TERNYATA, ada sejumlah perbedaan UUD 1945 versi Berita Repoeblik Indonesia (BRI) tahun 1946 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara RI (LNRI). Ini yang ditemukan oleh Laboratorium Pancasila (Lapasila) IKIP Malang, yang menelitinya sejak Mei lalu. Kekeliruan yang termuat dalam LNRI atau versi Dekrit Presiden meliputi kesalahan tanda baca, huruf, penghilangan kata, penambahan kata, dan penempatan judul. Penelitian oleh 12 sarjana itu termasuk empat doktor dan dua guru besar sebenarnya baru sampai pada pasal 34 dari 37 pasal UUD 1945 dokumen LRNI. "Sampai di situ kami sudah menemukan 67 butir kekeliruan, dan setiap butir mengandung tiga sampai empat kesalahan," kata Profesor Subiyanto, Ketua Harian Lapasila. Memang ada kekeliruan yang mendasar. Misalnya, hilangnya kata "asas" pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945 versi BRI berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Sedangkan dalam LNRI tertulis ''Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan". Menurut Subiyanto, hilangnya "asas" bisa berakibat fatal, dapat mendorong munculnya nepotisme. "Sekarang banyak anak orang-orang gede yang punya proyek sendiri-sendiri. Itu nggak bisa dilarang. Soalnya, dokumen resmi membolehkannya," katanya berseloroh. Juga ada penggantian kata seperti terlihat pada pasal 24 ayat 1 versi BRI: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang". Dalam versi Dekrit kata "dilakukan" diganti "diadakan". Ada perbedaan yang amat mendasar, yakni sistematika penyusunannya. Versi BRI menempatkan judul "Undang-Undang Dasar" sebelum "Pembukaan". "Ini memungkinkan MPR mengubah Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan," kata Subiyanto. Sedangkan LNRI atau versi Dekrit lebih baik karena menempatkan "Pembukaan" di atas "Undang-Undang Dasar". Karena perbedaan struktur dan kesalahan itu, Subiyanto bertekad mengajukan usul pada MPR untuk memilih salah satu dari dua versi yang sampai saat ini masih dijadikan sumber resmi itu. PBS dan Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini