Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ikut nasihat pak ogah

DKI Jakarta akan memperoleh Rp 5 milyar dari pajak radio. yang akan terkena justru rakyat kelas bawah. radio sudah tak pantas kena pajak.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAU dengar? Bayar dulu, dong. Kata-kata Pak Ogah dalam film Unyil itu, yang pernah ditayangkan TVRI, mungkin akan menjadi bagian dari kampanye pajak radio yang dilancarkan Pemerintah DKI Jakarta. Sebab, mulai 20 Maret nanti Jakarta akan mengutip pajak radio yang dimiliki warganya. Rencana pengutipan pajak radio itu telah disiapkan surat keputusan yang diteken Gubernur Surjadi Sudirdja bulan lalu, berdasarkan peraturan daerah tahun 1990. Setiap pesawat radio -- tanpa pandang butut atau mewah -- dikenai pajak Rp 3.000 setahun alias Rp 250 sebulan. Dari sekitar 1,5 juta pesawat radio, Pemerintah DKI berangan-angan bisa menambah anggaran penerimaannya Rp 5 miliar setahun. Tentu, itu tergolong kecil dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan yang Rp 1,6 triliun itu. Upaya menarik pajak radio ini merupakan hal baru buat DKI. Namun, dasarnya adalah peraturan yang dibuat tahun 1947 ketika alat penerima siaran itu masih menjadi barang mewah dan langka. Kemudian, ada lagi Undang-undang Nomor 10 tahun 1968 dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1969, yakni bahwa pajak radio menjadi porsi pendapatan daerah. "Untuk Jakarta, uang Rp 3.000 setahun masak berat sih," kata Fauzi Alvi Yasin, Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) DKI Jakarta. Kendati begitu, Fauzi tak terlalu optimistis bakal menarik Rp 5 miliar dari pajak radio. Untuk tahun 1994/1995, katanya, diperkirakan cuma masuk sekitar Rp 1 miliar. Untuk itu pun, ia mesti menyiapkan 300 penagih pajak radio dari rumah ke rumah, yang dibantu oleh aparat di tingkat kelurahan. Selain itu, Dispenda juga membolehkan masyarakat membayarnya lewat kantor pos keliling. "Saya tak akan ngoprak-oprak (menguber). Itu soal kesadaran wajib pajak saja," katanya. Andai kata para petugas diturunkan, kemungkinan yang bisa dikutip adalah masyarakat kelas bawah. Sebab merekalah yang paling gampang "dirazia" oleh petugas pajak dan aparat kelurahan itu. Kecuali gampang dimonitor, kebanyakan mereka takut pada petugas yang mendatanginya. Lain halnya rumah gedongan di perumahan mewah seperti Pondok Indah, Menteng, dan permukiman orang kaya lainnya. Kemungkinan pemilik radio di situ tak gampang dijamah oleh para petugas itu. Padahal, di rumah-rumah itulah radio boleh jadi lebih dari satu. Paling tidak, radio ada di setiap mobil, atau bahkan tiap kamar -- termasuk kamar pembantu. Buat masyarakat kelas bawah pun belum tentu semua mau membayarnya. Sebutlah Kardiman, seorang pedagang rokok di Bendungan Hilir. Ia mempunyai radio dua band seukuran sabun cuci gosok yang cuma bisa menangkap gelombang AM untuk pemancar radio swasta terdekat. Suaranya pun sudah serak-serak melengking. Kadang-kadang radio yang dibelinya tahun 1988 itu tak mengeluarkan melodi lagi bila ada siaran lagu dangdut. "Selama ini nggak pernah ditarik pajak. Daripada bayar, lebih baik diumpetin," katanya. Dan dengar pula kata Mursyid, tukang ojek di Karet Semanggi: "Yang namanya radio, sekarang kan sudah menjadi miliknya orang miskin seperti saya ini. Kok, ya, masih dipajakin," katanya. Kebetulan ia punya radio tahun 1972 yang sudah dekil. "Radionya aje nggak laku Rp 3.000. Masak harus bayar pajak segitu," tambahnya. Yang keberatan membayar pajak radio bukan cuma orang miskin. Soeharsono, seorang pengamat pajak, seperti dikutip majalah Forum, mengatakan bahwa radio kini sudah tak pantas dikenai pajak. "Jadi peraturan pajak daerah itu harus ditinjau lagi," katanya. Bahkan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Zoemrotin menganjurkan agar masyarakat tak membayar pajak radio. "Tak perlu ada pajak radio. Masyarakat harus menolaknya," katanya. ABS, Taufik Alwi, dan Ricardo Indra (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum