. Ini kan UU apapun yang dibuat dampaknya ke rakyat, yang jadi korban adalah kami rakyat kecil,” kata Dela di depan Gedung DPR, Senin, 5 Desember 2022.
Soroti pasal unjuk rasa dan demonstrasi
Salah satu pasal yang disoroti Dela adalah pasal unjuk rasa dan demonstrasi. Menurut dia, pasal ini berpotensi mengkriminalisasi massa aksi kala menyampaikan keresahannya kepada pemerintah maupun DPR.
Menurut Dela, masyarakat berhak melangsungkan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa dihantui rasa khawatir akan dipenjara. “Kita berhak protes siapa saja, karena mereka lah yang mewakili kita, bukan menangkapi dan memenjarakan kita,” kata dia.
Dela menilai pengesahan RKUHP malah menunjukkan ketidakadilan pemerintah. Sebab, kata dia, RKUHP masih memasukkan pasal-pasal yang bermasalah.
“Pemerintah jangan teriak adil kalau rakyatnya sendiri tidak diperlakulan adil. Jangan teriak merdeka kalau rakyat Indonesia belum pernah merasakan kemerdekaan,” kata dia.
Adapun pasal unjuk rasa menjadi salah satu pasal yang disoroti Aliansi Reformasi KUHP. Dalam draf RKUHP versi 30 November 2022, aturan tentang unjuk rasa termuat dalam pasal 256. Pasal ini berbunyi:
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
8 hal yang dipermasalahkan dalam RKUHP
Koordinator Lapangan aksi tersebut, Adhitiya Augusta Triputra, menerangkan pasal bermasalah dalam RKUHP bersifat anti demokrasi, membungkam kebebasan pers, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, serta mengancam keberadaan masyarakat adat.
“Aksi ini mengenai penolakan pengesahan RKUHP yang DPR berencana akan disahkan tanggal 6 Desember besok saat rapat paripurna. Aksi bersifat simbolik seperti tabur bunga, mengirim bunga karangan,” kata Adhit saat dihubungi, Senin, 5 Desember 2022.
Adit merangkum 8 keresahan ihwal RKUHP yang bakal disampaikan dalam aksi hari ini, yaitu:
1. Mengancam masyarakat adat
2. Mengembalikan pasal-pasal subversif dan anti demokrasi
3. Membangkang Putusan MK
4. Mempidana dan mengancam ruang privat dalam rumah
5. Mengancam memiskinkan rakyat tanpa ampun
6. Mengancam buruh, mahasiswa, petani, dan rakyat yang dirampas ruang hidupnya serta siapapun yang berjuang dengan demonstrasi
7. Tajam ke bawah, tumpul ke atas: mempersulit menjerat kejahatan perusahaan/korporasi
8. Memutihkan dosa negara dengan menghapuskan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat
Adhit menyebut aksi tolak pengesahan RKUHP ini akan diikuti puluhan kelompok masyarakat sipil. Di antaranya YLBHI, LBH Jakarta, Trend Asia, KontraS, Walhi, AJI, dan Imparsial.